Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Humanity Above Religion Dalam Kacamata Pluralisme
10 Oktober 2024 17:10 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Mohammad Jakfar Shodiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah Negara besar, dengan Luas Daratan: 1.919.440 km² Luas Lautan: 3.273.810 km².
Indonesia sendiri menduduki peringkat ke empat populasi terbanyak di dunia, dengan Populasi 275,5 juta.
Dengan populasi sebesar itu, tentu Indonesia memiliki banyak sekali keberagaman, mulai dari etnis, ras, budaya, bahasa, dan juga agama.
ADVERTISEMENT
Cara untuk mempersatukan masyarakat yang beragam itu, tentunya kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.
Namun yang kita lihat akhir-akhir, banyak sekali perdebatan orang-orang di sosial media yang saling mengklaim kebenaran atas nama agama.
Tidak sedikit dari mereka yang menggunakan ujaran kebencian terhadap agama orang lain.
Artikel ini adalah buah dari keresahan saya terhadap intoleransi agama yang seringkali saya jumpai.
Yang perlu di catat, Artikel ini saya tulis menggunakan perspektif pluralisme dan tidak mengatasnamakan agama apapun.
Di mana tujuan artikel ini di buat semata-mata untuk menyadarkan kita semua tentang bahaya intoleransi, dan pentingnya humanity.
Kalian setuju gak dengan konsep humanity above religion?
Saya yakin, banyak dari kalian yang tidak setuju konsep ini di terapkan.
Namun menurut saya, istilah humanity above religion itu sah-sah saja. Jika, di praktekkan secara proporsional dan subjektif demi kepentingan perdamaian.
Bukan tanpa alasan kenapa saya setuju humanity above religion perlu kita terapkan dan di praktekkan.
Karna menurut saya, di negara yang memiliki beragam kepercayaan seperti di Indonesia, konsep humanity above religion memang perlu di terapkan untuk menekan praktek intoleransi antar umat beragama.
Jujur saja, saya sudah lelah melihat perdebatan orang-orang di sosial media yang saling mengklaim kebenaran atas nama agama.
Tidak sedikit pula dari mereka yang melontarkan kalimat tidak pantas pada kepercayaan orang-lain, yang semata-mata hanya ingin menegaskan kalau kepercayaan yang mereka anutlah yang paling benar. sedangkan mereka beranggapan kepercayaan yang orang lain anut itu keliru.
Menurut saya Agama tidak perlu di perdebatkan,
Karna Semua agama benar dimata penganutnya.
Jika kita memang benar-benar menerapkan ajaran agama yang kita yakini dan kita anut.
Saya yakin, tidak ada satupun ajaran dalam agama yang mengajarkan perpecahan.
Karna sejatinya, Setiap agama mengajarkan pesan damai.
Kalau saja umat manusia merepresentasikan kehidupan sesuai dengan kaidah yang agama ajarkan, niscaya umat manusia akan hidup damai.
Begitupun sebaliknya, Jika umat manusia belum berada di fase kedamaian dalam sosial, berarti mereka belum merepresentasikan ajaran agamanya dengan benar.
Semakin bijak dan bermartabat tingkah dan sikap kita sebagai seorang pemeluk, Maka akan semakin tinggi pula martabat agama yang kita anut.
Di abad ke 21 seperti saat ini, seharusnya umat manusia sudah banyak belajar dan lebih bijak dalam memandang perbedaan. Entah itu perbedaan ras, suku, budaya, atau bahkan agama.
Jika kita bedah dan tala'ah. Berbagai konflik kemanusiaan yang acap kali terjadi di masa lampau sebagian besar bermula karna isu intoleransi. Entah itu ras, suku, budaya, sudut pandang politik, dan juga agama.
Dalam artikel ini, saya akan memberikan contoh negara yang hancur karna intoleransi, Yaitu Yugoslavia.
Buat yang belum tau, Yugoslavia adalah sebuah negara besar di kawasan Eropa yang sekarang pecah menjadi beberapa negara, Yaitu Kosovo, Kroasia, Serbia, Slovenia, Montonegro, dan dua negara Balkan lainnya.
Yugoslavia adalah negara yang menguasai daerah Balkan dari tahun 1918. Dan akhirnya benar-benar pecah pada tahun 2003
Di bawah kepemimpinan Presiden Josip Broz Tito, Yugoslavia menjelma menjadi negara makmur dan berkembang sangat pesat.
mimpi buruk Yugoslavia dimulai ketika presiden tito yang amat di kagumi dan dicintai itu meninggal dunia.
