Konten dari Pengguna

Tantangan Elektrifikasi: Mengapa Masyarakat Enggan Beralih ke Mobil Listrik?

Putu Dina Apriliani
Undergraduate Student at Fiscal Administration, Universitas Indonesia
24 November 2024 13:30 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putu Dina Apriliani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Penulis: Putu Dina Apriliani & Nasywa Salsabila, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
ADVERTISEMENT
DKI Jakarta mencatatkan indeks kualitas udara (AQI) tertinggi di dunia sebesar 177 yang termasuk dalam kategori tidak sehat per Agustus 2024. Polusi udara yang membungkus Kota Jakarta utamanya bersumber dari emisi kendaraan bermotor yang memberikan sumbangsih berupa NOx sebesar 72,4%, CO2 sebesar 92,36%, PM10 57,99%; dan PM2,5 67,03%, yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan, terutama pada anak-anak dan ibu hamil (Lestari dkk., 2020).
Selain itu, emisi karbon dapat memperburuk krisis iklim yang telah terjadi, tercermin dari kenaikan suhu rata-rata Jakarta naik 1°C selama tiga dekade belakangan, yaitu 26,8°C pada tahun 1991 lalu dan menjadi 27,89°C pada tahun 2021 (World Bank, 2021).
Atas kondisi yang memprihatinkan ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berambisi untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2050, terutama untuk bidang transportasi. Program NZE dicetuskan pada Paris Climate Agreement 2015 yang bertujuan untuk menekan pencemaran lingkungan yang menyebabkan pemanasan global dengan melakukan transisi ke sistem energi bersih.
ADVERTISEMENT
Salah satu upaya mencapai NZE pada sektor transportasi adalah pengadaan kendaraan listrik. Keseriusan pemerintah dalam melanggengkan elektrifikasi kendaraan di Indonesia dapat dilihat dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Perpres 55/2019 ini mengatur terkait percepatan program KBLBB yang dapat dicapai diantaranya dengan pemberian insentif dan penyediaan infrastruktur untuk KBLB.
Sayangnya, dengan urgensi yang mendesak dan insentif yang menggiurkan, rupanya masih ada masyarakat DKI Jakarta yang tidak berminat untuk mengadopsi kendaraan listrik sebagai moda transportasi sehari-harinya.
Grafik 1. Jumlah Tingkat Minat Masyarakat DKI Jakarta untuk Membeli Mobil Listrik. n=333
Grafik diatas menunjukan bahwa 34% dari total 333 responden tidak memiliki minat untuk membeli mobil listrik. Perlu diketahui bahwa 333 responden di atas merupakan sampel dari populasi masyarakat DKI Jakarta yang dianggap mampu merepresentasikan keseluruhan populasi.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentunya bukan hal yang sepele walaupun persentase masyarakat DKI Jakarta yang memiliki minat untuk membeli mobil listrik lebih tinggi daripada yang tidak memiliki minat membeli mobil listrik. Kondisi ini menunjukkan adanya kecenderungan sebagian masyarakat belum atau bahkan tidak menjadikan mobil listrik sebagai pilihan utama pembelian kendaraannya.
Terdapat berbagai alasan yang mendasari masyarakat DKI Jakarta tidak berminat untuk mengadopsi mobil listrik. Berdasarkan 114 responden yang tidak memiliki minat untuk membeli mobil listrik, terdapat empat alasan teratas yang harus menjadi perhatian bersama.
Tingginya Biaya dan Rendahnya Skala Prioritas terhadap Mobil Listrik
Biaya yang dikeluarkan, termasuk harga beli merupakan komponen utama yang menentukan preferensi seseorang terhadap pembelian suatu barang. Ketika harga beli mobil listrik dirasa tinggi, maka orang cenderung memiliki preferensi yang rendah sehingga menunjukan ketidaktertarikan untuk mengadopsi mobil listrik.
