Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Belajar Filologi Nusantara: Menyentuh Naskah, Menggenggam Peradaban
29 April 2025 13:14 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Achmad Diny Hidayatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Belajar filologi bukan sekadar membaca teks usang, melainkan membangkitkan kembali suara masa lalu yang hampir hilang ditelan waktu. Filologi adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia adalah ilmu yang mengkaji naskah-naskah klasik, mempelajari bahasanya, menelusuri sejarahnya, dan memahami dunia pikirannya, agar warisan peradaban itu tidak hilang, melainkan terus hidup dan menyinari zaman. Setiap manuskrip kuno adalah saksi bisu peradaban, berisi kisah, ilmu, nilai, dan keyakinan yang pernah tertulis dalam catatan perjalanan dunia. Tanpa upaya sungguh-sungguh untuk mempelajari dan merawatnya, kita mungkin akan kehilangan jejak penting tentang siapa kita, bagaimana kita sampai di titik ini, serta akan kemana kita selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Itulah sebabnya, belajar filologi tidak cukup hanya lewat buku teks serta teori-teori di kelas. Belajar filologi mengidealkan kita untuk berani bersentuhan langsung dengan sumber-sumber sejarah: merasakan kasar atau halusnya serat kertas, mencium aroma tua yang keluar dari lembaran-lembaran berdebu, hingga meraba dengan penuh hormat tinta yang mulai memudar. Dengan memegang naskah asli, kita bukan hanya membaca huruf, tapi juga merasakan denyut zaman yang melahirkan tulisan itu.
Membaca naskah kuno bukan hal sepele. Ia menuntut ketelitian, kesabaran, dan rasa cinta yang mendalam terhadap ilmu. Setiap goresan pena, setiap sobek di ujung halaman, adalah bagian dari narasi tentang umat manusia pada zamannya. Karena itu, belajar langsung dari naskah bukan sekadar metode, melainkan sebuah pengalaman empiris: menghidupkan kembali kisah dan kandungan manuskrip untuk bersikap di masa kini dan mempersiapkan masa depan.
Ada satu pagi yang berbeda bagi mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, kelas Filologi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Senin, 28 April 2025, sejak matahari belum tinggi, mereka telah bersiap: menyiapkan hati, menyiapkan rasa ingin tahu. Di bawah bimbingan Dr. Achmad Diny Hidayatullah, M.Pd, mereka berbondong menuju sebuah tempat yang tidak hanya berisi buku, tetapi juga berisi berbagai koleksi penting dari masa lampau—Perpustakaan Sejarah dan Budaya Puspa Luhut, milik Pak Lulut Edi Santoso, seorang pensiunan guru seni dan budaya SMAN 3 Malang.
ADVERTISEMENT
Pukul tujuh pagi, udara masih segar. Suasana kota belum terlalu bising. Tapi di dalam ruang-ruang sempit penuh rak dan naskah itu, mahasiswa dan mahasiswi muda ini menemukan keheningan yang berbicara lebih keras dari keramaian manapun: bisikan masa lalu yang menunggu untuk dibaca, dipahami, dan dihidupkan kembali.
Pak Lulut, sosok sederhana dengan semangat besar, memperkenalkan dunia filologi bukan dari teori kaku, tetapi dari pengalaman nyata: dari helaian lontar, dari tekstur kertas dluwang, dari lembutnya kertas Eropa, hingga kekhasan kertas lokal. Dari aksara Cina, Bali, Arab, hingga Latin. Dari bahasa Belanda, Indonesia, Jawa, Bali, Madura, hingga bahasa Cina. Setiap naskah seperti membisikkan kisahnya sendiri kepada yang mau mendekat.
Lebih dari sekadar melihat, para mahasiswa belajar filologi dengan menyentuh naskah. Bukan sembarangan menyentuh, tetapi dengan penuh hormat, penuh perasaan. Mereka diajari bagaimana meraba sejarah tanpa merusaknya, bagaimana membuka lembar-lembar usang tanpa menghilangkan jejak tinta yang sudah menua bersama zaman.
