Konten dari Pengguna

Membongkar Kompleksitas Cancel Culture di Era Digital

Diza Putri Astuti
Saya merupakan lulusan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta yang gemar menulis terkait dengan isu-isu sosial maupun kebijakan yang terjadi di masyarakat.
1 Februari 2025 15:54 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diza Putri Astuti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fenomena Cancel Culture di Era Digital (Sumber: Freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Fenomena Cancel Culture di Era Digital (Sumber: Freepik.com)

Definisi dan Awal Perkembangan Cancel Culture

ADVERTISEMENT
Menurut Kamus Merriam Webster, ‘cancel culture’ mengacu pada penarikan dukungan secara massal dari figur publik atau selebriti yang telah melakukan hal-hal yang tidak diterima secara sosial saat ini. Dalam hal ini, praktik “membatalkan” atau mempermalukan secara massal ini sering terjadi di platform media sosial seperti Twitter, Instagram, atau Facebook. Adapun menurut Eve Ng dalam bukunya yang berjudul “Cancel Culture: A Critical Analysis” memaknai cancel culture menjadi dua hal yaitu ‘cancel practices (cancelling)’ yang melibatkan tindakan target pembatalan seperti individu, merek, ataupun perusahaan. Serta, ‘cancel discourses’ yang merupakan komentar yang diberikan tentang tindakan pembatalan. Dalam hal ini, ‘cancel culture’ dapat dimaknai sebagai tindakan pembatalan massal yang memiliki target baik tindakan secara langsung maupun melalui komentar (Ng 2022).
ADVERTISEMENT
Cancel culture berkembang di awal dekade 2010-an sebagai produk transformasi digital dan dinamika media sosial. Menurut penelitian Pew Research Center (2021), fenomena ini muncul dari gerakan advokasi yang bertujuan menghadirkan akuntabilitas sosial melalui platform digital, terutama Twitter dan Facebook. Adapun akar perkembangannya berawal dari gerakan sosial seperti #MeToo dan gerakan anti-diskriminasi, yang memberikan ruang bagi kelompok terpinggirkan untuk mengungkapkan pengalaman marginalisasi. Dr. Lisa Nakamura dari University of Michigan menjelaskan bahwa ‘cancel culture’ merupakan "mekanisme kontrol sosial digital" yang memungkinkan masyarakat memberikan tekanan publik terhadap perilaku yang dianggap tidak etis (Ho and NBC 2019).

Dinamika Proses Cancel Culture

Cancel culture berkembang melalui mekanisme kompleks dalam konteks digital, yang digerakkan oleh kekuatan media sosial dan algoritma viral. Menurut penelitian Pew Research Center (2021), proses ini umumnya dimulai dengan pengungkapan perilaku kontroversial atau pernyataan yang dianggap melanggar norma sosial. Dalam tahap awal ini melibatkan identifikasi dan publikasi terkait tindakan yang bermasalah, seringkali melalui platform seperti Twitter atau Instagram. Algoritma media sosial secara otomatis memperluas jangkauan konten kontroversial, memungkinkan informasi menyebar dalam hitungan jam.
ADVERTISEMENT
Fase selanjutnya adalah mobilisasi massa digital, di mana pengguna media sosial memberikan komentar, kritik, dan tuntutan pembatalan (cancellation) terhadap individu atau entitas yang dianggap bersalah. Menurut Dr. Lisa Nakamura dari University of Michigan dalam wawancaranya dengan NBC, menyatakan bahwa proses ini menciptakan "pengadilan publik" yang cepat dan masif (Ho and NBC 2019).
Serta, puncak dari fenomena cancel culture ditandai dengan withdrawal dukungan publik, boikot, dan pemberian label atau stigma negatif. Data Platformer Analytics (2022) mencatat bahwa 55% postingan kontroversial dapat menghasilkan minimal 3 juta interaksi dalam 24 jam pertama, menunjukkan kecepatan dan jangkauan proses pembatalan.

