Konsekuensi Kerusuhan bagi Trump

Dodi Ambardi
Dosen Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Departemen Ilmu Politik, Ohio State University (Doktoral)
Konten dari Pengguna
10 Januari 2021 10:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dodi Ambardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pendukung Presiden AS Donald Trump protes di depan Gedung Capitol AS di Washington, Amerika Serikat. Foto: Leah Millis/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Pendukung Presiden AS Donald Trump protes di depan Gedung Capitol AS di Washington, Amerika Serikat. Foto: Leah Millis/Reuters
ADVERTISEMENT
Tak terbayangkan, kerusuhan berdarah akibat persengketaan pemilu bisa pecah di Gedung Kongres di Capitol Hill, Amerika, 6 Januari lalu. Selama ini, kerusuhan yang mengikuti persengketaan pemilu seolah hanya monopoli negara-negara di Amerika Latin atau negara berkembang saja. Bukan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Kerusuhan itu memang telah menghentikan upaya panjang Donald Trump untuk membalikkan hasil Pemilu Presiden November 2020 lalu. Tapi kini, Amerika harus berjuang untuk menimbang konsekuensi yang akan dikenakan pada Trump berkaitan perannya di peristiwa yang mempermalukan negara tersebut. Di saat yang sama, Amerika akan memikirkan cara melunakkan daya rusak Trumpisme yang pasti akan melampaui hari berdarah itu.
Konsekuensi yang akan ditanggung Trump sangat tergantung pada pendefinisian peristiwa itu. Situs media seperti CNBC, NPR, media konservatif The New Yorker, dan koran Inggris The Guardian mendeskripsikan peristiwa itu sebagai insurrection atau pemberontakan. Sedangkan CNN dan USA Today memakai kata kudeta, sementara The Washington Post dan BBC—termasuk Senator Partai Republik Mitt Romney—menggunakan kata traitor (pengkhianat) atau treason (pengkhianatan) ketika mendeskripsikan peran Trump.
ADVERTISEMENT
Trump tidak berada di dalam arakan massa pendukungnya yang menerobos dan menduduki Gedung Kongres. Tetapi cuitan Trump di platform Twitter dan rekaman pidatonya menautkannya dengan peristiwa itu.
Kronologi yang disusun situs USA Today, misalnya. Mengutip cuitan jam 6 pagi, USA Today menunjukkan bahwa Trump tahu dan justru mengundang pendukungnya menghadiri reli akbar di hari pengesahan kemenangan Biden-Harris itu. Di kronologi itu pula, menjelang tengah hari, dalam pidatonya Trump mengajak pendukungnya membanjiri Capitol Hill untuk memrotes proses pengesahan tersebut. Selesai pidato, ribuan pendukungnya bergerak menuju Capitol Hill yang berjarak sekitar 3 kilometer.
Jika kasus kerusuhan dan peran Trump itu dibawa ke jalur hukum, konsekuensi yang ditanggung Trump akan sangat berat.
ADVERTISEMENT
Donald Trump. Foto: Tom Brenner/Reuters
Treason atau pengkhianatan terhadap negara adalah satu-satunya perkara kriminal yang disebut dalam konstitusi. Definisi pengkhianatan merujuk pada warga negara tidak loyal yang memerangi Amerika atau membantu musuh negara. Hukuman bagi pengkhianat tersebut merentang dari yang paling berat (hukuman mati) sampai ke yang menengah dan ringan (pemenjaraan lima tahun atau lebih dan denda).
Sedangkan rebellion atau pemberontakan adalah tindakan melawan kewenangan negara Amerika. Insurrection masuk dalam kategori ini. Ganjaran hukumannya adalah penjara sampai dengan 10 tahun dan bisa disertai denda. Satu lagi, seditious conspiracy, yakni persekongkolan dua orang atau lebih untuk melawan eksekusi peraturan yang ditetapkan negara.
Namun, opsi hukum ini pastilah sebuah jalan panjang. Selain bukti hukum diperlukan, interpretasi terhadap kata-kata kunci untuk mengategorikan peran Trump dalam kerusuhan berdarah tersebut akan berujung pada debat yang memakan waktu lama. Tapi opsi ini tetap mengalir di kalangan politisi kongres di antara opsi-opsi lainnya. Opsi jalur hukum yang diimplikasikan media juga belum tentu menjadi opsi yang dipilih oleh para politisi kongres.
