Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Positive Thinking vs Toxic Positivity: Jangan Sampai Tertukar
27 April 2025 14:01 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Dimas Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam hidup, kita tentu diajarkan untuk selalu berpikir positif dalam berbagai hal apapun yang terjadi. Positive thinking membantu kita melihat sisi baik dari situasi buruk, serta menjaga mental untuk tetap aman, dan mendorong kita untuk terus maju. Tapi, sama seperti banyaknya hal lain di dunia ini, tentunya sesuatu yang berlebihan justru tidak baik bukan? Hal tersebut bisa menjadi bumerang dan lahirlah apa yang disebut sebagai toxic positivity.
ADVERTISEMENT
Apa itu Toxic Positivity?
Positive thinking sejatinya adalah tentang memberi ruang bagi harapan, tanpa menutup mata terhadap kenyataan. Sedangkan toxic positivity terjadi ketika suatu perasaan negatif itu diabaikan, ditekan, atau bahkan dianggap sebagai sesuatu yang harus disembunyikan. Alih-alih mengakui bahwa marah, sedih, atau kecewa adalah bagian wajar dari pengalaman manusia, toxic positivity mendorong kita untuk terus tampil seolah-olah semuanya "baik-baik saja".
Toxic Positivity seringkali berawal dari niat baik yakni ketika kita ingin menghibur suatu keadaan, ingin mempercepat pemulihan, atau bahkan ingin menghindari ketidaknyamanan emosional yang sedang dirasakan. Namun tanpa sadar, dorongan untuk “tetap positif” justru membuat orang tersebut merasa terisolasi dan tidak dapat memvalidasi perasaan yang sebenarnya.
Ketika seseorang yang tengah berusaha keras untuk membagikan rasa kesulitannya, seringkali mereka justru disambut dengan komentar seperti, “Kamu itu harus bersyukur, di luar sana masih banyak yang hidupnya lebih berat daripada kamu,” atau "Sudahlah, ngapain stres pikirkan positifnya saja," Meskipun kalimat-kalimat tersebut terdengar positif, respon seperti ini bisa membuat mereka merasa bahwa emosi negatif yang mereka miliki tidak valid, bahkan membuat mereka merasa bersalah karena tidak cukup “kuat” atau “positif” terhadap apa yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Realitanya, tidak semua rasa sakit bisa langsung disulap menjadi pelajaran. Tidak semua luka butuh segera dipadamkan dengan kata-kata motivasi. Ada momen-momen dalam hidup di mana kita hanya butuh untuk didengar, dipahami, dan bukan langsung didorong untuk baik baik saja.
Penting untuk diingat, menjadi positif bukan berarti harus menolak emosi negatif. Justru, dengan mengakui bahwa kita sedang marah, kecewa, kesal hingga sedih merupakan bentuk langkah pertama untuk benar-benar pulih dan berkembang. Positive thinking memang diperlukan, tapi ketika kita menggunakannya untuk menghapus emosi negatif tersebut yang memang sudah sewajarnya manusiawi, saat itulah ia berubah menjadi toxic.
Dalam dunia psikologi, Dr. Susan David, yang merupakan seorang psikolog dari Harvard Medical School, menjelaskan bahwa:
ADVERTISEMENT
Artinya, memaksakan diri untuk hanya melihat sisi baik justru menghambat pertumbuhan emosional yang sehat, karena kita telah menolak untuk mengakui realita perasaan kita sendiri.
Kenali diri Anda!
Kita semua berhak untuk merasa tidak baik-baik saja. Tidak perlu merasa bersalah ketika mengalami emosi-emosi negatif yang sangatlah normal dan manusiawi. Memiliki perasaan negatif pun bukan berarti menjadikan kita sebagai orang yang negatif. Karena tentunya, diam dan menerima rasa sakit pun juga merupakan bagian dari mencintai diri sendiri (self-love). Self-love bukan sekadar mengucapkan afirmasi positif setiap hari, tapi juga bagaimana kita berani menghadapi bagian diri yang rapuh tanpa harus menyembunyikan nya dengan rasa malu.
ADVERTISEMENT