ADVERTISEMENT
Belajar filologi di Perpustakaan Sejarah dan Budaya Puspa Luhut menjadi pengalaman tak tergantikan, saat mahasiswa merasakan langsung serat lontar, kertas dluwang, hingga kertas Eropa. Salah satu pengalaman berharga adalah saat membaca naskah kuno bertema fiqh yang membahas tentang hakikat sujud syukur. Dari secarik kertas tua itu, mereka menemukan pelajaran sederhana namun mendalam: bahwa manusia harus tahu bersyukur, bukan hanya ketika mendapatkan kenikmatan, tetapi juga ketika diselamatkan dari bencana—bahkan saat melihat kefasikan orang lain dan kita tidak dijerumuskan ke dalamnya. Suatu pelajaran klasik, namun sangat relevan dalam dunia yang serba cepat dan sering lupa bersyukur ini.
Dalam sesi tanya jawab, Pak Lulut membagikan kisah bagaimana ia bisa mengoleksi naskah sebanyak itu—dengan kesabaran, dengan kegigihan, penuh perjuangan tenaga dan materi yang tidak sedikit, serta dengan cinta pada sejarah, ilmu, dan berharap mendapatkan jariah atas pengorbanannya. Ia berbicara tentang bagaimana mencari, menemukan, serta merawat naskah. Bagaimana ia membagikan semangat literasi manuskrip ke berbagai kalangan terutama generasi muda. Tak lupa ia berpesan: Filologi bukan ilmu instan. Ia menuntut kesabaran, keterampilan, dan penguasaan ilmu lain yang mendalam. Misalnya mau membaca naskah kuno yang berbahasa Arab, maka diperlukan serangkaian ilmu yang cukup seperti nahwu, sharaf, balaghah, 'arudh, khat, semantik, semiotik, dan berbagai bidang yang akan menjadi bekal penting para calon filolog.
ADVERTISEMENT
Kunjungan itu mungkin hanya tiga jam. Tapi bagi mahasiswa Filologi, itu adalah perjalanan yang bisa bermakna. Sebuah petualangan kecil yang memperkenalkan mereka pada kerja keras para penulis, penyalin, dan pemikir masa lalu.
Di tengah era serba cepat ini, di mana orang berlomba mengejar yang instan dan melupakan akar, pengalaman menyentuh naskah kuno mengajarkan satu hal penting: bahwa tidak semua yang berharga bisa diraih dalam sekejap. Membaca naskah tua adalah belajar sabar, belajar rendah hati, dan belajar mencintai proses panjang pencarian ilmu. Setiap huruf yang perlahan kita uraikan adalah bentuk penghormatan kepada mereka yang pernah berpikir, menulis, menyalin, dan menyebarkan naskah tersebut di masa lalu.
Kelak, ketika dunia semakin melaju kencang, mereka yang pernah bersentuhan dengan jejak-jejak peradaban ini akan tahu ke mana harus berpijak. Mereka akan mengerti bahwa masa depan yang kuat hanya bisa dibangun dengan menghargai masa lalu. Maka, untuk setiap mahasiswa yang pernah merasakan kekaguman di hadapan naskah usang, percayalah: kalian bukan sekadar membaca teks mati, kalian sedang menghidupkan kembali peradaban, satu huruf, satu kata, satu lembar, satu jiwa pada satu waktu.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana naskah-naskah kuno, para mahasiswa adalah aktor peradaban yang hari ini sedang membaca dan menulis. Mereka sedang menulis sejarah mereka sendiri. Sebuah sejarah yang kelak mungkin akan dikenang: Aku pernah belajar menyentuh masa lalu, untuk menghidupkan masa depan. Belajar filologi bukan hanya belajar teks, namun lebih dari itu yaitu belajar tentang peradaban, tentang jiwa manusia, tentang kesabaran dan kerendahan hati di hadapan pengetahuan yang abadi.