Ini Dia Harapan Anak-anak di Perbatasan

Donna IF
Pembelajar. Pernah tiga tahun belajar (ke)hidup(an) di Denmark, dan sangat terinspirasi.
Konten dari Pengguna
20 Agustus 2018 20:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donna IF tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ini Dia Harapan Anak-anak di Perbatasan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto: Siswa dan siswi SMPN 1 Atambua berfoto bersama peserta pengabdian masyarakat dari Sekolah Staf Dinas Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri (Dok.: Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Kementerian Luar Negeri RI)
ADVERTISEMENT
Viralnya sejumlah konten yang kurang positif tentang anak-anak tentunya menimbulkan kekhawatiran akan masa depan generasi muda Indonesia.
Beberapa waktu lalu, sempat heboh video yang memperlihatkan siswi SMP tengah melakukan perundungan (bullying) terhadap siswi lainnya. Kemudian, yang tak kalah merisaukan adalah cuplikan layar (screen capture) media sosial anak-anak kecil yang menunjukkan perilaku berpacaran layaknya orang dewasa, bahkan saling memanggil dengan panggilan pasangan suami-istri.
Bukan itu saja. Pada tahun lalu juga terekam kamera sebuah pawai anak-anak yang diantaranya menyerukan kalimat untuk membunuh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ketika itu baru saja divonis bersalah atas penistaan agama. Lalu, baru-baru ini muncul pula video pawai anak-anak membawa replika senjata laras panjang.
ADVERTISEMENT
Fenomena sosial seperti ini, apalagi jika melibatkan unsur dan pesan yang mengarah pada kekerasan, sama sekali bukanlah yang kita harapkan terjadi pada anak-anak Indonesia. Pada usia pembentukan karakter, anak-anak perlu mendapatkan sebanyak mungkin inspirasi untuk melakukan hal-hal yang positif dan membangun.
Semangat untuk berbagi inspirasi positif itulah yang menjadi motivasi utama kami melakukan kegiatan pengabdian masyarakat ke kabupatan Belu, provinsi Nusa Tenggara Timur. Salah satu sekolah yang kami kunjungi adalah SMPN 1 Atambua.
Pengalaman “mengajar” yang tidak terlupakan
Pada hari itu, tanggal 15 Agustus 2018 sekitar pukul tujuh pagi waktu setempat, kami tiba di sekolah itu dan disambut oleh siswa dan siswi, serta para guru yang berbaris mulai dari pintu gerbang hingga ke lapangan upacara. Tak lama kemudian, kami menyebar ke beberapa kelas untuk memulai kegiatan mengajar.
ADVERTISEMENT
Begitu saya dan seorang rekan memasuki kelas, dua orang siswa mengalungkan selendang tenun sebagai tanda selamat datang. Seorang siswi membacakan puisi penyambutan dalam Bahasa Tetun, yakni Bahasa yang banyak digunakan di kabupaten Belu dan juga Timor Leste. Sekilas mereka tampak malu-malu, namun sangat murah senyum.
Kami mendapat kesempatan berinteraksi dengan siswa dan siswi kelas IX-A, yang seluruhnya berjumlah 36 orang. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan, empat orang diantaranya mengenakan kerudung. Bagi saya yang baru kali itu berkunjung ke Belu, hal tersebut unik karena menurut sumber informasi yang saya baca, hampir 90 persen masyarakat Belu beragama Katolik.
Ini Dia Harapan Anak-anak di Perbatasan (1)
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Salah seorang siswi kelas IX-A SMPN 1 Atambua (Dok.: pribadi)
Kelas IX-A cukup luas dan bersih, dengan ventilasi dan pencahayaan yang cukup, serta dilengkapi white board. Setiap siswa memiliki mejanya masing-masing, yang disusun berdampingan rapat empat-empat. Setiap empat meja yang berdampingan rapat itu sepertinya sudah diatur berdasarkan kelompok gender.
ADVERTISEMENT
Selain berbagi pengetahuan tentang dunia diplomasi dan pengalaman yang mungkin bisa memotivasi, kami juga mengajak para siswa untuk bercerita dan unjuk kebolehan di hadapan teman-temannya dengan tujuan menginspirasi satu sama lain. Bukan untuk pamer.
Di luar ekspektasi, mereka yang semula nampak malu-malu ternyata berani berekspresi dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami lontarkan dengan baik. Saya pribadi tidak menyangka anak-anak seusia mereka memiliki pengetahuan umum yang begitu luas.
“Perubahan apa yang adik-adik harapkan?”
Seseorang pernah berkata pada saya, “tanyakanlah hal-hal besar kepada anak-anak kecil, dan bersiaplah untuk terkesima”.
Maka itulah yang kami lakukan di kelas IX-A. Kami menanyakan kepada para siswa dan siswi perubahan apa yang mereka harapkan di masa depan, baik perubahan dalam diri sendiri, di lingkungan sekitar, NTT, Indonesia, ataupun dunia.
ADVERTISEMENT
Berikut ini beberapa jawaban yang mereka berikan.
1. Peningkatan kualitas dan aksesibilitas pendidikan
Ini Dia Harapan Anak-anak di Perbatasan (2)
zoom-in-whitePerbesar
Banyak siswa yang menulis harapan tentang pendidikan yang lebih baik dan merata kepada seluruh anak Indonesia. Milan adalah salah satunya. Menurutnya, pendidikan harus bisa dinikmati oleh seluruh anak Indonesia tanpa perlu memikirkan biaya apapun. Ia juga merasa prihatin bahwa masih banyak anak-anak yang tidak dapat bersekolah karena alasan keuangan.
2. Agama tidak dipolitisasi
Ini Dia Harapan Anak-anak di Perbatasan (3)
zoom-in-whitePerbesar
Siswi bernama Alen mempunyai harapan agar agama tidak dijadikan komoditas politik dan pemerintahan. Ia menilai bahwa agama adalah hal yang bersifat sangat personal dan tidak untuk dijadikan alat politik. Alen berkeinginan agar kerukunan antarumat agama sebagaimana di Belu dan NTT tetap terjaga pula di daerah-daerah lain di Indonesia.
ADVERTISEMENT
3. Pemberantasan peredaran narkoba
Alen juga merasa khawatir karena peredaran narkoba di Indonesia sudah begitu membahayakan. Terlebih lagi, peredaran narkoba sudah sampai merambah ke kalangan anak-anak. Oleh karena itu, ia berharap suatu saat Indonesia bisa sepenuhnya bebas dari narkoba.
4. Indonesia bebas korupsi
Ini Dia Harapan Anak-anak di Perbatasan (4)
zoom-in-whitePerbesar
Menurut Febby, korupsi selama ini telah merugikan sebagian besar rakyat Indonesia. Karena korupsi, pembangunan di berbagai wilayah Indonesia masih sangat tertinggal. Ia sangat ingin Indonesia bebas dari korupsi, sehingga uang negara bisa sepenuhnya dimanfaatkan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Hal-hal di atas hanya sebagian kecil dari harapan anak-anak di Belu. Mereka memang tinggal jauh dari pusat pemerintahan, tapi punya harapan yang sangat besar terhadap Indonesia yang lebih baik. Mereka masih sangat muda, tapi sudah memiliki pemikiran yang matang. No one is too small to think big.
ADVERTISEMENT
Di tengah segala keterbatasan, para pelajar di Belu tetap tekun menuntut ilmu dan tidak berhenti bermimpi. Semoga suatu saat mereka menjadi pemimpin di negeri ini, kepekaan mereka tetap terjaga bahkan lebih besar terhadap kebutuhan masyarakat, khususnya di daerah perbatasan.