Guinea-Bissau, Negara Miskin yang Menjadi Sarang Kartel Narkotika

Dimas Prihadi
Seorang Ayah, Suami dan Diplomat. Saat ini bertugas di Colombo-Sri Lanka yang terakreditasi untuk Maladewa. Sebelumnya pernah bertugas di Afrika.
Konten dari Pengguna
23 Agustus 2019 16:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Prihadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah dipuji sebagai model untuk pembangunan Afrika, Guinea-Bissau sekarang menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Utang luar negeri yang besar dan ekonomi yang sangat bergantung pada bantuan asing, telah membuat negara gagal (failed state) di Afrika Barat ini semakin rentan terhadap gejolak politik. Dalam kurun waktu kurang dari setahun, Guinea-Bissau mengalami 4 kali pergantian Perdana Menteri, yang membuat negara ini semakin terpuruk dalam kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut ternyata berhasil dimanfaatkan oleh kartel narkotika Amerika Latin, sehingga pada tahun 2005, PBB melabeli Guinea-Bissau sebagai ‘the first narco-state’.
Fakta yang sangat menarik sekaligus menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin salah satu negara termiskin di dunia dapat dijuluki sebagai ‘narco state’ pertama di dunia, sementara label ini berbanding terbalik dengan kondisi riil infrastruktur ekonomi Guinea-Bissau, di mana pasokan listrik yang masih sangat minim dan air yang hanya terbatas bagi masyarakat yang tergolong mampu?
Mari kita simak ceritanya!

Penghubung Utama Kartel Narkotika Amerika Latin

Sejak tahun 2005, Guinea-Bissau memiliki peran penting bagi organisasi kartel narkotika Amerika Selatan sebagai 'major hub' penyelundupan kokain ke Eropa. Bermula pada tahun 2005 ketika nelayan setempat di satu pulau menemukan paket yang berisi bubuk putih (kokain) bertaburan di pesisir pantai.
ADVERTISEMENT
Para nelayan tersebut tidak mengetahui bahwa bubuk putih tersebut merupakan kokain, sampai ketika dua orang asal Amerika Latin tiba dengan pesawat carteran menawarkan uang USD 1 juta sebagai 'buyback cash' untuk kokain tersebut. Kedua orang tersebut akhirnya ditahan oleh polisi setempat dan dibebaskan keesokan harinya.
Suasana di Kota Bissau. Foto: Wikimedia Commons.
Melalui serangkaian penyelidikan, diketahui bahwa sejak tahun 2000-an, kartel narkotika Amerika Selatan mulai memperdagangkan pengiriman kokain dalam jumlah besar melalui pelabuhan Afrika Barat. Pelabuhan yang sama yang telah dibangun bertahun-tahun sebelumnya untuk jalur perdagangan budak transatlantik.
Alasan mengapa Guinea-Bissau menjadi basis utama penyelundupan kokain dari Amerika Selatan ke Eropa, disebabkan karena jalur penyelundupan reguler melalui Karibia (Jamaika dan Panama) sudah diawasi secara ketat oleh otoritas kepolisian, sehingga memaksa kartel narkotika Amerika Selatan untuk mencari jalur penyelundupan alternatif ke Eropa melalui Atlantik.
ADVERTISEMENT
Terlebih, pantai Afrika Barat sangat mudah dicapai melalui pesawat dari Kolombia, dengan mengisi bahan bakar di Brasil maupun dengan menggunakan kapal dari Brasil atau Venezuela. Perjalanan tersebut dapat ditempuh hanya dengan waktu empat sampai lima malam.
Umumnya, kartel narkotika Amerika Selatan beroperasi secara klandestin dengan menggunakan kapal pada malam hari, untuk menghindari deteksi patroli udara. Kartel tersebut juga seringkali menggunakan pesawat dan mendarat di lapangan udara yang sudah tidak lagi berfungsi, akibat perang di pulau yang terisolasi seperti Bubaque dan Bijagos.
Setelah berhasil mencapai daratan Guinea-Bissau, kartel tersebut akan bertemu dengan oknum pemerintah, militer, serta masyarakat setempat, dan memanfaatkan jaringan tersebut untuk menyimpan kokain dengan baik sebelum akhirnya diselundupkan ke Eropa.
Jalur penyelundupan kartel narkotika Amerika Latin melalui Afrika Barat. Foto: UNODC.
Jalur penyelundupan bervariasi mulai dari Sahara melewati Mali, Mauritania, Algeria, dan Maroko. Kokain tersebut biasanya diselundupkan dengan kapal menuju Spanyol atau Portugal via Maroko. Selain Spanyol dan Portugal, Inggris ternyata juga menjadi tujuan utama penyelundupan kokain Amerika Selatan, karena harga eceran kokain di jalanan yang sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Bahkan, berdasarkan data the United Nations on Drugs and Crime (UNODC), Inggris dan Spanyol telah mengambil alih posisi Amerika Serikat (AS) sebagai negara pengonsumsi kokain terbanyak per kepala. Kokain yang dikonsumsi di Eropa tersebut 60 persen di antaranya merupakan hasil selundupan dari Afrika Barat.

