Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perlindungan Hukum terhadap Pengguna Layanan Pinjaman Online di Indonesia
22 Juli 2024 9:13 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 13 Agustus 2024 10:08 WIB
Tulisan dari Dimas Indrawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam era digital yang semakin maju, layanan pinjaman online (pinjol) telah menjadi alternatif populer bagi masyarakat untuk mendapatkan dana secara cepat dan mudah. Kemudahan akses dan proses yang cepat membuat layanan ini semakin diminati oleh berbagai kalangan. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, layanan pinjol juga menimbulkan berbagai permasalahan yang merugikan konsumen. Beberapa di antaranya adalah bunga yang sangat tinggi, penagihan yang tidak etis, hingga penyalahgunaan data pribadi konsumen.
ADVERTISEMENT
Perlindungan hukum terhadap konsumen layanan pinjol menjadi sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Konsumen seringkali berada pada posisi yang lemah dan rentan terhadap praktik-praktik yang merugikan dari penyedia layanan pinjol.
Di Indonesia sendiri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi lembaga yang seyogyanya menjadi payung hukum bagi masyarakat dari ganasnya dampak layanan pinjol. Tanpa perlindungan hukum yang memadai, konsumen dapat menjadi korban dari ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang oleh penyedia layanan pinjol.
OJK merupakan lembaga yang mengatur fintech di bidang pinjaman online dan crowdfunding. Sebagai lembaga pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan, OJK telah mengeluarkan regulasi yang mengatur lembaga keuangan non-bank berbasis teknologi jenis peer to-peer lending (P2P). Pada 2016, OJK menerbitkan POJK No. 77/ POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan ini antara lain mengatur badan hukum yang harus dimiliki penyelenggara layanan pinjaman online, penerapan prinsip dasar perlindungan pengguna layanan pinjaman online, dan penyelesaian sengketa. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa setiap perusahaan penyedia layanan pinjaman online wajib mendaftarkan diri dan mendapatkan perizinan sebagai penyelenggaraan sebelum menjalankan kegiatan operasionalnya.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, pinjaman online juga diatur di dalam pedoman perilaku yang diterbitkan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Pedoman perilaku antara lain mendukung aspek transparansi dan aspek perlindungan konsumen yang belum diatur di dalam POJK No. 77/ POJK.01/2016. Tiga prinsip dasar yang diatur dalam pedoman tersebut adalah:
a. Transparansi produk dan metode penawaran
Prinsip transparansi khususnya menekankan pada kewajiban penyelenggara untuk menyampaikan informasi terkait manfaat, risiko, biaya, hak dan kewajiban, mekanisme penyelesaian sengketa, serta profil perusahaan secara akurat dan terbuka. Terkait transparansi biaya, setiap penyelenggara wajib menyampaikan segala jenis biaya yang timbul akibat pinjaman. Biaya-biaya tersebut kurang lebih dapat mencakup biaya pelayanan atau biaya di awal (upfront fees), bunga, provisi, denda keterlambatan, biaya perpanjangan, dan lain-lain. Ketentuan ini juga mengatur keterbukaan informasi mengenai pengenaan denda dan biaya terkait keterlambatan pembayaran. Prinsip ini juga memuat kewajiban penyelenggara untuk secara transparan mencantumkan alamat kantor sesuai Surat Keterangan Domisili, nomor telepon, serta standar layanan dalam memproses pengaduan.
ADVERTISEMENT
b. Pencegahan pinjaman berlebihan
Prinsip pencegahan pinjaman berlebih mengarahkan penyelenggara untuk menimbang dan menilai kapabilitas calon penerima pinjaman untuk mengembalikan pinjaman. Prinsip ini mengatur beberapa poin antara lain larangan predatory lending, asesmen kredit dan larangan manipulasi data. Pada poin pertama, praktik predatory lending dijelaskan oleh AFPI sebagai penetapan syarat, ketentuan dan biaya secara tidak wajar dan tanpa melihat kemampuan membayar calon nasabah. Sejalan dengan itu, AFPI menetapkan batasan biaya pinjaman sebesar 0,8 persen per hari dan batasan nilai pengembalian pinjaman sebesar maksimal 100 persen dari nilai prinsipal pinjaman meskipun nasabah mengalami keterlambatan membayar. Setiap penyelenggara juga dilarang menaikkan biaya-biaya tanpa persetujuan penerima pinjaman maupun mencairkan dana tanpa kesepakatan dari penerima pinjaman.
ADVERTISEMENT
c. Penerapan iktikad baik
Prinsip itikad baik menekankan kepada aspek perlindungan data pribadi dan tata cara penagihan utang kepada nasabah. Setiap penyelenggara wajib mensosialisasikan prosedur penyelesaian dan penagihan kepada penerima pinjaman atas pinjaman gagal bayar. Berdasarkan ketentuan tersebut, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam hal keterlambatan dan kegagalan pembayaran yaitu (1) pemberian surat peringatan, (2) persyaratan penjadwalan restrukturisasi pinjaman, (3) korespondensi dengan menerima pinjaman secara jarak jauh (desk collection) via telepon, email atau dalam bentuk percakapan lainnya, (4) perihal kunjungan atau komunikasi dengan tim penagihan dan (5) penghapusan pinjaman.
Poin penting lain adalah larangan melakukan penagihan kepada penerima pinjaman yang sudah menunggak lebih dari 90 hari terhitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran dan larangan penggunaan kekerasan fisik dan nonfisik dalam proses penagihan termasuk penagihan dengan intimidasi, cyber bullying, penagihan dengan unsur SARA dan penagihan melalui pihak ketiga. Aspek literasi dan inklusi juga dimuat di dalam ketentuan ini yang mana setiap penyelenggara wajib mengusung agenda dan program literasi dan inklusi keuangan.
ADVERTISEMENT
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh OJK diantaranya apabila terdapat dan ditemukannya tindakan-tindakan yang melanggar dan mengakibatkan kerugian maka OJK akan meminta untuk menghentikan kegiatan usaha dari pelaku usaha Pinjaman online tersebut. Selain itu OJK juga akan melakukan pembelaan hukum kepentingan masyarakat sebagai konsumen yang berupa pengajuan gugatan di pengadilan terhadap para pihak yang mengakibatkan kerugian juga akan memberikan teguran berupa peringatan terhadap para pelaku usaha yang dianggap menyimpang agar segera memperbaikinya.
Dalam Pasal 45 UU ITE perlindungan hukum bagi konsumen pinjaman online diberikan sanksi pidana terhadap pelanggaran data pribadi yang mencakup pencemaran nama baik. Selain sanksi pidana tersebut Pasal 47 ayat (1) POJK No. 77/POJK.01/2016 secara khusus juga mengatur tentang sanksi administratif, yaitu berupa peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin terutama untuk pelaku usaha pinjaman online legal.
ADVERTISEMENT
Diharapkan OJK mempunyai komitmen dan konsisten dalam memberikan perlindungan kepada konsumen supaya semuanya dapat berjalan dengan baik karena kondisi konsumen yang lemah dan banyak dirugikan, memerlukan peningkatan upaya untuk melindungi, sehingga hak- hak konsumen dapat ditegakkan. Pembinaan kepada pelaku usahapun perlu dilakukan agar tidak melanggar etika dan aturan hukum serta masyarakat dapat memanfaatkan pinjaman online dengan cepat, murah, dan tepat sasaran.
REFERENSI
Aidha et al., “Studi Terhadap Profil Dan Risiko Konsumen Kartu Kredit Dan Pinjaman Online.”
Ni Nyoman Ari Diah Nurmantari, “Perlindungan Hukum Terhadap Data Pribadi Peminjam Dalam Layanan Aplikasi Pinjaman Online,” E-Journal Ilmu Hukum Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana 8, no. 12 (2019): 1–14.
Rio Bagus Permana, “Perlindungan Hukum Terhadap Data Konsumen Yang Melakukan Pinjaman Melalui Aplikasi Kredit Online,” Braz Dent J. 33, no. 1 (2019): 1–48.
ADVERTISEMENT
Arvante, “Dampak Permasalahan Pinjaman Online Dan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pinjaman Online.”
Barratut Taqiyyah Rafie, “Terlilit Pinjaman Online Ilegal, Harus Melapor Ke Mana?,” Kontan.co.id, 2021, https://keuangan.kontan.co.id/news/terlilit-pinjaman-online-ilegal-harus-melapor-ke-mana.
Vivi Humaera, “Analisis Yuridis Keabsahan Perjanjian Pinjaman Online Spinjam Pada Aplikasi Shopee Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,” JURIDICA : Jurnal Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani 5, no. 1 (2023): 38–44, https://doi.org/10.46601/juridicaugr.v5i1.309.