Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Selandia Baru, Rencana Aksi Perubahan Iklim, dan Pertobatan Ekologis
23 Februari 2024 18:55 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dimas Hayon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Negara-negara yang termasuk di wilayah Asia Pasifik rupanya tidak bisa menyangkal akan bahaya perubahan iklim. Pasalnya, negara-negara kepulauan kecil ini, menjadi negara yang paling rentan terkena dampaknya. Salah satunya ialah Selandia Baru yang tengah menghadapi krisis perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Negara berpenduduk 5,269 juta (Worldmeters, 2024) mulai bergerak cepat untuk mengatasi hal tersebut. Beberapa hal yang terjadi dari adanya perubahan iklim ialah meningkatnya suhu, perubahan pola curah hujan, naiknya permukaan laut, semakin buruknya bencana alam seperti banjir, erosi, dan kekeringan.
Dalam mengatasi krisis iklim ini, pemerintah Selandia Baru telah merilis Rencana Pengurangan Emisi periode 2022-2025. Penetapan strategi ini diperlukan untuk memenuhi target pengurangan emisi jangka panjang.
Namun, sebuah analisis dari Climate Action Tracker yang adalah sebuah konsorsium yang menyediakan analisis ilmiah global, menilai rencana pengurangan emisi Selandia Baru “sangat tidak memadai.” Peringkat ini diberikan karena melihat kebijakan dan tindakan yang diusulkan sama sekali tidak konsisten dalam membatasi pemanasan hingga 1,5°C.
ADVERTISEMENT
Namun, Selandia Baru optimis dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka telah merumuskan proses penilaian risiko perubahan nasional guna mengurangi emisi di negara mereka. Tujuan dari proses ini ialah untuk memetakan hal-hal apa saja yang harus diprioritaskan dalam penyelesaian persoalan ini.
Beberapa hal yang dibuat ialah memberikan gambaran nasional pertama tentang risiko yang dihadapi Selandia Baru akibat perubahan iklim, mengidentifikasi 43 risiko prioritas yang menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari ekosistem dan komunitas hingga bangunan dan sistem keuangan, mengidentifikasi 10 risiko paling signifikan yang memerlukan tindakan segera dalam enam tahun ke depan untuk mengurangi dampaknya, dan meletakkan dasar bagi rencana adaptasi nasional yang menguraikan tanggapan pemerintah terhadap risiko-risiko ini.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, implementasi yang dibuat ialah lahirnya Undang-undang Amandemen Respons Perubahan Iklim (Nol Karbon) tahun 2019 yang mensyaratkan adanya penilaian risiko setidaknya setiap enam tahun sekali.
Melalui Menteri Perubahan Iklim Selandia Baru, James Shaw, ia mengatakan bahwa Selandia Baru memiliki sejarah dalam memecahkan tantangan melalui inovasi dan kecerdikan serta tekad, begitu pula dengan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Mereka juga tengah menyiapkan sebuah platform yang mewadahi informasi online untuk setiap warga Selandia Baru terkait risiko perubahan iklim karena di setiap wilayah menghadapi risiko yang berbeda seperti banjir, kebakaran hutan, erosi, kenaikan permukaan air laut, kekeringan atau bahaya cuaca lainnya.
Informasi ini dibutuhkan oleh semua pihak agar mereka tahu apa yang harus mereka lakukan ketika menghadapi persoalan tersebut. Melihat rencana dan prospek ke depannya, Selandia Baru percaya diri untuk menatap perubahan dalam mengurangi dampak dari perubahan iklim. Penting menjadikan Selandia baru sebagai tolok ukur penilaian bagaimana tanggapannya terhadap perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Faktanya memang isu-isu lingkungan sering disepelekan. Negara-negara di dunia lebih cenderung menyentuh isu-isu yang bersifat politis dan ekonomis yang ranahnya sangat teoritis. Sementara isu lingkungan seperti tidak diperhatikan padahal isu ini sangat penting karena menyangkut rumah tempat kita hidup. Bayangkan saja ketika lingkungan rusak, seluruh ekosistem menjadi timpang dan memengaruhi seluruh proses hidup kita.
Sekarang, ketika bumi sudah di zona berbahaya, kita mulai sadar bahwa isu ini penting. Tentu saja tidak ada yang terlambat untuk menyelesaikan persoalan ini tetapi kritik menyeluruh kepada para pemangku kepentingan ialah adanya “pembiaran” terhadap persoalan ini.
Sekarang, perhatian kita sedang tertuju ke sana tetapi aksinya masih minim karena lebih banyak mengarah pada sususan teoritis yang kerapkali menghabiskan banyak waktu. Imbasnya ialah aksi untuk mengatasi perubahan iklim kurang dan bahkan tidak berjalan sama sekali.
ADVERTISEMENT
Leonardo Boff, seorang imam Konventual (OFM) yang berasal dari Brazil adalah juga seorang profesor teologi dan spiritualitas di beberapa pusat studi dan universitas di Brazil dan luar negeri. Ia merumuskan satu term tentang ekoteologi.
Gagasan yang ia temukan dari persoalan krisis ekologi ialah akar kerusakan ekologi itu terjadi karena rusaknya keterhubungan universal yang terjadi secara berkelanjutan antara manusia dengan alam semesta dan dengan pencipta.
Ekoteologinya adalah ekotelogi pembebasan karena bukan hanya orang-orang miskin yang tertindas tetapi juga alam sehingga keduanya harus dibebaskan. Menurutnya, alam justru merupakan yang termiskin dari yang miskin.
Konteks yang diangkat Boff mencerminkan bagaimana hubungan manusia dan alam yang berbeda pengertiannya. Manusia mengarahkan pemahamannya bahwa sebagai manusia, saya berkuasa atas semesta, sebagaimana kekeliruan ini sering disalahartikan oleh orang-orang Kristen dan Yahudi yang didasarkan pada Kitab Suci.
ADVERTISEMENT
Terlepas daripada itu, konteks perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia sebagian besar dipengaruhi oleh perilaku manusia. Maka terminologi yang diterangkan Boff sejalan dengan fakta yang terjadi. Bahwasannya manusia menjadikan alam sebagai objek untuk mencapai kepuasan dan nafsu keserakahan.
Boff memberi tawaran untuk berekoteologi seperti interaksi dengan tangisan kaum miskin (alam), menganalisis dosa-dosa ekologis dan penyebabnya, dan melakukan upaya-upaya transformatif. Secara sederhana, tawaran Boff inilah yang dirumuskan oleh Selandia Baru dalam proses menyelesaikan persoalan perubahan iklim ini.
Selandia Baru “berekoteologi” berdasarkan sudut pandang dan cara kerja mereka dalam menyelesaikannya. Dan apa yang sudah dirumuskan, sejalan dengan apa yang Boff tawarkan. Tentu saja, ini harusnya menjadi pusat perhatian kita semua.
ADVERTISEMENT
Selandia Baru sudah mulai dan berharap akan terus dilanjutkan. Barangkali mereka tidak menggunakan Boff sebagai acuan dalam merumuskan rencana aksi mereka, tetapi apa yang mereka buat punya korelasi yang erat dengan apa yang dituliskan Boff.
Semua pasti berharap perubahan ke arah yang baik secepatnya bisa terjadi. Pertobatan ekoteologi ala Selandia Baru penting untuk dilihat. Kita juga menanti gerakan pertobatan ekologis dari seluruh negara di dunia untuk bumi, rahim tempat kita tinggal.