Dampak Sosial

Dari sisi positif, cancel culture telah mendorong perubahan perilaku institusional dan individual. Penelitian dari Journal of Social Media Studies (2022) menunjukkan bahwa 67% perusahaan kini lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berdampak sosial, dan 72% individu dengan platform publik lebih mempertimbangkan dampak pernyataan mereka. Dr. Sarah Chen dari Stanford University mencatat bahwa fenomena ini telah menciptakan mekanisme checks and balances dalam ruang digital.
ADVERTISEMENT
Namun, dampak negatifnya tidak dapat diabaikan. Menurut survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (2023), 78% korban cancel culture mengalami gangguan kesehatan mental, 65% kehilangan pekerjaan, dan 45% mengalami isolasi sosial berkelanjutan. Dr. Michael Thompson dari Yale University menekankan bahwa pembatalan digital seringkali menciptakan "stigma permanen" yang sulit dihapuskan bahkan setelah rehabilitasi.
Studi longitudinal dari Social Media Impact Research Group (2022) mengidentifikasi fenomena "ripple effect", di mana dampak cancel culture tidak hanya mempengaruhi target utama, tetapi juga keluarga, rekan kerja, dan lingkungan sosial mereka. Data menunjukkan bahwa 40% kerabat dekat target cancel culture juga mengalami dampak negatif dalam kehidupan profesional dan personal mereka.

Studi Kasus: Gerakan BDS terhadap McDonald’s di Indonesia

Belakangan ini, fenomena cancel culture dapat dirasakan di Indonesia. Salah satu contoh fenomena cancel culture dapat dilihat dari Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap McDonald’s di Indonesia yang berkembang secara signifikan pada Oktober 2023 terkait konflik genosida antara Israel dengan Palestina. Aksi boikot ini dipicu oleh tindakan McDonald's Israel yang memberikan makanan gratis kepada tentara Israel, yang dianggap sebagai dukungan terhadap genosida di Palestina. Di sisi lain, McDonald's Indonesia menyatakan bahwa operasionalnya independen dan tidak terlibat dalam kebijakan global McDonald's. Adapun mayoritas konsumen Indonesia merasa bahwa dengan membeli produk McDonald's, mereka secara tidak langsung mendukung tindakan tersebut. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Louis dan lainnya menunjukkan bahwa boikot ini tidak hanya berdampak pada penjualan McDonald's, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai Pancasila, seperti keadilan sosial dan kemanusiaan (Louis et al. 2023).
ADVERTISEMENT
Dampak dari gerakan BDS terhadap McDonald's di Indonesia cukup signifikan. Banyak konsumen yang menurunkan minat beli mereka, dan beberapa outlet mengalami penurunan pelanggan yang drastis. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan karyawan mengenai potensi pemutusan hubungan kerja akibat penurunan pendapatan perusahaan (Bedi et al. 2022). Selain itu, boikot ini juga memicu perdebatan publik mengenai etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu kemanusiaan global. Di sisi lain, meskipun terdapat penurunan penjualan, McDonald's Indonesia melakukan upaya untuk menjaga citra positifnya dengan berfokus pada pelayanan pelanggan dan kontribusi sosial melalui donasi kemanusiaan (Salsabilla and CNBC Indonesia 2024). Fenomena ini menunjukkan bagaimana cancel culture dapat memengaruhi reputasi merek secara global dan lokal, serta menciptakan tekanan bagi perusahaan untuk lebih responsif terhadap isu-isu sosial yang sensitif.
ADVERTISEMENT

Perspektif Etis

Fenomena cancel culture di era digital menciptakan tantangan etis yang kompleks. Secara garis besar, cancel culture merujuk pada tindakan memboikot individu atau organisasi yang dianggap melanggar norma sosial atau melakukan kesalahan publik, sering kali melalui platform media sosial. Pendukung cancel culture berargumen bahwa ini adalah bentuk akuntabilitas sosial yang penting, memberikan suara kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan mendorong perubahan positif. Misalnya, gerakan seperti #MeToo telah berhasil mengekspos ketidakadilan dan menyuarakan pengalaman korban pelecehan seksual (Hassan and Rock & Art 2025).
Namun, kritik terhadap cancel culture juga cukup signifikan. Banyak yang berpendapat bahwa praktik ini sering kali bersifat reaktif dan tidak memberikan ruang untuk perbaikan atau penjelasan. Seseorang dapat "dibatalkan" hanya berdasarkan informasi yang tidak lengkap, mengabaikan konteks yang lebih luas dari tindakan mereka. Hal ini dapat menyebabkan penghakiman instan dan penjatuhan hukuman yang tidak proporsional, di mana individu kehilangan kesempatan untuk belajar dari kesalahan mereka. Selain itu, cancel culture dapat menciptakan atmosfer ketakutan, di mana individu enggan untuk menyuarakan pendapat mereka karena takut akan konsekuensi negatif, sehingga menghambat diskusi terbuka dan pertukaran ide (Alfredo Kevin 2023).
ADVERTISEMENT
Adapun berdasarkan perspektif etis, tantangan utama adalah menemukan keseimbangan antara menegakkan akuntabilitas dan menjaga ruang untuk pertumbuhan pribadi serta dialog konstruktif. Dalam konteks ini, penting untuk menerapkan etika "klik" yang menekankan pada refleksi sebelum bertindak, serta mempertimbangkan dampak dari tindakan kita terhadap orang lain (Picarella 2024).

