Konten dari Pengguna

Toxic Positivity. Menjadi Positif Itu Bagus, tetapi Terlalu Positif Bisa Beracun

Diza Resky Aulia
Mahasiswi Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12 Desember 2022 7:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diza Resky Aulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Niatnya, sih, ingin menjadi orang yang positif agar disukai banyak orang, eh, tetapi malah dijauhi karena toxic? Duh, bagaimana, dong?
ADVERTISEMENT
Figur 1. Positivity. Sumber: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Figur 1. Positivity. Sumber: Unsplash
Adakah dari teman-teman pembaca yang ingin menjadi orang yang positif? Atau pernahkah teman-teman melihat orang yang menjalani hidupnya dengan selalu berpikir dan bersikap positif? Orang yang positif di sini, maksudnya adalah orang yang selalu berprasangka baik akan kehidupan yang dijalaninya. Lalu, apa yang salah? Bukankah itu merupakan suatu hal yang baik? Ya, tentu itu merupakan suatu hal yang baik. Namun, itu bisa menjadi suatu hal yang salah ketika seseorang malah menjadi terlalu positif, sehingga Ia akan menolak emosi negatif yang ada pada dirinya. Kondisi ini sering disebut sebagai Toxic Positivity. Lalu, apa sih pengertian toxic positivity itu? Bagaimana tanda-tanda seseorang terjebak dalam toxic positivity? Dan bagaimana cara mengatasinya? Untuk penjelasan lebih lanjutnya, kalian bisa lanjut baca artikel ini, ya!
ADVERTISEMENT

Pengertian Toxic Positivity

Figur 2. Positivity. Sumber: Unsplash
Toxic Positivity merupakan suatu kondisi ketika seseorang memaksa dirinya atau diri orang lain untuk selalu berbuat dan berpikiran positif, sehingga cenderung menolak sedikitpun adanya emosi negatif pada diri mereka. Begitupun menurut Quintero & Long (2019), toxic positivity artinya yaitu hanya berfokus pada hal-hal positif dan mengabaikan apapun yang memicu emosi negatif. Padahal, seperti sifat positif yang tidak selalu baik jika berlebihan, sifat negatif juga tidak selalu buruk, lho! Emosi negatif terkadang berguna dalam kehidupan manusia. Seseorang juga membutuhkan emosi negatif untuk bisa membantunya dalam mengatasi masalah.
Contohnya, saat kita mendapatkan tugas dari orang lain, dari dosen misalnya. Bukankah kita perlu merasa sedikit tertekan untuk bisa segera menyelesaikan tugas yang diberikan kepada kita? Coba bayangkan, bagaimana jadinya kalau kita tidak merasa tertekan dengan adanya tugas? Bisa-bisa kita malah menjadi terlalu santai sehingga lalai dalam mengerjakan tugas yang diberikan.
ADVERTISEMENT
Eits, itu hanya salah satu dari contoh betapa emosi negatif itu berguna bagi manusia. Bagaimana dengan hal-hal penting yang kita sepelekan lainnya? Tentu itu tidak akan baik bagi kehidupan kita. Maka dari itu, menjadi orang yang positif memang perlu, tetapi jangan juga kita menolak seluruh emosi negatif dalam diri.

Tanda-Tanda Toxic Positivity

Figur 3. Positivity. Sumber: Unsplash
Adakah di antara teman-teman pembaca yang jika mendengar masalah orang lain, malah menjawab, “Kamu lebih beruntung, masih banyak orang yang lebih menderita dari kamu.” Kalau menurut Dr. Kevin Adrian (2021), ini adalah salah satu contoh orang yang terjebak dalam toxic positivity, lho! Karena ini berarti kamu membandingkan diri, dan menyepelekan masalah orang lain. Tentu itu merupakan hal tercela, dan tidak sopan untuk membandingkan masalah yang dimiliki seseorang. Selain itu, hal lain yang menandakan seseorang sedang terjebak di dalam toxic positivity, yaitu ketika seseorang terkesan menghindari atau membiarkan masalah. Seperti contoh kasus di atas tadi, jika kita menghindari atau membiarkan tugas yang diberikan, kita akan menjadi lalai dalam mengerjakannya. Tanda-tanda toxic positivity lainnya menurut Dr. Kevin dalam artikelnya, antara lain:
ADVERTISEMENT

Cara Mengatasi Toxic Positivity

Figur 4. Positive. Sumber: Unsplash
Cara mengatasi toxic positivity menurut Zawn Villines (2021) beberapa di antaranya yaitu dengan menganggap emosi negatif sebagai suatu hal yang normal, mengatur dan mengelola emosi negatif yang dirasakan, dan mengekspresikan emosi negatif dengan berbagai cara. Mengatur dan mengelola emosi negatif yang dirasakan. Salah satunya dengan jangan menyimpan, apalagi sampai menyangkal emosi negatif yang ada pada diri sendiri. Bagaimanapun, emosi negatif juga termasuk dalam suatu perasaan, hal itu merupakan hal wajar dimiliki oleh seseorang. Untuk itu, cobalah untuk lebih mengekspresikan emosi negatif yang dirasakan, misalnya dengan bercerita kepada orang terdekat dan dapat kamu percaya, atau bahkan kamu bisa menuliskannya dalam buku harian.
ADVERTISEMENT
Cara kedua, yaitu dengan mencoba memahami diri sendiri maupun orang lain, dan jangan menghakiminya. Perasaan negatif yang dirasakan semua manusia, terjadi karena beberapa sebab, mulai dari masalah keluarga, pendidikan, pekerjaan, finansial, hingga gejala gangguan mental tertentu. Oleh karena itu, cobalah untuk memahami emosi negatif tersebut dan temukan cara yang tepat untuk melepaskannya. Begitu pula jika hal ini terjadi pada orang lain, biarkan mereka meluapkan emosi yang sedang dirasakan. Tentu tidak ada orang yang ingin dihakimi, apalagi hanya karena mereka jujur dengan perasaannya sendiri. Oleh karena itu, daripada memberi komentar yang terkesan meremehkan, cobalah untuk mengerti dan berempati.
Sumber
Kojongian, M. G. R., & Wibowo, D. H. (2022). Toxic Positivity: Sisi Lain dari Konsep untuk Selalu Positif dalam Segala Kondisi. Psychopreneur Journal, 6(1), 10-25.
ADVERTISEMENT
https://journal.uc.ac.id/index.php/psy/article/view/2493/1947
https://hellosehat.com/mental/emosi-negatif/#manfaat-emosi-negatif
https://psikologi.ugm.ac.id/kuliah-online-toxic-positivity-dan-kesehatan-mental/
https://www.alodokter.com/mengenal-lebih-jauh-tentang-toxic-positivity
https://www.healthline.com/health/repressed-emotions#releasing-them
https://www.medicalnewstoday.com/articles/toxic-positivity#what-it-is