Konten dari Pengguna

Kampus Merdeka: Belajar Bebas atau Bebas Tersesat?

Dwito Julian
Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika, Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
6 Mei 2025 14:01 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwito Julian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
"Bebas Belajar, Tapi ke Mana Arah Kita?".source:ChatGPT
zoom-in-whitePerbesar
"Bebas Belajar, Tapi ke Mana Arah Kita?".source:ChatGPT
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa, saya menyambut ide “Kampus Merdeka” dengan penuh harapan. Program ini—yang katanya membuka peluang belajar di luar program studi, magang di industri, hingga proyek sosial—disebut-sebut sebagai revolusi pendidikan tinggi di Indonesia. Namun setelah lebih dari tiga tahun berjalan, satu pertanyaan mulai muncul di benak banyak mahasiswa: apakah Kampus Merdeka benar-benar memerdekakan, atau justru membingungkan?
ADVERTISEMENT
Secara konsep, Kampus Merdeka terdengar progresif. Mahasiswa bisa belajar di luar kelas, menambah pengalaman, bahkan membangun relasi profesional sebelum lulus. Tapi dalam pelaksanaannya, tidak semua kampus siap mengimbangi kebijakan ini. Banyak mahasiswa yang justru merasa terbebani oleh sistem yang belum matang: minimnya informasi, birokrasi rumit, mitra yang tidak sesuai, hingga konversi SKS yang tidak jelas. Akibatnya, alih-alih “belajar dengan merdeka”, banyak dari kami justru merasa tersesat di tengah jalan.
Saya pribadi pernah ikut program magang Kampus Merdeka. Awalnya semangat, tapi kemudian dihadapkan pada persoalan teknis yang rumit: tidak adanya pembimbing kampus yang aktif, pekerjaan yang tidak relevan dengan bidang saya, dan sulitnya menyusun ulang rencana studi setelah program selesai. Ini bukan keluhan pribadi, tapi gambaran umum yang dirasakan banyak mahasiswa lain.
ADVERTISEMENT
Kritik utama dari mahasiswa adalah soal kesiapan. Tidak semua perguruan tinggi punya SDM dan sistem yang memadai untuk mendampingi mahasiswa di luar kampus. Di sisi lain, tidak semua mitra industri atau lembaga sosial punya kualitas bimbingan yang layak. Akibatnya, program ini jadi seperti “dilepas sendiri”, tanpa arahan jelas.
Meski demikian, saya tidak serta-merta menolak Kampus Merdeka. Justru saya percaya, jika dikelola dengan baik, ini bisa menjadi masa depan pendidikan Indonesia. Tapi jangan lupakan satu hal penting: merdeka belajar tidak sama dengan membebaskan tanggung jawab negara dan kampus terhadap mahasiswanya.
Sebagai mahasiswa, kami butuh pendampingan, sistem yang transparan, dan evaluasi berkala. Jangan hanya menjual jargon “siap kerja” tanpa memikirkan kualitas pembelajaran yang sebenarnya. Kampus Merdeka harusnya bukan hanya soal mobilitas mahasiswa, tapi tentang menciptakan ruang belajar yang adil, inklusif, dan benar-benar memberdayakan.
ADVERTISEMENT
Dwito Julian Tambunan, Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika, Universitas Katolik Santo Thomas Medan.