Konten dari Pengguna

Mengenali Lelaki Red Flag Sebelum Akad

Suhendri Cahya Purnama
Editor Penerbit Daarut Tauhiid (MQS). Penulis Lepas di Kota Bandung.
24 Oktober 2025 8:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Mengenali Lelaki Red Flag Sebelum Akad
Cinta sejati bukan soal lama kenal atau tampilan saleh. Waspadai tanda bahaya sejak awal: lihat sikap, tutur, dan cara menghargai. Cinta sehat lahir dari empati, bukan dominasi. #userstory
Suhendri Cahya Purnama
Tulisan dari Suhendri Cahya Purnama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://dreamina.capcut.com
zoom-in-whitePerbesar
https://dreamina.capcut.com
ADVERTISEMENT
Siang itu rumah sedang riuh seperti pasar kecil. Anak-anak berlarian, tawa dan tangis bergantian, seakan damai hanya sebentuk fatamorgana. Di tengah kebisingan domestik itu, aku dan istriku berbincang. Obrolan yang awalnya ringan—tentang teman yang kini jarang mengabari—perlahan berubah arah, menjadi lebih sunyi dan getir. Ada kabar dari seorang sahabat yang rumah tangganya retak. Bukan karena rezeki yang seret; bukan pula karena perbedaan visi, melainkan karena luka yang datang dari orang terdekat—suaminya sendiri.
ADVERTISEMENT
Luka yang tidak tampak, tapi menetes pelan lewat ucapan yang merendahkan. Lewat sikap yang dingin, bahkan lewat tangan yang tak lagi tahu cara menahan diri.
Kami mencoba memahami, mencari sebab-musabab yang sering kali tak bisa ditelusuri dengan nalar sederhana. Apakah karena perkenalan mereka sebelum lanjut ke akad terlalu singkat? Apakah karena terburu-buru, sehingga tanda bahaya (red flag) terlewat dibaca?
Namun, kenyataan menampar lembut asumsi itu. Ada kerabat lain yang mengenal pasangannya hanya sebentar—dan kini hidup bahagia, penuh rasa saling menghargai. Ada pula yang menikah setelah bertahun-tahun mengenal dekat, tapi justru tersesat dalam rumah tangga sarat prahara. Maka waktu, tampaknya bukan jaminan apa pun. Ia hanya wadah; isi di dalamnya tergantung sejauh mana dua orang berani jujur tentang siapa diri mereka sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Yang lebih menyesakkan adalah kisah mereka yang berusaha “memantaskan diri.” Belajar agama, bergabung di lingkungan religius, berharap jodoh akan datang dari lingkaran suci yang sama. Namun takdir mempertemukan dengan lelaki yang fasih bicara dalil, tapi lalai pada adab. Lelaki yang pandai berkhutbah tentang kesabaran, tapi tidak bisa menahan amarah di rumahnya sendiri. Dari situ kami sadar, kemasan religius tidak selalu menjamin kualitas batin seseorang. Kadang justru menjadi selimut tebal yang menutupi bara ego dan ambisi.
https://dreamina.capcut.com
Jadi, apa pakemnya? Bagaimana perempuan bisa terhindar dari lelaki red flag sebelum menikah?
Mungkin jawabannya bukan pada lamanya mengenal, bukan pula pada sertifikasi kesalehan. Patokannya adalah kepekaan membaca karakter dan konsistensi perilaku kecil. Lelaki yang red flag jarang bisa menipu dalam waktu lama, sebab bibitnya muncul di sela-sela percakapan sederhana. Bagaimana ia memperlakukan orang yang ‘tidak selevel dengannya’ , bagaimana ia menanggapi perbedaan pendapat, bagaimana ia berbicara tentang ibunya, dan bagaimana ia memandang perempuan—apakah sebagai mitra atau properti.
ADVERTISEMENT
Perempuan perlu membangun kepekaan batin, bukan sekadar memastikan. Tidak hanya bertanya, “apakah dia mencintaiku?”, tapi juga “bagaimana caranya mencintaiku?” Sebab, cinta tanpa etika hanyalah racun yang berbau wangi. Cinta yang sehat tidak menuntut tunduk membabi buta, tapi mengajak tumbuh bersama dalam ruang saling menghormati.
Dan mungkin, tugas kita semua—laki-laki dan perempuan—adalah belajar mengenali bayangan kita sendiri sebelum mencari cahaya orang lain. Agar tidak menuntut kesempurnaan, tapi juga tidak memaafkan kebengisan. Karena pernikahan bukan tempat menebus kesepian, melainkan ruang membangun peradaban kecil yang berangkat dari empati dan kesadaran diri.
Pada akhirnya, red flag sejati bukanlah tanda pada orang lain, melainkan alarm dalam diri kita: berani atau tidak kita menolak sesuatu yang tampak indah, tapi mencederai martabat.
ADVERTISEMENT