Ketika Olahraga Dipakai sebagai Tunggangan Politik

Dadang I K Mujiono
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Mulawarman
Konten dari Pengguna
30 Desember 2021 21:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dadang I K Mujiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gelandang Timnas Singapura, Shahdan Sulaiman (Kiri) melakukan tendangan bebas pada pertandingan leg kedua piala AFF 2020. Foto: (AFP/Roslan Rahman)
zoom-in-whitePerbesar
Gelandang Timnas Singapura, Shahdan Sulaiman (Kiri) melakukan tendangan bebas pada pertandingan leg kedua piala AFF 2020. Foto: (AFP/Roslan Rahman)
ADVERTISEMENT
Momen kekalahan Tim Nasional (Timnas) sepak bola Indonesia melawan timnas Thailand (0-4) pada babak final leg pertama Piala AFF 2020 di Singapura pada 29 Desember 2021 menuai banyak respons dari masyarakat. Ada yang memberikan semangat dan berterima kasih kepada timnas karena sudah berjuang sampai babak final. Ada juga yang mencemooh dengan ujaran-ujaran yang tidak pantas.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari dua pandangan yang terbelah di tengah masyarakat, saya pribadi sebagai orang yang tidak tahu menahu dunia persepakbolaan harus memberikan rasa hormat dan apresiasi tertinggi kepada timnas karena sudah berjuang sampai babak final. Meskipun masih ada leg kedua pada tanggal 1 Januari 2022, kita masih belum tahu, apakah dewi fortuna akan memihak kepada timnas atau tidak.

Olahraga dan politik

Terlepas dari kekalahan timnas Indonesia melawan timnas Thailand pada leg pertama final Piala AFF 2020, saya mencoba menelusuri apa sebenarnya yang menyebabkan timnas kalah bertarung. Namun, saya tidak akan membahas dari segi strategi atau teknik bermain bola, karena seperti yang telah saya sampaikan di awal, saya bukan ahli sepak bola. Namun saya mencoba menelusuri dari aspek institusi PSSI. Apa gerangan yang salah atau apa yang perlu diperbaiki dari PSSI? Dan mengapa PSSI terlibat dalam kekalahan ini?
ADVERTISEMENT
PSSI sebagai institusi persepakbolaan Indonesia pada faktanya menurut berbagai pemberitaan yang beredar mengalami banyak persoalan. Mulai dari kepemimpinan yang kurang profesional, sampai tidak tegasnya pengusutan pendukung yang anarki dalam berbagai pertandingan di liga nasional Indonesia.
Tidak hanya itu, PSSI menurut pengamatan penulis, sayangnya juga dijadikan sebagai alat atau kendaraan politik bagi para politisi yang haus akan kekuasaan. Kita sudah lihat, sebelum kepemimpinan Mochamad Iriawan yang merupakan purnawirawan Komisaris Jenderal Polisi, PSSI juga pernah dipimpin oleh Edy Ramhayadi seorang purnawirawan Letnan Jenderal TNI yang sekarang menjabat Gubernur Sumatera Utara.
Muncul pertanyaan di benak saya, apakah kelak Seorang Mochamad Iriawan juga akan berambisi menjadi kepala daerah setelah dirasa cukup terkenal selama menjabat sebagai ketua PSSI?
ADVERTISEMENT
Namun pada faktanya “budaya” menggunakan keberhasilan para atlet dalam ajang kompetisi internasional oleh para politisi untuk meningkatkan elektabilitas sudah menjadi hal yang lumrah di Indonesia.
Beberapa hari sebelum laga final leg pertama timnas Indonesia melawan timnas Thailand digelar, poster ketua PSSI bersama timnas Indonesia pada Piala AFF tersebar secara luas di media sosial. Bahkan foto ketua PSSI dalam poster tersebut sangat mendominasi dan foto pelatih timnas Shin Tae Yong bahkan tidak berada dalam poster tersebut. Tersebarnya poster ini menuai banyak cibiran dari netizen Indonesia. Banyak yang menuduh bahwa ketua PSSI mencari pamor di tengah momentum keberhasilan timnas melaju ke babak final.
Sebelum piala AFF 2020 berlangsung, faktanya, banyak para politisi juga menggunakan keberhasilan para atlet Olimpiade 2020 dari Indonesia, salah satunya Greysia dan Apriani yang memperoleh medali emas cabang bulu tangkis ganda putri. Sebut saja Agus Harimuti Yudhoyono (AHY) - Ketua Umum Partai Demokrat, Habib Aboe Bakar Alhabsyi - Sekjen Partai Keadilan Sejahtera, dan Eddy Soeparno - Sekjen Partai Amanat Nasional. Para tokoh politik ini seolah berlomba memajang poster baik daring ataupun cetak di seluruh sudut kota yang menunjukkan rasa syukur dan selamat mereka atas keberhasilan dua atlet bulu tangkis tersebut.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari usaha para politisi untuk mendongkrak elektabilitas dengan memanfaatkan keberhasilan para atlet. Pada faktanya, keberhasilan timnas Indonesia sampai pada final Piala AFF 2020 juga menjadi momentum bagi klub dan restoran Holywings Indonesia untuk memperbaiki nama baik yang beberapa waktu lalu sempat tercoreng karena kedapatan melanggar protokol kesehatan selama masa pagebluk Covid-19. Dalam unggahan di beberapa media daring, terlihat bahwa Holywings berjanji akan memberikan dana Rp 1 miliar kepada timnas Indonesia apabila mampu memenangkan pertandingan melawan Thailand.

