Dunia Jurnalis dan Permainan Lamanya

Dwita Kurnia Fitri
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
4 September 2022 14:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwita Kurnia Fitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva.com
ADVERTISEMENT
Dunia jurnalis kian hari makin dipenuhi akan permainan kotor, yang mana masyarakat awam saat ini pun sedikit banyak sudah mengetahui hal tersebut. Dengan pendapatan yang rendah dan pekerjaan yang tidak mudah, serta tanggungan yang tidak bisa dipenuhi hanya dari upah, menciptakan peluang kecurangan dibalik munculnya kualitas pemberitaan yang rendah. Semuanya tergantung dari pribadi sang jurnalis, memilih untuk tetap bersih atau ikut tergoda dengan apa yang ditawarkan dibalik amplop putih. Kode Etik Jurnalistik (KEJ), pasal 6 yang berisi: Wartawan Indonesia tidak menyalahkan profesi dan tidak menerima suap, seakan tidak ada fungsinya untuk menjadi pencegahan bagi oknum wartawan dalam bertingkah curang mengesampingkan profesionalitas. Alhasil, berdampak pada citra buruk yang publik semat kan pada wartawan serta pemberitaan yang kurang berkualitas.
ADVERTISEMENT
Saya membaca salah satu karya Ahmad Fuadi yang juga merupakan mantan wartawan Tempo. Dalam karyanya, beliau menceritakan kehidupannya terjun di dunia jurnalis dan di situ beliau juga memaparkan beberapa permainan di dalamnya, salah satunya adalah fenomena ‘wartawan amplop’. Walaupun karya beliau terdapat beberapa bubuhan fiksi untuk memperindah cerita, akan tetapi fenomena ‘wartawan amplop’ memang benar adanya sejak lama, dan saat ini makin bisa kita lihat dengan jelas keberadaannya.
Dilihat dari sepak terjang fenomena ‘wartawan amplop’ ini, akan sangat susah untuk diberhentikan karena sudah marak dilakukan dari puluhan tahun yang lalu. Banyak yang harus dibenahi dari berbagai aspek, terutama kesejahteraan wartawan. Selain itu, menyelipkan amplop juga sangat biasa dilakukan oleh narasumber sebagai kata lain dari “menyogok” wartawan agar pemberitaan terkait dirinya berisi hal-hal yang tidak memperburuk citra nya di pandangan publik. Mengagumkan nya lagi, pemberian sebagai kiasan dari “suap” tidak hanya diberikan dalam bentuk amplop, tidak jarang wartawan juga diberikan barang berupa alat elektronik, barang-barang mewah dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Saat ini masyarakat seringkali mengungkapkan ketidakpercayaan nya akan pemberitaan yang disampaikan oleh media massa. Karena apa? Karena sulit untuk menumbuhkan percaya bahwa berita tersebut disusun secara profesional tanpa adanya ‘amplop’ yang menyumbat kantong celana wartawan. Berita yang berkualitas adalah berita yang disampaikan apa adanya, bukan berita yang sudah dibelokkan arah tujuannya dengan lembaran rupiah atau barang mewah.
Memang sulit untuk menghentikan tindak kecurangan yang sudah mendarah daging, ditambah dengan tekanan akan kebutuhan serta kesejahteraan yang kurang mumpuni. Tidak hanya wartawan, tetapi terkadang narasumber berita juga ikut andil dalam melestarikan fenomena ‘wartawan amplop’ ini. Istilah “wartawan BUMN”, “wartawan Kejaksaan Agung”, serta “wartawan POLDA” adalah bukti dari adanya wartawan yang di organisir dan tidak menutup kemungkinan mendapat amplop dari kehadiran mereka dalam acara yang diselenggarakan.
ADVERTISEMENT
Bagi perusahaan media massa, alangkah baiknya untuk giat melakukan pembinaan dalam meningkatkan profesionalisme wartawan yang di miliki. Patuh akan kode etik yang berlaku serta menyajikan berita yang berkualitas tanpa ada yang mengganjal di saku. Serta bagi panitia penyelenggara atau humas instansi hendaknya ikut berhenti menyelipkan ‘amplop’ untuk mengundang wartawan dan menyetir penyampaian berita. Jika acara tersebut penting dan terdapat sumber berita, wartawan pasti akan datang dengan sendirinya. Cukup dengan memberikan pemberitahuan atau press realese.
Pada nyatanya, fenomena ‘wartawan amplop’ jika terus dibiarkan akan semakin merusak jati diri dunia jurnalistik. Banyak bermunculan wartawan gadungan, wartawan tanpa surat kabar, dan berbagai jenis wartawan yang merugikan lainnya. Masyarakat Indonesia butuh asupan berita, tanpa adanya pembelotan fakta lewat amplop putih di saku pewarta.
ADVERTISEMENT