Kesimpulan

Cancel culture di era digital telah menjadi fenomena yang memicu perdebatan etis dan sosial yang mendalam. Di satu sisi, gerakan ini berfungsi sebagai alat untuk menuntut akuntabilitas dari individu atau organisasi yang dianggap melanggar norma sosial. Namun, di sisi lain, cancel culture sering kali berujung pada penghakiman yang terburu-buru dan kehilangan kesempatan bagi individu untuk belajar dari kesalahan mereka. Hal ini menciptakan atmosfer ketakutan yang dapat menghambat kebebasan berekspresi dan dialog terbuka. Dalam konteks ini, pendekatan dialog yang konstruktif sangat diperlukan.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi untuk menangani isu ini mencakup beberapa langkah penting. Pertama, penting untuk mendorong komunikasi yang saling menghormati dan terbuka, di mana setiap pihak dapat menyampaikan pandangannya tanpa takut akan konsekuensi negatif. Kedua, pendidikan tentang literasi media dan pemikiran kritis harus dipromosikan untuk membantu individu memahami kompleksitas isu-isu sosial dan menghindari reaksi emosional yang berlebihan. Ketiga, menciptakan ruang bagi individu untuk mengakui kesalahan dan belajar dari pengalaman mereka dapat membantu membangun budaya yang lebih inklusif dan toleran. Dengan demikian, diskusi tentang cancel culture harus melibatkan pertimbangan mendalam mengenai nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, agar tidak hanya menjadi alat penghukuman tetapi juga sarana untuk pembelajaran dan perbaikan sosial.

Referensi

Alfredo Kevin. 2023. “Analisis Fenomena Cancel Culture Dalam Etika ‘Klik’ Manusia Di Era Digital Menurut F. Budi Hardiman.” SOSMANIORA: Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora 2(2):197–203. doi: 10.55123/sosmaniora.v2i2.1930.
ADVERTISEMENT
Bedi, Rashvinjeet S., Alis Rhea Yasmine Haizan, Denny Armandhanu, and CNA. 2022. “Analysis: A War of Opinions Brewing in Malaysia and Indonesia over Impact of Anti-Israel Boycotts.” Retrieved January 26, 2024 (https://www.channelnewsasia.com/asia/malaysia-indonesia-palestinians-israel-hamas-war-boycott-3906101).
Hassan, Leila, and Rock & Art. 2025. “The Ethics of Cancel Culture: Accountability or Modernday Shaming?” Retrieved January 26, 2025 (https://www.rockandart.org/ethics-cancel-culture-accountability-or-shaming/).
Ho, Shannon, and NBC. 2019. “Deep Reckoning or Fleeting Outrage? Cancel Culture’s Complexity Proves a Double-Edged Sword.” Retrieved January 26, 2022 (https://www.nbcnews.com/pop-culture/viral/deep-reckoning-or-fleeting-outrage-cancel-culture-s-complexity-proves-n1031466).
Louis, Christopher, Elsha Christy Blesstari, Felishia Janice Lin, Kristopher Kenneth, and Wijaya. 2023. “Pengaruh Aksi Boikot Mcdonald’s Akibat Genosida Israel Di Palestina Terhadap Masyarakat Indonesia Dalam Nilai Pancasila Christopher.” Nusantara: Jurnal Pendidikan, Seni, Sains Dan Sosial Humanioral 1(2):1–25. doi: 10.11111/nusantara.xxxxxxx.
ADVERTISEMENT
Ng, Eve. 2022. Cancel Culture: A Critical Analysis. Athens: Palgrave Macmillan.
Picarella, Lucia. 2024. “Intersections in the Digital Society: Cancel Culture, Fake News, and Contemporary Public Discourse.” Frontiers in Sociology 9(March):2020–25. doi: 10.3389/fsoc.2024.1376049.
Salsabilla, Rindi, and CNBC Indonesia. 2024. “Update Daftar Boikot Produk Israel: Starbucks Hilang, McD Bertahan.” Retrieved January 26, 2025 (https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20240724093918-33-557149/update-daftar-boikot-produk-israel-starbucks-hilang-mcd-bertahan).