Konten dari Pengguna

Pandangan Masyarakat terhadap Profesi Advokat di Indonesia (3)

Djamal Thalib
- Dosen FH UNPAR, Bandung. - Advokat - Anggota Dewan Pengawas Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual, Indonesia (APHKI)
18 Desember 2024 10:55 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Djamal Thalib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang profesi advokat, sebenarnya masih ada sisi positif keberadaan Advokat yang berkualitas dan rasanya perlu menjadi perhatian bersama. Banyak Advokat yang turut serta memasukkan konsep-konsep hukum modern, seperti misalnya hukum korporasi, investasi, keuangan, bisnis sistem hukum pidana modern dan hukum-hukum lain yang menonjolkan transparansi, akuntabilitas dan persamaan hak. Akan tetapi pada kenyataannya (walaupun sangat disayangkan) ada juga yang menonjol dari sebagian Advokat berperilaku koruptif dalam rekayasa bisnis dan keuangan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan dari apa yang menjadi pengamatan Penulis di atas, dengan terjadinya pergeseran nilai-nilai tersebut hanyalah contoh-contoh yang menyebabkan timbulnya distrust terhadap profesi Advokat.
Selain beberapa persoalan yang datang dari luar Advokat, di antaranya akibat kurangnya pemahaman terhadap profesi Advokat sehingga timbul upaya-upaya sistematis, sedemikian rupa dengan mengecilkan profesi Advokat di masyarakat serta mematahkan pengertian Pasal-Pasal di dalam UU Advokat melalui gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi (misalnya dihapusnya Pasal 31), begitu juga dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum) yang mereduksi pengertian Advokat, yang semula mensyaratkan harus sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat, akan tetapi di dalam UU Bantuan Hukum hal tersebut tidak dipersyaratkan.
ADVERTISEMENT
Sehingga berdampak banyak praktik-praktik orang yang mengaku-ngaku sebagai Advokat yang berujung merugikan masyarakat.
Tekanan terhadap profesi Advokat itu dapat dirasakan, seperti, misalnya beberapa waktu lalu, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, melalui Direktorat Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi, menyelenggarakan work shop mengenai akan dibukanya Program Studi Profesi Advokat dengan mengundang beberapa perguruan tinggi di Jawa dan Sumatera.
Kemudian pada tanggal 22 Januari 2019 menerbitkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat, tanpa melalui sosialisasi terlebih dahulu sebelumnya kepada organisasi profesi Advokat yang ada, padahal Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat telah menegaskan pada Pasal 2 yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Di dalam Pasal 2 ini menjelaskan bahwa pendidikan khusus profesi Advokat diselenggarakan oleh Organisasi Advokat, sekalipun kemudian ada pihak yang mengajukan hak uji materil ke Mahkamah Konstitusi di dalam perkara Nomor 95/PUU-XIV/2016 kemudian memberikan putusan yang pada pokoknya berbunyi:
ADVERTISEMENT
Tidak berhenti sampai di situ, masyarakat dan juga kalangan akademisi ikut memberikan tekanan kepada profesi Advokat dengan menggambarkan perilaku Advokat itu dengan acara di televisi yang dianggap telah melakukan sub judice atau trial by the press. Menariknya yang menjadi sorotan di fenomena itu justru tertuju kepada Advokat, sekalipun ada juga Advokat yang bertujuan mencari popularitas melalui media, padahal yang ada di acara televisi itu tentu tidak saja Advokat, ada juga politisi, penegak hukum lain (termasuk Hakim Agung), bahkan akademisi juga tidak kalah banyaknya.
Kalaulah yang dimaksud ada Advokat yang kemampuannya di bidang hukum tersebut tidak atau kurang mumpuni, apakah layak yang dipersalahkan profesi Advokatnya, menurut Penulis itu kurang fair. Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud mengadili siapa pun, semata-mata hanya ingin mendudukan permasalahan yang ada sebagai bagian ikut memberikan pembelajaran kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sinisme terhadap profesi hukum adalah fenomena umum. Untuk profesi Advokat atau Pengacara bahkan pernah ditiadakan di Prussia (1789), namun kemudian disadari bahwa sistem peradilan tidak bisa berjalan efisien tanpa mereka, termasuk di Indonesia yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di mana mewajibkan proses peradilan untuk perkara pidana yang mempunyai ancaman hukuman 5 (lima) tahun atau lebih harus didampingi oleh Advokat (Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahkan dengan ancaman apabila tidak dilakukan membuat putusan Pengadilan tersebut “batal demi hukum” (Lihat yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Nomor 367 K/Pid/1998, tertanggal 29 Mei 1998 juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 545 K/Pid.Sus/2011).
Di Amerika Serikat juga terdapat penerbit yang disebut Nolo Press (sekarang Nolo.com) yang memproduksi buku dan software “do it yourself” di bidang hukum. Tahun 1989 Nolo Press menerbitkan 171 halaman kompilasi anekdot negatif tentang Advokat/pengacara (lawyers).
ADVERTISEMENT

