Kisah Penyelamatan Kaum Yahudi di Jerman dan Denmark dalam Perang Dunia II

Dimas Sigit Cahyokusumo
Alumni Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2022 20:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Sigit Cahyokusumo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Perang dunia II telah menciptakan suasana yang begitu mengerikan, terutama terkait dengan pemusnahan orang-orang Yahudi. Di tengah-tengah kegerian itu banyak cerita yang menarik. Tentang berbagai bentuk perlawanan nirkekerasan serta rasa solidaritas yang terjadi. Sebagaimana yang terjadi di Jerman dan Denmark.
ADVERTISEMENT
Gerakan Nirkekerasan di Jerman
Menjelang awal tahun 1943, rencana Nazi memusnahkan jutaan orang Yahudi di Eropa mulai meluas dengan cepat. Tempat pemusnahan akhir di kamp Ghetto Warsawa baru saja selesai dibangun. Masih ada sekelompok kecil lelaki Yahudi di Jerman sendiri yang sampai saat itu masih menikmati perlindungan terbatas, karena mereka menikah dengan perempuan non-yahudi. Tetapi, pada tanggal 27 Februari 1943, pihak Nazi merasa sudah lebih dari cukup, tentara Nazi mulai melakukan pembersihan untuk membuat Berlin benar-benar bersih dari orang Yahudi, tak peduli mereka menikah dengan siapa.
Menteri Propaganda Nazi, Joseph Goebbels menulis dalam catatan hariannya bahwa ujung dari semua permainan akhirnya tiba juga, yaitu membuat Berlin bebas dari orang Yahudi. Para kaum Yahudi yang sebelumnya masih diperbolehkan tinggal di permukiman komunitas Yahudi di Rosenstrasse kota Berlin juga siap untuk dipindahkan ke kamp-kamp pemusnahan. Melihat para suami mereka yang merupakan orang Yahudi. Ratusan perempuan yang non-yahudi mulai berkumpul di sekitar tempat pemberangkatan di Rosenstrasse, Berlin. Mengesampingkan semua kemungkinan ancaman, mereka meminta agar suami-suami mereka dibebaskan.
ADVERTISEMENT
Elsa Holzer, yang suaminya bernama Rudi, ditahan di Rosenstrasse, menggambarkan apa yang mereka alami saat itu, "begitu saya tiba di sana, saya melihat orang sudah ramai berkumpul pada jam enam pagi! Orang-orang bergerak datang dan pergi. Jalan kecil itu pun tampak menghitam oleh kerumunan orang yang begitu banyak. Mereka bergerak seperti gerakan gelombang, tubuh-tubuh yang terombang-ambing". Perempuan-perempuan itu berteriak, "kami ingin suami kami kembali". Pasukan Nazi mengancam akan menembak mereka. Jawaban balik yang terdengar hanyalah "pembunuh" dan para perempuan-perempuan ini menolak untuk mundur.
Melihat kekejaman pasukan Nazi yang luar biasa, para perempuan itu sudah tahu kemungkinan besar mereka akan ditembak mati. Tetapi dalam kejadian ini, sungguh benar-benar berbeda. Pasukan Nazi disana terus mengancam perempuan-perempuan. Tetapi, para perempuan tetap bertahan dan menolak bubar. Kejadian ini benar-benar memalukan bagi pihak Nazi jika membiarkan unjuk rasa terus berlangsung di dalam ibu kota Jerman. Tetapi, pada saat yang sama memalukan jika mereka memukuli dan menembak perempuan-perempuan yang asli Jerman di depan umum. Setelah beberapa hari melakukan unjuk rasa, terjadilah suatu penyelesaian akhir yang benar-benar mengejutkan. Semua lelaki yang akan dibawa ke kamp konsentrasi Ghetto Warsawa berhasil dibebaskan (Crawshaw, 2015).
ADVERTISEMENT
Gerakan Solidaritas di Denmark
Pada bulan September 1943, Nazi sudah menyiapkan pemindahan semua orang Yahudi Denmark ke kamp-kamp konsentrasi untuk dimusnahkan. Tetapi, George Ducwitz, seorang diplomat Jerman yang masih memiliki naluri kemanusiaan, dengan cepat membocorkan rahasia itu, yang rencananya akan mulai dilaksanakan tepat pada saat perayaan rosh hashanah, yaitu tahun baru Yahudi. Berdasarkan informasi dari George Ducwitz, warga Denmark pun segera beraksi.
Guru-guru sekolah mulai menyuruh murid-muridnya yang berdarah Yahudi bergegas keluar kelas, menyuruh mereka segera pulang ke rumah dan berkemas. Kawan-kawan kenalan, bahkan juga orang-orang yang tidak mengenal mereka sama sekali, bekerja cepat menyiapkan tempat tumpangan dan persembunyian, sehingga tak ada seorang pun yang berada di rumah saat aparat Nazi datang mengetuk pintu rumah-rumah orang Yahudi.
ADVERTISEMENT
Orang-orang tua dan anak-anak dimasukkan ke rumah-rumah sakit dengan nama samaran dan alasan penyakit yang diada-adakan. Sebagian yang lain dikumpulkan di gereja, berpura-pura sedang menghadiri acara keagamaan kerabat mereka yang meninggal dunia. Ada juga keluarga-keluarga yang segera dilarikan ke pantai-pantai sepi dan pada malam harinya tiba kapal-kapal yang segera mengangkut mereka ke tempat persembunyian yang aman.
Di dalam kota Kopenhagen, beberapa keluarga dimasukkan ke perahu-perahu dengan papan besar bertuliskan wisata labuhan. Ini adalah penyamaran mengangkut keluarga-keluarga Yahudi ke kapal-kapal nelayan yang sudah menanti mereka di dermaga muara. Di kapal-kapal nelayan itu, para keluarga Yahudi disembunyikan di palka, ditutupi terpal-terpal, tumpukan ikan kering, dan keranjang, lalu diseberangkan ke negara tetangga yang netral, Swedia. Berkat rasa solidaritas George Duckwitz dan kebaikan warga Denmark, 99 persen dari tujuh ribu orang Yahudi Denmark dapat terselamatkan hidupnya (Crawshaw, 2015).
ADVERTISEMENT
Daftar Referensi
Crawshaw, S. (2015). Tindakan-Tindakan Kecil Perlawanan (Bagaimana Keberanian, Ketegaran, dan Kecerdikan Dapat Mengubah Dunia). Yogyakarta: INSISTPress.