Yugoslavia yang dulu kita kenal sebagai negara yang memiliki teritorial yang cukup luas di semenanjung eropa, tentunya di huni berbagai etnis. Ras, suku, bahasa, dan kepercayaan yang beragam.
di bawah kepemimpinan presiden Tito, masalah-masalah sosial memang sudah sering terjadi, dan ada juga yang sampai menyulut konflik.
Tapi dengan ketegasan presiden Tito, dia mampu meredam itu semua.
Naas, ketika presiden Josip Broz Tito meninggal, luka-luka lama penduduk Yugoslavia kembali bergejolak.
Dikrimanasi antar ras terjadi di mana-mana, Pembantaian dan perselisihan antar etnis juga terjadi dimana-mana, Ujaran kebencian yang mengatasnamakan kebenaran agama juga bertebaran dimana-mana.
Hingga akhirnyadi tahun 1987 terjadilah krisis ekonomi dan krisis politik.
awal mula krisis ini disebabkan oleh konflik antar etnis.
Karna tidak adanya sosok pemimpin yang mampu menangani dan menyatukan etnis-etnis ini, maka munculah gerakan-gerakan separatis.
Keadaan semakin runyam manakala krisis semakin mencekik,
sehingga pecahlah perang saudara disana, Yang menyebabkan hilangnya ratusan bahkan ribuan jiwa manusia.
Dan akhirnya pada 1991. Kroasia, Slovenia dan Macedonia memproklamasikan kemerdekaan mereka secara sepihak dan akhirnya membentuk negaranya masing-masing.
Dan pada 4 Februari 2003 Yugoslavia di bentuk ulang menjadi Serbia Montenegro. Sebelum akhirnya keduanya harus pecah juga menjadi negara masing masing,
Yang sekarang kita kenal sebagai serbia dan Montenegro.
Yugoslavia yang dulunya begitu besar di semenanjung Eropa, akhirnya menghilang bak di telan bumi karna sikap Intoleransi rakyatnya sendiri.
Pertanyaannya, Berapa banyak bencana yang kita butuhkan untuk menyatukan umat manusia?
Seharusnya sejarah yang sudah terjadi di masa lampau, bisa dijadikan pembelajaran agar umat manusia hidup damai meski dalam perbedaan.
Mengingat sebagian besar kasus perpecahan memang di doktrin oleh perbedaan sudut pandang.
Tapi, semua itu bisa dilawan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Dan semoga saja kisah kelam Yugoslavia tidak terjadi pada Indonesia.
Kembali ke konteks awal. Ketika saya mendengar istilah humanity above religion,Saya teringat dengan perkataan Gus Dur "Kita terlalu sibuk berbicara ketuhanan, hingga lupa akan kemanusiaan"
Dalam konteks ini tentu saya tidak bermaksud untuk membandingkan agama dengan kemanusiaan, karena sejatinya, agama memang diturunkan untuk menyempurnakan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam artikel ini saya hanya ingin mengedukasi masyarakat, Kita boleh beragama, Tapi kita tidak boleh lupa kalau kita beragam.
Dunia kita ini di hunia lebih dari 8 miliar manusia.
dengan populasi sebesar itu, tentu umat manusia terdiri dari beragam etnis, budaya, bahasa, dan agama.
Menurut saya, satu-satunya cara untuk mempersatukan umat manusia adalah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan humanity. Dan dengan mengesampingkan sikap intoleransi.
Saya berharap, suatu saat nanti kita semua bisa mengerti dan menyadari. Bahwa di dunia ini hanya ada satu Ras, yaitu Ras manusia. Yang dimana kita semua termasuk di dalamnya.
Terlepas dari perbedaan umat manusia dalam merepresentasikan entity Tuhan.
Sejatinya umat manusia di ciptakan oleh dia yang maha cinta,
Cara untuk menggambarkan ke maha-cintaan tuhan adalah dengan merepresentasikan nilai-nilai cinta kemanusiaan antar umat manusia, tanpa harus memandang latar belakang dan agamanya.
Karna hakikatnya, tidak ada agama yang lebih tinggi dari kemanusiaan
ADVERTISEMENT
Live Update