Advokat adalah Profesi Terhormat (Officium Nobile)

Istilah profesi terhormat atau sering juga disebut officium nobile itu berasal dari seseorang yang terkemuka di zaman Romawi Kuno (zaman yang berlangsung sejak abad ke 8 Sebelum Masehi hingga abad ke 5 Masehi) yang bernama Patronus. Patronus adalah orang terkenal dizamannya karena dalam hidupnya mengambil peran untuk membela orang-orang yang membutuhkan keadilan di era kekuasaan berada di kekaisaran dan kerajaan.
Peran yang diemban oleh Patronus membuat ia terkenal yang kini peran Patronus itu diambil peran oleh Advokat dan dikenal sebagai pekerjaan terhormat serta dihargai hingga saat ini. Maka Patronus-lah dianggap orang yang mengambil peran Advokat pertama di dunia. Ia menjadi sandaran dan harapan publik untuk mendapatkan keadilan atas semua sengketa, mulai dari sengketa keluarga sampai pada sengketa ekonomi, properti dan termasuk sengketa pidana (istilah di Indonesia era masa kini).
ADVERTISEMENT
Motif Patronus melakukan pembelaan, bukanlah profit melainkan kekuatan untuk mengimbangi kekuasaan kekaisaran serta kedermawanan membela rakyat jelata. Idealisme Patronus itu pun kemudian diteruskan oleh para advocatus sejak Romawi Kuno hingga Abad Pertengahan. Dinamika sosial dan kebutuhan para pencari keadilan memosisikan dan menjadikan para advocatus tersebut bekerja dalam spirit charity (kedermawanan).
Berdasarkan spirit dan latar historis itulah maka muncul istilah officium nobile yang dilekatkan pada profesi Advokat. Pekerjaan Advokat adalah pekerjaan terhormat (nobile officum). Dalam bahasa Latin, kata nobilis menunjuk pada orang terkemuka dan para bangsawan.
Nobilis berarti: mulia, luhur, utama, yang baik, yang sebaik-baiknya. Nobilis juga dikaitkan dengan bangsawan, kebangsawanan, kalangan atas, berpangkat tinggi, keluhuran jiwa dan keunggulan. Sedangkan officium berarti jasa, kesediaan menolong atau kesediaan melayani.
ADVERTISEMENT
Jadi officium nobile merupakan perpaduan antara niat luhur dan status sebagai orang-orang terkemuka dari para advocatus saat itu dalam menolong para pencari keadilan. Mereka melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang membutuhkan tanpa dibayar. Inilah latar historis Advokat sebagai nobile officium.

Kesimpulan

Pandangan masyarakat Indonesia terhadap Advokat sangat beragam dan kompleks. Untuk memperbaiki citra Advokat, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat dan menjembatani kesenjangan antara Advokat dan masyarakat.
Memahami profesi Advokat yang ternyata bukan pekerjaan, bukan juga merupakan biro jasa yang tugasnya hanya melayani kebutuhan klien yang tentunya harus melaksanakan apa yang diinginkan klien, melainkan sebuah profesi terhormat (officium nobile).
Menolong para pencari keadilan dan kebenaran dengan spirit dan niat mulia, luhur, bermartabat dalam rangka menjaga terjadinya keseimbangan antara subjek pendukung nilai (orang-orang awam hukum) yang berhadapan dengan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Advokat harus ditempatkan pada profesi sebagai pelaksanaan fungsi kemasyarakatan, berupa karya pelayanan dan pelaksanaannya dijalankan secara mandiri dengan komitmen dan keahlian berkeilmuan dalam bidang tertentu yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup, serta terikat pada etika umum dan etika khusus (etika profesi).
Yang di mana itu bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum, serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia (respect for human dignity).

Rekomendasi

ADVERTISEMENT