Konten dari Pengguna

PISA: Alat Ukur yang Tepat atau Hanya Sekadar Angka?

Dima Noor Ziehad
Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
31 Oktober 2024 6:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dima Noor Ziehad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Anak Membaca (Source: https://pixabay.com/id)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Anak Membaca (Source: https://pixabay.com/id)
ADVERTISEMENT
Programme for International Student Assessment (PISA) atau dalam istilah Bahasa Indonesia dikenal dengan Program Penilaian Siswa Internasional bertujuan untuk menilai kompetensi pengetahuan dan keterampilan siswa berusia 15 tahun dalam bidang matematika, membaca, dan sains secara global. Dilansir dari situs penyelenggara PISA, yaitu OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), sampel PISA dipilih secara acak oleh OECD sebagai representasi dari siswa berusia 15 tahun dari setiap negara. Tes tersebut dilakukan untuk menguji seberapa baik siswa dapat memecahkan masalah yang rumit, berpikir kritis, dan berkomunikasi secara efektif. Hal ini memberikan gambaran seberapa baik sistem pendidikan dalam mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan di kehidupan nyata dan kesuksesan di masa depan.
ADVERTISEMENT
PISA pertama kali diselenggarakan pada tahun 2000 dengan partisipan sebanyak 43 negara. Kendati diselenggarakan setiap tiga tahun sekali, siklus pertama PISA diselenggarakan di dua tahun berbeda yaitu pada tahun 2000 yang diikuti oleh 32 negara dan pada tahun 2002 yang diikuti oleh 11 negara. Negara Indonesia berpartisipasi untuk pertama kalinya dalam penyelenggaraan PISA pada tahun 2001 dan memperoleh peringkat ke-39 dengan total nilai literasi membaca sebanyak 371 poin.
Pada siklus kedua (2003), Indonesia kembali menempati posisi ke-39 dari total 40 negara partisipan dengan total nilai literasi membaca sebanyak 382 poin. Pada siklus ketiga (2006) Indonesia menempati posisi ke-48 dari 56 negara partisipan dengan nilai literasi membaca sebanyak 393 poin. Sedangkan pada siklus keempat, yang dilaksanakan pada tahun 2009 dan 2010, Indonesia menempati posisi ke-62 dengan kenaikan nilai literasi membaca sebanyak 402 poin. Kemudian pada siklus kelima (2012) tingkat literasi membaca Indonesia menempati posisi ke-60 dari 65 negara partisipan dengan perolehan nilai 396 poin.
ADVERTISEMENT
Adapun pada tiga siklus terakhir yaitu tahun 2015, 2018 dan 2021, negara Indonesia kembali mengalami penurunan yang signifikan dengan perolehan nilai literasi membaca sebanyak 397, 371 dan 359 secara berturut-turut. Lebih lanjut, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo menjelaskan bahwa hasil PISA pada tahun 2022 tidak mencerminkan kondisi pendidikan saat itu. Ia menjelaskan bahwa survei PISA dilakukan tepat setelah pandemi berakhir yaitu sekitar Mei hingga Juni 2022 dan baru diumumkan pada akhir tahun 2023. Menurutnya, hasil Asesmen Nasional 2023 yang dirilis pada awal tahun 2024 merupakan data yang paling cocok untuk mengetahui kondisi kualitas pendidikan Indonesia. Anindito mengungkapkan bahwa hasil Asesmen Nasional 2023 memperlihatkan gambaran kemajuan Indonesia setelah selesai menangani pandemi COVID-19. Terutama dengan melakukan perbandingan hasil Asesmen Nasional 2021, terlihat adanya peningkatan yang signifikan baik dalam literasi maupun numerasi secara menyeluruh di semua tingkat pendidikan.