Tertangkapnya Jenderal Na Tchuto, 'Drug Kingpin' Afrika Barat

Pada 2013, US Drug Enforcement Administration (DEA) menahan mantan Kepala Angkatan Laut Guinea-Bissau, Jose Americo Bubo Na Tchuto, yang kemudian pada tahun 2014 dinyatakan bersalah atas tuduhan menyelundupkan kokain ke AS. Na Tchuto dilabeli oleh AS sebagai 'drug kingpin.
Jenderal Na Tchuto yang dijuluki sebagai 'drug kingpin' Afrika Barat. Foto: Twitter.com/West African History
Penangkapan Na Tchuto berujung dengan ditahannya mantan Kepala Staf Angkatan Darat Guinea-Bissau, Jenderal Antonio Indjaj, pada 2014 yang didakwa oleh Federal Grand Jury di New York, atas tuduhan percobaan untuk mengimpor kokain dari Guinea-Bissau ke AS. Karena tuduhan tersebut, Jenderal Antonio Indjaj diberhentikan dari Jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data statistik UNODC, sejak tahun 2003, 99 persen narkotika yang telah disita di Afrika, ditemukan di Afrika Barat. Pada periode 1998—2003, total kuantitas kokain yang disita tiap tahun adalah sekitar 600 kilogram. Namun, pada 2006, angka tersebut naik lima kali lipat, bahkan dalam kurun waktu 9 bulan yakni pada tahun 2007, total jumlah kokain yang disita mencapai 5,6 ton.
Lebih dari 800 kilogram kokain disita oleh polisi judisial Guinea-Bissau. Foto: Twitter.com/David McLachlan-Karr
PBB juga mencatat pada 2012, sebanyak 50 pemimpin kartel narkotika Kolombia bermarkas di Guinea-Bissau, beroperasi bersama dengan kartel yang paling berkuasa di Meksiko, Sinaloa Cartel. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa kartel Kolombia dan Meksiko menyelundupkan sebanyak 2.200 pon kokain ke Afrika Barat tiap malamnya.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh Inisiatif Global menentang Kejahatan Terorganisir pada Maret 2018, terdapat bukti bahwa kelompok-kelompok teroris yang terafiliasi dengan Al Qaeda dan Islamic State (IS) telah terlibat dalam pemuatan kokain dan pengiriman heroin Afghanistan sebagai sumber pendanaan untuk kegiatan mereka.
ADVERTISEMENT

Lemahnya Pengawasan Negara

Kontrol dan monitoring masih menjadi salah satu kelemahan Guinea-Bissau, sehingga aksi penyelundupan narkotika di negara itu masih kerap terjadi. Terlebih, Guinea-Bissau tidak memiliki kapal patroli, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk melakukan intersepsi ketika aksi penyelundupan terjadi.
Kelemahan kontrol negara berperan dalam menciptakan lingkungan di mana perdagangan narkotika dapat berkembang. Lembaga-lembaga negara telah dipersonalisasi untuk melayani kelompok 'elite'.
Di Guinea-Bissau, ketika komoditi perdagangan utamanya yaitu kacang mete menurun, pendapatan dari perdagangan narkotika membanjiri untuk mengisi kesenjangan ekonomi. Peristiwa pembunuhan Presiden João Bernardo 'Nino' Vieira dan komandan militer Jenderal Batista Tagme Na Waie pada 2009, merupakan peristiwa pembunuhan besar-besaran ketika keduanya bersaing untuk mendapatkan posisi dalam perdagangan obat-obatan terlarang yang menguntungkan.
Komunitas penduduk miskin di Guinea-Bissau, di mana air bersih masih menjadi permasalahan. Foto: Pixabay.com/Valeria Rodrigues.
Guinea-Bissau adalah koloni Portugis, hingga pada 1974 berhasil mencapai kemerdekaan melalui 11 tahun perjuangan bersenjata dan kudeta militer yang dipimpin kelompok sosialis di Portugal sendiri. Negara ini telah banyak mengalami kerusuhan politik sejak itu, perang saudara, empat kudeta militer, 16 upaya kudeta, dan pembunuhan presiden.
ADVERTISEMENT
Dengan USD 3,3 miliar, Guinea-Bissau memiliki PDB terendah di antara negara mana pun di dunia, dan menempatkan peringkat ke-13 terendah di Indeks Pembangunan Manusia global 2018 PBB. Lebih dari dua per tiga penduduknya hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Istana Kepresidenan Guinea-Bissau terlihat dari hotel, di mana penulis menginap. Foto: Dimas Prihadi.
Semua mata kini tertuju pada para pemimpin politik di negara itu. Pemilihan legislatif Maret tahun ini telah berlalu tanpa insiden kekerasan. Akankah para politisi mengambil kesempatan ini untuk mendorong perbaikan di negara itu, atau akankah daya pikat kartel narkotika yang bernilai miliaran dolar terlalu sulit untuk ditolak?
Jawabannya akan tergantung dengan hasil Pemilihan Presiden pada November tahun ini.