news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Partai Politik dan Wong Cilik

Dimas Sigit Cahyokusumo
Alumni Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM
Konten dari Pengguna
26 September 2022 16:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Sigit Cahyokusumo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Partai politik dalam berbagai kesempatan sering sekali menggunakan istilah wong cilik. Wong cilik selalu menjadi wacana utama di setiap aktivitas partai. Bahkan ada juga yang menggunakannya sebagai modal sosial dalam mencari dukungan bagi partai politiknya. Seakan-akan semua partai politik berbicara untuk wong cilik. Wong cilik merupakan istilah untuk membedakan status sosial masyarakat Jawa, yang dibedakan dengan istilah priyayi. Masyarakat yang digolongkan wong cilik, sebagian besar massa petani, petani gurem, para pekerja kasar, pedagang kecil, dan buruh.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah istilah wong cilik pertama kali digunakan menjadi kosakata politik nasional pada akhir 1980 ketika ketua umum PDI Soerjadi mempopulerkannya sebagai wacana pembelaan partai ini terhadap rakyat kecil. Meski terdapat perbedaan antara marhaen dan wong cilik, tetapi PDI dan berlanjut pada PDI Perjuangan berusaha mentransformasikan istilah marhaen menjadi wong cilik untuk mencari identitas keberpihakan bagi rakyat kecil. Istilah wong cilik menjadi populer melampaui etnis Jawa dan menasional di tengah menguatnya kongmelarisasi dan dimulainya era liberalisasi ekonomi di Indonesia setelah diterbitkannya serangkaian paket kebijakan ekonomi pada dekade 1980 (Kaligis, 2014).
Franz Magnis Suseno membedakan arti wong cilik dengan orang miskin. Orang miskin termasuk orang kecil. Sedangkan orang kecil hidupnya sederhana, tetapi belum tentu miskin. Wong cilik belum tentu miskin, mereka tidak mempunyai kuasa atau kaum yang lemah dan tak berdaya sehingga mudah untuk dieksploitasi dan dimiskinkan. Meskipun mereka tidak miskin, tetapi mereka mudah untuk dimiskinkan (Zaini, 2021).
ADVERTISEMENT
Fakta politik di Indonesia menunjukkan bahwa istilah wong cilik seringkali digunakan untuk meraup suara demi kekuasaan. Partai politik tidak lagi menjadikan wong cilik sebagai prioritas yang harus diperhatikan tetapi hanya sebagai alat kekuasaan. Bicara wong cilik berarti bicara tentang ketidakberkuasaan, mereka dianggap hanya sebagai pelengkap kekuasaan. Bicara wong cilik berarti bicara ketidakberpunyaan, wong cilik itu wong ora duwe, orang yang tidak punya. Tetapi meski wong cilik tidak punya kuasa dan daya, bukan berarti mereka dapat ditindas, diseret-seret, diombang-ambing, dan dieksploitasi.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2008, telah dicantumkan bahwa tujuan partai politik dibagi menjadi dua, yakni:
• Kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi rakyat dalam negara kesatuan republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
• Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dengan tujuan itu, sudah sejatinya partai politik berjuang demi kesejahteraan wong cilik. Sebagai warga negara wong cilik juga berhak atas kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka berhak atas menentukan hak hidup mereka sendiri tanpa harus diatur-atur oleh nafsu kekuasaan. Mereka berhak untuk diperjuangkan, karena wong cilik secara tidak langsung telah menaruh kepercayaan terhadap pemimpin atau partai yang dipilihnya. Jangan sampai kepercayaan ini tercoreng akibat kebohongan janji-janji kesejahteraan. Jangan sampai karena status wong cilik yang tidak punya kuasa mudah untuk dipermainkan. Sebagaimana lagu Iwan Fals berjudul surat buat wakil rakyat.
Wakil rakyat kumpulan orang hebat
Bukan kumpulan teman-teman dekat, apalagi sanak famili
ADVERTISEMENT
Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu, jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Daftar Referensi
Kaligis, R. (2014). Marhaen dan Wong Cilik (Membedah Wacana dan Praktik Nasionalisme bagi Rakyat Kecil dari PNI sampai PDI Perjuangan). Jakarta: Marjin Kiri.
Zaini, K. (2021). Menghadang Hegemoni Oligarki (Mitos Di Seputar Socio-Eco-Politic). Yogyakarta: Nas Media Pustaka.