Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Gadis Kretek dan Pengaruhnya terhadap Budaya Perempuan Merokok: Sebuah Dilema
5 Desember 2023 9:11 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Dinna Lailiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Perempuan merokok barangkali menjadi salah satu hal yang masih tabu di beberapa tempat. Bahkan, tak sedikit perempuan memilih untuk tidak merokok di tempat-tempat umum demi menghindari berbagai spekulasi negatif. Perempuan yang menghisap tembakau acap kali dicap sebagai perempuan nakal dan pemberontak. Namun, hal itu tidak berlaku bagi laki-laki merokok.
Hal ini muncul akibat adanya berbagai stigma masyarakat terkait dengan perempuan merokok. Apakah merokok begitu lekat dengan maskulinitas dan berlaku sebaliknya bagi perempuan? Citra negatif perempuan merokok ini tidak berlaku pada film yang baru-baru ini menghebohkan masyarakat sosial media, yakni Gadis Kretek. Alih-alih menghujat, adegan merokok yang dilakukan oleh Dasiyah (Dian Sastrowardoyo) justru dielu-elukan.
Tak sedikit dari mereka kemudian menyatakan keinginannya untuk belajar menghisap tembakau agar terlihat ‘keren’ dan karismatik. Namun, apakah benar bahwa perempuan merokok adalah bentuk perlawanan atau justru ditunggangi misi kapitalisme yang lebih besar?
ADVERTISEMENT
Citra Perempuan Merkokok Sebelum & Sesudah Gadis Kretek
Belakangan ini, saya merasa situasi tersebut dijungkirbalikkan dengan rilisnya serial terbaru Netflix yang berjudul Gadis Kretek. Semenjak dirilis, serial tersebut tak hentinya menjadi perbincangan publik di berbagai media sosial.
Serial yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Ratih Kumala ini disebut-sebut membonceng wacana perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan gender. Bahkan, tidak sedikit perempuan yang kemudian mengelu-elukan akting Dian Sastrowardoyo, sebagai Dasiyah, terutama saat adegan-adegan menghisap kretek.
Tak jarang dari mereka melontarkan komentar ingin belajar menghisap kretek agar tampil ‘keren’ dan karismatik seperti Dasiyah. Hingga saat ini, kompilasi video yang menunjukkan berbagai adegan merokok yang diperankan Dian Sastrowardoyo itu telah dibagikan puluhan ribu kali oleh pengguna media sosial.
ADVERTISEMENT
Apresiasi dan respons positif terhadap adegan tersebut menunjukkan bahwa terdapat pergeseran citra perempuan merokok. Seperti diketahui, sepanjang sejarah rokok di Indonesia, studi dan penelitian terkait dengan stigma perempuan perokok yang beredar di masyarakat cenderung negatif.
Dalam penelitian yang berjudul Studi Etnografi Tentang Stigmatisasi dan Konromitas Perempuan Perokok dalam Budaya Patriarki (Nangoi, 2023: 45-60) menunjukkan bahwa perempuan merokok dianggap sebagai nakal dan pemberontak. Stigma yang mendarah daging di tengah kuatnya pengaruh patriarki dalam masyarakat Indonesia itu juga membuat perempuan menahan diri untuk tidak merokok di ruang-ruang publik.
Penelitian lain yang berjudul Citra Diri Perempuan Perokok (Halking Dkk, 2022) mengungkapkan bahwa di samping menampilkan citra positif seperti mampu mengendalikan emosi, perempuan perokok lebih cenderung menyimpan citra negatif, yakni merasa rendah diri, mengulur waktu, dan tidak merasa bangga saat merokok dengan alasan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Citra negatif perempuan merokok pun diperkuat melalui media-media budaya populer, salah satunya adalah film. Dalam film, terutama yang dirilis pada tahun 90-an hingga 2000-an awal, perempuan perokok diidentikkan dengan perempuan nakal hingga pekerja seks, seperti film Cross The Line dan Before-Now, and Then.
Dalam kedua film tersebut, wanita-wanita yang merokok digambarkan sebagai seorang mucikari dan selingkuhan seorang pria beristri. Namun, persepsi negatif tersebut tampaknya telah berubah setelah rilisnya film Gadis Kretek.
Citra perempuan perokok menjadi ‘keren’ dan karismatik setelah penonton disuguhkan peran Jeng Yah sebagai representasi kekuatan dan kebebasan berekspresi seorang perempuan. Gayanya dalam menghisap kretek pun menuai beragam pujian publik, terutama para wanita.
Namun, di samping berbagai ungkapan kekaguman yang diutarakan tersebut, tak sedikit pula warganet yang justru mempertanyakan terkait dengan peningkatan jumlah perokok aktif dari kalangan perempuan sejak munculnya film tersebut. Bukan hal yang aneh jika pertanyaan tersebut muncul.
ADVERTISEMENT
Bahkan, pertanyaan yang sekaligus menjadi kekhawatiran tersebut sangat beralasan. Sebab, film telah disebut sebagai salah satu media yang dapat menyuburkan bibit-bibit perokok aktif. Hal tersebut telah dikaji dalam penelitian yang berjudul Association of Established Smoking Among Adolescents With Timing of Exposure to Smoking Depicted in Movies yang ditulis oleh Brian A. Primack, Meghan R. Longacre, dkk (2012) dan Smoking in the Movies Increases Adolescent Smoking: A Review yang ditulis oleh Annemarie Charlesworth dan Stanton A. Glantz (2005).