ADVERTISEMENT
Rata-rata harga mobil listrik paling rendah berada di kisaran kurang dari Rp200.000.000 hingga yang paling tinggi mencapai lebih dari Rp1.000.000.000. Namun, alasan utama masyarakat menganggap biaya yang dibutuhkan untuk mengadopsi mobil listrik masih sangat tinggi terletak pada biaya pembelian baterainya.
Diketahui harga baterai untuk mobil listrik bisa mencapai setengah harga mobil listrik itu sendiri. Hal ini membuat masyarakat merasa terbebani karena untuk sekali pembelian, rasanya seperti mengeluarkan biaya nyaris dua kali lipat.
Namun, perlu diketahui juga bahwa tingginya harga baterai mobil listrik disebabkan karena baterai mobil listrik yang masih diimpor. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia pada saat ini memiliki rencana untuk membangun pabrik baterai dalam negeri untuk menekan harga mobil listrik dari sisi harga baterainya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan wawancara dengan Kementerian ESDM, Indonesia pada saat ini sedang membangun pabrik baterai melalui Indonesian Baterai Company yang dikhususkan dari PLN, Pertamina dan Antam. Diharapkan ketika Indonesia sudah mampu memproduksi baterai sendiri, maka harga mobil listrik bisa menjadi jauh lebih murah dibandingkan saat baterainya masih diimpor.
Selain itu, tingginya harga mobil listrik menyebabkan kebanyakan orang merasa belum membutuhkan mobil listrik dalam waktu dekat ini, terutama bagi masyarakat yang sudah memiliki mobil konvensional sebelumnya. Mobil konvensional dan transportasi umum dirasa masih lebih efisien dibandingkan mobil listrik, khususnya untuk dipakai bepergian jarak jauh.
Perlu diketahui bahwa mobil listrik untuk saat ini memang tidak disarankan untuk penggunaan jarak jauh. Oleh sebab itu, ketika seorang calon pembeli hendak membeli mobil listrik, pihak dealer harus mengetahui apakah pembelian ini merupakan kepemilikan pertama atau bukan. Sebab, kepemilikan pertama atas mobil pribadi lebih disarankan untuk mobil konvensional. Mobil listrik dapat menjadi mobil kedua yang menunjang aktivitas sehari-hari di dalam kota.
ADVERTISEMENT
Infrastruktur Mobil Listrik yang Masih Minim
Banyak masyarakat masih meyakini bahwa jumlah SPKLU masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan SPBU, sehingga hal tersebut kurang meyakinkan masyarakat untuk beralih ke mobil listrik. Menurut Pak Andi Nur dan Andi Hanif dari Kementerian ESDM, jumlah SPKLU yang tersebar di Indonesia sudah mencapai 1.566 unit serta ketersediaannya dapat diakses melalui berbagai kanal.
Menjadi menarik ketika Pak Andi Nur menyatakan bahwa SPKLU tidak dapat dipersamakan sepenuhnya seperti SPBU yang harus ditempatkan pada lokasi khusus. SPKLU secara fleksibel dapat dipasang di berbagai tempat. Salah satunya di rumah pemilik mobil listrik.
Dilanjutkan oleh Pak Andi Hanif yang menegaskan bahwa paradigma masyarakat terhadap mobil listrik juga harus diluruskan. Dengan keunggulan pengisian daya dapat dilakukan di rumah masing-masing, maka sudah seharusnya pengendara mobil listrik memiliki kesadaran untuk memastikan mobil yang akan dikendarainya sudah fully charged.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini kemudian di dukung oleh Dilham selaku Sales Executive EV di Dealer Wuling Arista Garuda, Kemayoran, Jakarta Pusat. Di DKI Jakarta, SPKLU sudah terhampar luas sepanjang jalan didukung dengan kemudahan akses melalui kanal daring. Namun, jika dibandingkan dengan daerah lain, ketersediaan SPKLU yang tidak sebanyak di DKI Jakarta masih membuat masyarakat takut untuk bepergian keluar kota/provinsi.
Sebagai sales, Dilham sendiri juga lebih menyarankan untuk membeli mobil konvensional sebagai mobil kepemilikan pertama. Mobil listrik akan jauh lebih memberi keuntungan jika dibeli sebagai kepemilikan kedua dan seterusnya.