Belajar dari Ganefo

Dari beberapa catatan yang telah saya sampaikan di atas, memang tidak dapat dipungkiri bahwa olahraga di Indonesia masih kental dengan nuansa politik dan menjadi ajang taruhan bagi berbagai kelompok kepentingan. Yang mana seharusnya olahraga harus berdiri secara independen tanpa perlu ada intervensi politik.
ADVERTISEMENT
Kita semua mungkin harus belajar kepada sejarah tentang bagaimana mantan Presiden Sukarno – Bapak Kemerdekaan Indonesia mencoba mengkaitkan olahraga dengan kepentingan politik Indonesia.
GANEFO (Games of the New Emerging Forces) merupakan pertandingan olahraga internasional yang diusulkan oleh Sukarno dan beberapa pemimpin negara baru merdeka bekas jajahan imperliasime Barat di Asia dan Afrika dengan tujuan menyaingi Olimpiade yang menurut Sukarno diisi oleh kepentingan bangsa Barat.
Medali Ganefo Djakarta 1963. Foto: (Wikipedia/Durabayen)
Sukarno pada saat itu, dengan doktrin antikolonial mengajak negara-negara baru merdeka untuk bergabung dan menyelenggarakan pesta olahraga tandingan.
Namun faktanya, meskipun niat Sukarno, menurut saya sangat mulia dan revolusioner – mempersatukan bangsa Indonesia melalui nasionalisme dan bangsa-bangsa lain untuk melawan imperialisme Barat. Namun karena motivasi utama GANEFO adalah politik praktis, maka pelaksanaan GANEFO gagal di tengah jalan. Ganefo hanya berlangsung selama dua kali yakni di Jakarta (1963) dan Pnom Penh, Kamboja (1966). Ganefo ketiga yang rencananya dilaksanakan di Cairo, Mesir gagal dan tidak pernah terwujud sampai sekarang karena konstelasi politik yang tidak stabil.
ADVERTISEMENT
Adanya bukti sejarah hubungan olahraga dan nasionalisme ini dalam konteks Ganefo oleh Sukarno, secara tidak langsung membantah komentar miring sebagian masyarakat Indonesia yang beranggapan bahwa mendukung timnas Indonesia tidak ada hubungannya dengan nasionalisme. Tentu itu keliru. Sukarno pada saat itu, untuk membendung imperialisme Barat, dia menggunakan olahraga sebagai cara untuk menumbuhkan semangat nasionalisme melawan penjajahan Barat. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di berbagai negara bekas jajahan imperialisme Barat.

Mau dibawa ke mana olahraga Indonesia?

Bukti sejarah kegagalan GANEFO secara tidak langsung memberikan wawasan kepada kita bahwa apabila olahraga dipakai untuk kepentingan politik, dipastikan eksistensi olahraga tidak akan berhasil atau berlangsung secara lama. Karena pada prinsipnya, kepentingan politik sangatlah pragmatis dan dinamis. Semua tergantung kepada para elite.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, sudah seharusnya institusi olahraga di Indonesia, khususnya PSSI tidak terus-terusan dijadikan kendaraan politik bagi para politisi. Jangan jadikan para atlet sebagai “sapi perah.” Para atlet, baik timnas sepak bola atau cabang olah raga lainnya, menurut saya menanggung beban dan tekanan yang sangat besar. Lebih lanjut, penting untuk dicatat, mereka belum tentu memiliki ambisi politik dari setiap keberhasilan mereka seperti para politisi yang “numpang” tenar di tengah keberhasilan para atlet.
Apabila PSSI hanya dipakai oleh para politisi atau elite PSSI untuk kepentingan pragmatis, maka dipastikan persepakbolaan Indonesia tidak akan pernah maju. PSSI sudah waktunya fokus pada pembenahan organisasi dan perbaikan persepakbolaan di Indonesia. Investasi para atlet baik belanja atlet internasional atau mungkin mengirimkan para atlet timnas untuk bergabung dengan klub-klub di luar negeri untuk menambah pengalaman seperti yang dilakukan oleh Singapura - tidak dapat dipungkiri telah menjadikan persepakbolaan di Singapura selangkah lebih maju dari Indonesia. Baik dari segi rangking oleh FIFA atau raihan piala AFF.
ADVERTISEMENT
Terakhir, PSSI juga harus menjadi lembaga yang professional dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip integritas. Kekalahan Indonesia selama lima kali dalam final Piala AFF dan tidak pernah juara selama dua belas kali pertandingan sejak 1996 sampai 2018 sudah seharusnya menjadi refleksi dan cambuk bagi para petinggi PSSI dan pemerintah. Apa yang salah? Dan apa yang harus diperbaiki? Apakah Indonesia yang penduduknya lebih dari 270 juta tidak memiliki kualitas SDM yang unggul dalam bidang persepakbolaan? Dibandingkan dengan Singapura yang jumlah penduduknya kurang dari enam juta sudah berhasil meraih empat kali juara piala AFF.