ADVERTISEMENT
Variasi opsi lainnya bisa dipayungi sebagai opsi politik. Setidaknya, Kongres bisa memilih untuk membuat keputusan politik berupa pemecatan, impeachment atau pemakzulan, dan desakan pada Trump mengundurkan diri.
Pemecatan dan pemakzulan memiliki mekanisme yang berbeda. Pemecatan Trump dimungkinkan oleh Amandemen Konstitusi ke 25 yang memberikan kewenangan pada wakil presiden dengan dukungan kabinet untuk memecat dan mengambil alih pemerintahan dari tangan Trump. Sementara pemakzulan, sebagaimana berlangsung di Kongres pada Januari sampai Februari 2020, diusulkan oleh House of Representative dan kemudian disetujui oleh Senat.
Terakhir, Trump sendiri yang berinisiatif untuk mundur—sukarela atau didesak melalui lobi politik bipartisan oleh politisi dari kedua partai. Opsi politik tambahan, gagasan bahwa Trump perlu dicabut hak politiknya dari kemungkinan memegang lagi jabatan publik juga mengalir dalam berbagai diskusi karena daya rusak Trump yang luas. Problemnya, seberapa mungkin salah satu opsi politik tersebut bisa diambil oleh elite politik di kongres di masa jabatan Trump tinggal seminggu lagi.
ADVERTISEMENT
Nancy Pelosi, sang Ketua Kongres, mengupayakan lagi dan mendorong proses cepat pemakzulan. Proses cepat ini bisa berlangsung jika tahapan pemakzulan dipangkas dengan cara menghapus dua pentahapan, yakni tahap investigasi dan dengar pendapat.
Tapi segera, politik partisan yang membelah respons para politisi kongres menghadang upaya tersebut. Di antara seratus politisi House of Representative yang secara informal menyetujui pemakzulan yang kedua ini, hanya seorang politikus Partai Republik yang bergabung. Jumlah politisi Partai Republik yang berada di Senat? Nol.
Pendukung Donald Trump bersorak saat menggelar aksi di dekat Gedung Putih, di Washington, AS, Sabtu (14/11). Foto: Evan Vucci/AP Photo
Kita bisa mudah menebak alasan pokok penolakan para politisi Partai Republik: Pertimbangan kans elektoral mereka untuk mempertahankan kursi kongres dua tahun mendatang di pemilu sela. Benar bahwa dukungan Trump di tingkat elite banyak kini merosot drastis. Sejumlah birokrat pembantu Trump, pendonor, mantan presiden dan mantan pejabat tinggi meninggalkan atau mengutuk Trump. Tetapi pengaruh Trump di kalangan pendukungnya tetap kokoh—pendukung yang akan memberikan suaranya dalam payung Trumpisme.
ADVERTISEMENT
Justru, inilah pekerjaan rumah terbesar para elite politik—khususnya politisi Partai Demokrat—untuk mengatasi pengaruh Trump. Pengaruh itu jelas melampaui masa jabatan kepresidennya. Para elite politik sadar bahwa Trump berbahaya bagi kelangsungan demokrasi Amerika.
Pengelola media sosial Twitter akhirnya secara permanen menutup akun Donald Trump. Alasannya, Trump menabrak standar etis Twitter yang menolak glorifikasi kekerasan. Dengan penutupan itu, Trump kehilangan kanal paling strategis yang selama ini digunakannya untuk menyemai dukungan politik yang masif. Sementara, Facebook dan Instagram menutup akun Trump sampai selesainya masa jabatan.
Bagaimana upaya para politisi kongres mengendalikan bahaya Trump? Gagasan yang beredar, hak politik Trump untuk menduduki jabatan publik dicabut. Tetapi, untuk dieksekusi, gagasan ini pasti akan melalui pertarungan politik keras dalam elite yang terbelah. Trump dan Trumpisme masih menyisakan cerita dan persoalan panjang bagi Amerika.
Pendukung Presiden AS Donald Trump berkumpul di depan Gedung Capitol AS di Washington, Amerika Serikat. Foto: Stephanie Keith/Reuters