Karena biaya yang dikeluarkan untuk operasional mobil listrik akan jauh lebih hemat dibandingkan dengan mobil konvensional. Ketersediaan SPKLU yang belum merata antar daerah di Indonesia lah yang menjadi salah satu tantangan bahwa mobil listrik belum sepenuhnya dapat menggantikan mobil konvensional.
ADVERTISEMENT
Kurangnya Pengetahuan Terkait Mobil Listrik
Kurangnya pengetahuan masyarakat terkait mobil listrik menjadi alasan tertinggi ke- empat yang menyebabkan terhambatnya peralihan elektrifikasi kendaraan di DKI Jakarta.
Sebagian besar menyatakan bahwa akses informasi terkait teknis operasional maupun kemampuan mobil listrik seperti jarak tempuh, teknologi baterai, proses mengisi daya, serta cara merawat mobil listrik yang masih terbatas. Di samping itu, cukup sedikit dari masyarakat pun tidak mengetahui terkait berbagai insentif yang bisa mereka manfaatkan ketika hendak membeli atau semasa sedang menggunakan mobil listrik.
Berdasarkan catatan lapangan (field notes), Dilham yang saat ini bekerja sebagai Sales Executive EV mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan mobil konvensional, proses penjualan mobil listrik memakan waktu yang cukup lama. Hal ini dikarenakan adanya proses pemasangan charging mobil di rumah pembeli yang memakan waktu kurang lebih dua bulan.
ADVERTISEMENT
Sehingga, pembeli tidak perlu khawatir akan kekurangan informasi dalam membeli atau merawat mobil listrik. Pihak dealer akan senantiasa membantu dalam mengedukasi pembeli mulai dari setiap proses pembelian, pemasangan charger, hingga balik nama mobil. Beberapa dealer juga akan memberikan keuntungan berupa pengecekan battery health dan penggantian baterai secara gratis, hingga garansi seumur hidup.
Selain itu, pemerintah menggelontorkan berbagai jenis insentif fiskal dan non- fiskal yang berupaya untuk menarik minat pembeli. Insentif tersebut mencakup PPN dan PPnBM ditanggung pemerintah dengan batasan tertentu, pembebasan PKB dan BBNKB, termasuk subsidi pada pembelian mobil listrik, hingga pembebasan aturan ganjil-genap yang memberikan kemudahan aksesibilitas dan mobilisasi bagi pemilik mobil listrik.
Keterbatasan pada mobil listrik tidak dapat menjadi penghambat untuk mendorong masyarakat berkontribusi dalam mengurangi emisi gas di lingkungan sekitarnya. Masyarakat dapat melakukan berbagai langkah alternatif yang lebih terjangkau. Salah satunya adalah dengan beralih menggunakan transportasi umum seperti KRL, MRT, maupun bus.
ADVERTISEMENT
Berbagi kendaraan atau carpooling juga bisa menjadi salah satu cara untuk mengurangi jumlah kendaraan di jalan sekaligus menekan polusi udara. Masyarakat juga harus membiasakan diri untuk berjalan kaki ataupun bersepeda ketika hendak bepergian jarak pendek.
Jika harga jual mobil listrik masih dirasa sangat mahal, maka masyarakat juga dapat beralih untuk membeli mobil Low Cost Green Car (LCGC). Mobil ini juga merupakan salah satu program pemerintah untuk mengurangi polusi dengan teknologi yang ramah lingkungan serta patokan harga yang relatif lebih murah.
Untuk mendukung perubahan ini, selain mobil listrik, pemerintah dapat memperluas insentif ramah lingkungan. Masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam program penghijauan kota atau mendukung inisiatif komunitas yang berfokus pada kelestarian lingkungan. Dengan langkah ini, kontribusi kolektif dapat membantu mencapai tujuan pengurangan emisi secara nasional.
ADVERTISEMENT
Referensi
Data Primer:
Data Sekunder:
ADVERTISEMENT