Pandemi dan Kebosanan

Daniel Ardiles Simanjuntak
Diplomat sekaligus Kopites Pernah (beruntung) bertugas di Jenewa dan menjadi tim diplomasi vaksin Tulisan dibuat sebagai bagian Sekolah Staf Dinas Luar Negeri ke-72
Konten dari Pengguna
19 Mei 2022 18:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Ardiles Simanjuntak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dua setengah tahun menghadapi pandemi bukan waktu yang singkat. Hidup dengan kenormalan baru, memakai masker, pertemuan daring atau membatasi kontak sosial, sangat menimbulkan kebosanan.
ADVERTISEMENT
Menatap kosong layar komputer, mengkhayal hal lain atau mematikan fitur video sambil melakukan hal lain merupakan ciri-ciri kebosanan. Awalnya kita merasa bahagia dengan kehadiran pertemuan daring. Kita mulai melakukan pertemuan dengan teman-teman lama dan memulai pekerjaan atau sekolah melalui layar komputer. Namun, pertemuan daring yang tanpa henti akhirnya menimbulkan kebosanan juga.
Menonton layanan televisi streaming berlangganan juga sangat dinikmati di awal pandemi. Langganan televisi streaming tercatat meningkat seiring pembatasan kegiatan. Tapi, di titik tertentu, kita akhirnya pernah hanya sekadar mencari-cari film untuk ditonton namun berujung mematikan televisi tanpa tahu ingin menonton apa.
Ironisnya, seiring dengan perbaikan kondisi pandemi, opsi untuk kembali bekerja penuh di kantor juga bukan hal yang terlalu menyenangkan bagi banyak orang. Berjibaku dengan kemacetan, menghabiskan waktu di jalan dan mengerjakan sesuatu yang dapat diselesaikan dari rumah sangat mungkin menimbulkan kebosanan baru.
Ilustrasi. Sumber: foto sendiri
Mengutip tulisan Andrew Anthony di The Guardian, kebosanan adalah kondisi integral manusia yang telah menjadi subjek penting dalam filosofi sejak zaman pencerahan.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan lain yang lebih tua, kebosanan dituliskan dengan baik oleh Nabi Sulaiman atau Salomo atau siapapun yang menulis kitab Pengkhotbah: “Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar.” Dalam mitologi Yunani, kebosanan digambarkan sebagai bentuk hukuman bagi Sisyphus yang telah membohongi kematian dua kali. Dia harus mendorong batu besar ke puncak bukit hanya untuk melihat batu tersebut jatuh lagi ke kaki bukit dan kembali mendorongnya hingga keabadian.
Catatan tersebut memperlihatkan bahwa kebosanan juga permasalahan eksistensial manusia. Kebosanan dapat timbul dari ketidakpuasan yang dirasakan oleh indra manusia. Atau begitu mekanisnya kehidupan sehari-hari, sehingga tidak sadar kita hanyut dalam lingkaran kebosanan ala Sisyphus.
ADVERTISEMENT
Mengatasi kebosanan bukan hal yang mudah. Melansir artikel di The Conversation yang ditulis oleh Julian Jason Haladyn, Asisten Profesor Sejarah Seni, OCAD University, selama pandemi kita menambah stimulasi dengan menonton, berbelanja dan berpikir lebih banyak yang pada akhirnya menciptakan kebosanan baru.
Entah apa obat dari kebosanan yang diciptakan oleh pandemi COVID-19 ini. Tapi yang pasti masalah baru dapat muncul dari kebosanan. Daya tarik disinformasi atau realitas alternatif pandemi dinilai menjamur akibat kebosanan monotonnya pemberitaan tentang pandemi serta penyebaran ketakutan yang berulang-ulang. Selain itu, kebosanan juga dapat membuat orang mengambil risiko berlebihan atau antipati terhadap pandemi.
Persephone mengawasi Sisyphus menjalankan hukuman. Sumber: Wikimedia Commons / Bibi Saint-Pol
Realitanya, pandemi COVID-19 jauh dari kata berakhir. Persepsi salah dan antipati akibat kebosanan terhadap pandemi dapat berakibat fatal terhadap kita dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kita memang mengapresiasi adanya pelonggaran penggunaan masker di ruang publik seiring membaiknya indikator penanganan pandemi. Namun, peningkatan infeksi COVID-19 di berbagai negara yang tingkat vaksinasinya tinggi masih terus terjadi seiring dengan kebijakan pelonggaran. Jurnal medis juga menyatakan munculnya dampak jangka panjang infeksi COVID-19 atau “long covid” bagi sebagian orang yang terinfeksi. Selain itu, penelitian baru mulai memperlihatkan keterkaitan erat infeksi COVID-19 terhadap hepatitis akut pada anak-anak juga bermunculan. Semua ini menandakan bahwa perang ini masih jauh dari berakhir.
Realitas pandemi dan kebosanan terhadap pandemi adalah dua kejadian yang tidak dapat kita hindari. Tidak ada jalan keluar singkat dalam menghadapi dua isu yang terkait ini. Jika ada sedikit penghiburan dalam menghadapi kebosanan ini, mungkin kita bisa mengambil pemikiran Peter Toohey dalam bukunya Boredom: A Lively History, sebagaimana dikutip the Guardian, bahwa kebosanan tidak sekedar mempunyai fungsi negatif, tetapi seringkali menjadi prasyarat kreativitas seseorang. Atau mungkin sedikit lebih ekstrim mengamini pesan dari Albert Camus, filsuf Prancis Kelahiran Aljazair, bahwa kita harus mengamini Sisyphus bahagia dalam menjalankan hukuman yang membosankan tersebut.
ADVERTISEMENT
Jadi, jika kita menatap kosong layar aplikasi rapat daring atau tetap setia memakai masker walaupun dengan penuh kebosanan, kita dapat yakin bahwa hal tersebut dibutuhkan dalam hidup atau merupakan bentuk dari kebahagiaan itu sendiri.