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa terdapat banyak variabel yang merokok karena terpapar adegan merokok dalam film. Selain itu, penelitian itu juga menyebutkan bahwa film, yang pada kenyataannya jarang menggambarkan dampak negatif terhadap kesehatan, berkontribusi pada peningkatan persepsi tentang prevalensi dan manfaat merokok.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, paparan film merokok juga membuat sikap dan keyakinan pemirsa terhadap rokok dan perokok menjadi lebih baik dan mempunyai hubungan dose-response dengan perilaku merokok. Lantas, bagaimana dengan film Gadis Kretek yang secara masif mengulang-ulang adegan merokok?
Kekhawatiran tersebut muncul lantaran kondisi Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki prevalensi merokok tertinggi di dunia setelah Turki. Padahal, jumlah perokok di Indonesia ingin terus ditekan oleh pemerintah, selain karena faktor kesehatan, juga karena faktor ekonomi (Farid, 2021).
Upaya tersebut pun menuai pro dan kontra. Banyak yang setuju dengan alasan tersebut, akan tetapi tak sedikit pula yang menolak karena rokok sudah, bisa dibilang, menjadi bagian dari budaya Indonesia. Faktanya, rokok memang memiliki peran yang cukup unik di kalangan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Rokok telah melekat cukup kuat di berbagai lapisan masyarakat dan kegiatan sosial di Indonesia. Bahkan, rokok disebut-sebut sebagai simbol rasa hormat di berbagai kesempatan. Tak sampai di situ, kebiasaan menjadikan rokok sebagai ‘oleh-oleh’ bagi peserta rapat para era Soeharto bahkan memunculkan istilah ‘uang rokok’ dalam aktivitas upah dan suap di masyarakat.
Perubahan Citra Perempuan Merokok: Sebuah Strategi Kapitalisme?
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana perubahan citra perempuan perokok yang disebut sebagai perlawanan tersebut sepenuhnya terlepas dari peran kapitalis, khususnya industri tembakau? Dengan nada curiga, jangan-jangan citra yang ditampilkan pada film itu sengaja untuk menargetkan konsumen perempuan. Sebab, hal itu terbukti pernah dilakukan pada saat pecahnya gerakan feminisme gelombang pertama di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Makna perlawanan perempuan melalui aktivitas merokok itu kemudian dimanipulasi oleh industri tembakau. Fenomena tersebut disinggung dan dilaporkan oleh The Washington Post (2015) dan International Journal of Environmental Research. Tidak hanya di Amerika, upaya industri tembakau dalam membingkai rokok sebagai bentuk perlawanan sekaligus menggencarkan promosi mereka pun terjadi di Asia.
Hal itu diungkap dalam penelitian From Social Taboo To ‘Torch of Freedom’: The Marketing of Cigarettes to Women (2000). Seluruh strategi iklan dan slogan pun dibuat dan ditujukan khusus untuk perempuan. Pendekatan pemasaran tersebut sukses besar. Perempuan merokok di Asia sepanjang tahun tersebut pun semakin meningkat.
Oleh karena itu, publik perlu berhati-hati dalam pemberian makna budaya terhadap berbagai media, termasuk film, yang secara tidak disadari mampu mempengaruhi stigma-stigma masyarakat. Dalam kasus ini adalah budaya merokok. Faktanya, meski secara objektif terdapat pembatasan secara sukarela terhadap perokok aktif, penggunaan tembakau tetap lazim ditampilkan di berbagai film (Annemarie & Glantz, 2005).
ADVERTISEMENT
Bukan hal yang aneh bila publik mempertanyakan kembali terkait dengan muatan film-film yang memproduksi makna budaya baru, yang dalam hal ini terkait dengan kesetaraan budaya merokok. Sebab, kita acap kali sulit membedakan apakah budaya tertentu menjadi bentuk perlawanan atau justru ditunggangi oleh cita-cita posmodernisme, di mana teknologi informasi mengambil peran utama dalam memproduksi dan mereproduksi tatanan sosial (Featherstone, 1988).
Berkaca pada situasi pasca-perang dunia II di Amerika Serikat, Jameson (1971) mengatakan hal itu menjadi titik awal bangkitnya industri media dan periklanan yang meningkatkan pemujaan pada sebuah struktur kelas dan gaya hidup tertentu. Industri tersebut memberikan sumbangsih pada perkembangan dari monopoli kapitalisme posindustrial.
Lebih lanjut, dalam hal ini, kapitalisme telah melakukan dominasi pada masyarakat melalui struktur kehidupan yang lebih besar, yakni struktur dominasi yang direproduksi melalui kesadaran palsu. Kesadaran palsu tersebut disuntikkan oleh kapitalisme melalui ragam industri budaya massa yang digerakkan oleh struktur besar berupa jaringan teknologi dan media.
ADVERTISEMENT
Seluruh fitur tersebut, melakukan konspirasi untuk memengaruhi secara total kehidupan manusia dengan cara yang tidak kentara (Ihsan, 2022). Dalam hal ini, adegan merokok dalam film Gadis Kretek yang dielu-elukan oleh sebagian besar warganet perempuan itu, baik sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan gender maupun sebagai kebebasan perempuan mengekspresikan diri, akan menjadi basis (base) yang menentukan perilaku dalam hal ekonomi, agama, sosial, dan politik sebagai suprastruktur (Jameson, 1997). Toleransi publik terhadap rokok dan perempuan merokok pun akan semakin tinggi karena adegan-adegan merokok dalam film Gadis Kretek ini.
Apakah perempuan merokok dipenuhi dengan kesadarannya pribadi atau justru masuk dalam perangkap masifnya periklanan dan pemasaran yang sengaja ditujukan untuk menarik mereka? Jika demikian, maka pada titik ini, perempuan merokok justru bisa dibilang kehilangan kesubjekannya sebagai manusia bebas.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, perilaku merokok bukan lagi tentang kebebasan berekspresi dan perlawanan terhadap ketidaksetaraan, melainkan objek eksploitasi korporasi besar, seperti halnya perusahaan tembakau (rokok).