ADVERTISEMENT
Hal senada diungkapkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) periode 2019-2024, Nadiem Anwar Makarim, bahwa kendatipun mengalami penurunan poin yang didapat dalam aspek literasi membaca, hasil PISA tahun 2022 menunjukan adanya kenaikan peringkat hasil belajar literasi Indonesia. Nadiem mengungkapkan peringkat literasi membaca dan literasi matematika Indonesia naik 5 posisi, sedangkan untuk literasi sains Indonesia naik 6 peringkat. Ia menambahkan bahwa peningkatan posisi ini mengindikasikan resiliensi yang baik dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dimana skor literasi membaca internasional di PISA 2022 rata-rata turun 18 poin, sedangkan skor Indonesia mengalami penurunan sebesar 12 poin, yang merupakan penurunan dengan kategori rendah dibandingkan negara-negara lain. Namun nyatanya kemunculan beberapa fenomena puluhan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang tidak bisa membaca nampaknya tidak bisa diabaikan begitu saja dan harus mendapat perhatian yang lebih serius.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana temuan yang didapat oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), mereka mengaku terkejut saat melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah di berbagai daerah dan menemukan banyaknya siswa SMP yang justru tidak bisa membaca. Ubaid Matraji (Koordinator Nasional JPPI) mengungkapkan setidaknya ada dua tipe anak SMP yang mereka temukan, pertama adalah siswa yang sama sekali tidak bisa membaca, dan yang kedua adalah siswa yang mampu membaca akan tetapi tidak memahami apa yang ia baca. Lebih jauh, Ia mencoba menelusuri beberapa faktor yang disinyalir menjadi penyebab terjadinya fenomena ini, mulai dari adanya kebijakan bahwa untuk ke masuk Sekolah Dasar (SD) tidak perlu tes baca tulis, hingga membebankan proses belajar membaca di tingkat kelas satu SD yang dinilai terlalu singkat. Selain itu, Ia menemukan bahwa masalah keterlambatan membaca terjadi pada anak-anak yang memiliki keterbatasan ekonomi maupun anak-anak dengan orang tua yang tidak terlalu memperhatikan perkembangan proses belajar anaknya.
ADVERTISEMENT
Temuan lain juga didapat oleh Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Pangandaran yang menerima laporan tentang adanya puluhan siswa di salah satu SMP yang belum bisa membaca. Setidaknya, melalui program gerakan literasi yang digagas oleh sang kepala sekolah, ditemukan adanya 32 orang siswa yang belum lancar atau belum bisa membaca. Saat ini, Disdikpora Kabupaten Pangandaran telah meminta para guru untuk memberikan waktu dan perhatian khusus kepada siswa yang belum bisa membaca.
Berdasarkan beberapa fenomena yang dikemukakan sebelumnya, jelas sekali masih terjadi kesenjangan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Melalui penerapan Kurikulum Merdeka, berbagai upaya tentu telah dilakukan pemerintah dalam mengatasi kesenjangan pendidikan ini, seperti mendorong pembelajaran yang berorientasi pada higher order thinking skills (HOTS), pengadaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang menekankan pada nilai literasi dan numerasi, pengadaan Asesmen Nasional yang menghasilkan rapor pendidikan bagi sekolah, serta adanya workshop literasi dan numerasi bagi guru sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan nilai PISA. Namun, apakah berbagai upaya tersebut dinilai cukup tepat untuk menjadi solusi dalam mengatasi kesenjangan dan penurunan kualitas pendidikan Indonesia? Hal ini tampaknya menjadi salah satu catatan penting bagi para pemangku kebijakan di bidang pendidikan, untuk kembali melakukan analisis yang mendalam terhadap permasalahan pokok pendidikan yang terjadi di Indonesia, serta menemukan solusi yang tepat demi menghadirkan pendidikan yang lebih baik di masa mendatang. Jangan sampai kita terlalu fokus dalam meningkatkan prestasi di tingkat internasional dan mengabaikan fenomena yang secara nyata telah terjadi di berbagai satuan tingkat pendidikan.
ADVERTISEMENT
Dima Noor Ziehad, Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung.