Dilema Konsumsi Mi Instan dan Cemaran Etilen Oksida

Ebtasari
Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Madya di Badan POM
Konten dari Pengguna
9 September 2023 9:12 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ebtasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mi instan. (shutterstock.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mi instan. (shutterstock.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagi generasi “micin”, mengkonsumsi mi instan barangkali adalah hal yang lumrah. Beragamnya pilihan varian rasa, tentu memanjakan lidah para penggemarnya. Namun, kemudian muncul kekhawatiran saat produk mi instan dari Indonesia ditarik oleh pemerintah Hong Kong di tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan berita yang dirilis pemerintah Hong Kong, terdapat satu produk asal Indonesia, yaitu Mie Instant Goreng Rasa Ayam Pedas Ala Korea merek Sedaap (Sedaap Korean Spicy Chicken Flavour Fried Noodle) ditarik dari peredaran karena terdeteksi mengandung residu pestisida etilen oksida (EtO). Residu pestisida tersebut ditemukan pada mi kering, bubuk cabe, dan bumbu dari produk mi instant.
Tahun 2021 Pemerintah Jerman juga memberikan satu notifikasi alert untuk produk Indonesia berupa mi instan. Produk tersebut diketahui mengandung senyawa 2-chloro etanol (2-CE). Sebagai masyarakat awam wajar jika kita kemudian bertanya, seberapa aman produk mi instant yang kita konsumsi sehari-sehari.
Munculnya temuan residu etilen oksida pada makanan berawal pada biji wijen di India. Senyawa tersebut diketahui digunakan untuk mengatasi kontaminasi bakteri salmonella sp pada biji wijen dan olahannya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan informasi dari data Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) tahun 2001-2020, terdapat 658 notifikasi kontaminasi Salmonella sp pada biji wijen kala itu. India menerima impor biji wijen dari Somalia, Sudan, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Meksiko. Biji wijen tersebut harus difumigasi terlebih dahulu dengan metil bromida atau fumigasi lain yang setara .
Etilen oksida merupakan senyawa kimia yang biasa digunakan di industri, sebagai bahan baku untuk membuat etilen glikol maupun sebagai zat/bahan sterilisasi untuk alat medis, serta sebagai pestisida (fumigan) untuk post harvest handling komoditi pangan. Senyawa 2-chloro etanol (2-CE) merupakan produk reaksi dari etilen oksida yang digunakan pada proses fumigasi dengan ion klorida yang terkandung dalam pangan.
Etilen oksida dan 2-chloro etanol memiliki efek yang berbeda pada kesehatan. Etilen oksida bersifat karsinogenik genotoksik ( memicu terjadinya kanker), tidak begitu dengan senyawa 2-CE. Pada studi terbaru yang dipublikasikan oleh Allemang dkk bulan Oktober 2022 dinyatakan bahwa 2-CE bukanlah senyawa genotoksik karsinogenik.
ADVERTISEMENT
Selain berbeda pada efek buruk yang ditimbulkan, dua zat ini juga memiliki perbedaan sifat kimia. Etilen oksida memiliki titik didih yang rendah, sehingga sangat mudah sekali untuk menguap. Proses pengolahan makanan yang menggunakan suhu tinggi memungkinkan hilangnya cemaran etilen oksida.
Namun, etilen oksida ini sangat reaktif sehingga membentuk 2-chloro etanol. Zat ini tidak mudah menguap. Sehingga keberadaannya dalam makanan sering ditemukan. Hal ini yang menjadi perdebatan di beberapa negara, karena dalam pelaporannya penemuan 2-CE pada makanan seringkali diartikan dengan adanya etilen oksida. Padahal pada kenyataannya hal ini tidak dapat disamaartikan.

Pengaturan Cemaran Etilen Oksida di Berbagai Negara

Codex Alimentarius Commission (CAC) sebagai organisasi internasional di bawah World Health Organization/Food and Agriculture Organization (WHO/FAO) belum mengatur batas maksimal residu etilen oksida (EtO), senyawa ini belum menjadi prioritas dan data toksikologinya masih terbatas.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini tidak ada satu pun negara yang mengatur etilen oksida sebagai cemaran pangan. Pengaturan EtO sangat beragam di berbagai macam negara. Oleh karena itu pelaku usaha pangan olahan harus mempersiapkan pemenuhan persyaratan residu EtO dan 2-CE sesuai dengan negara tujuan ekspor.
Uni Eropa mengklasifikasikan EtO sebagai senyawa karsinogenik, mutagenik, toksik untuk fungsi reproduksi seperti yang dipublikasikan pada European Chemicals Agency (ECHA). Dalam peraturan terbaru, disebutkan bahwa batas maksimal residu pada BTP ialah 0,1 mg/kg sebagai kadar EtO + (0,55*2-CE).
Residu pestisida terdiri dari bahan aktif, metabolit, ataupun hasil reaksi/degradasinya, sehingga pengaturan residu EtO di Eropa diatur sebagai “sum of ethylene oxide and 2-chloro ethanol (2-CE), expressed as ethylene oxide”. Hal ini membuat persyaratan BMR EtO di Eropa merupakan penjumlahan dari kadar EtO dan 2-CE.
ADVERTISEMENT
Pengaturan Batas Maksimal residu (BMR) etilen oksida di Kanada dan Amerika Serikat berbeda dengan Eropa. Kedua negara tersebut mengatur batas maksimal residu EtO dan 2-CE secara terpisah. EtO diatur dengan batas maksimal 7 mg/kg sedangkan 2-CE sebesar 940 mg/kg.
Kecuali untuk BMR EtO di Amerika pada kacang walnut mencapai 50 mg/kg. Hal ini tentu memberikan ketegasan antara pengaturan EtO dan 2CE. Kanada memandang bahwa EtO akan cepat hilang dan residunya akan berkurang signifikan setelah dilakukan pengolahan. Sangat mustahil untuk menemukan cemaran EtO dalam sediaan pangan.
Di Negara Korea Selatan dan Jepang EtO merupakan pestisida yang tidak diatur BMR-nya secara spesifik. Oleh karena itu dikenakan aturan uniform limit sebesar 0,01 mg/kg. Adapun di negara Taiwan, Hongkong dan Thailand keberadaan EtO pada produk pangan dilarang.
ADVERTISEMENT

Pengaturan Cemaran Etilen Oksida di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah melarang penggunaan EtO sebagai pestisida. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2019 tentang pendaftaran pestisida. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa EtO dilarang untuk digunakan sebagai pestisida.
Melalui Keputusan Kepada Badan POM RI No 229 tahun 2022 tentang Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa etilen oksida (ethylene oxide), 2,6-diisopropilnaftalena (2,6-diisopropylnaphthalene), dan 9,10-antrakinon (9,10-anthraquinone) dilakukan mitigasi risiko terkait EtO dan 2 CE. Batas maksimal residu pada pangan olahan untuk EtO sebesar 0,01 mg/kg (uniform limit). Batas maksimal residu pada pangan olahan untuk 2-CE sebesar 85 mg/kg (uniform limit).

Potensi Sumber Cemaran Etilen Oksida

Indonesia telah melarang penggunaan etilen oksida sebagai bahan aktif dan bahan tambahan pestisida. Penggunaan etilen oksida juga dilarang di sejumlah negara namun ada beberapa negara yang masih mengizinkannya. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa ada potensi masuknya bahan baku yang mengandung residu EtO dan metabolitnya,terutama dari negara yang masih mengizinkan penggunaan EtO sebagai pestisida.
ADVERTISEMENT
Etilen oksida juga digunakan dalam proses pembuatan BTP yaitu polietilen glikol dan kelompok polisorbat. Berdasarkan data EURASFF pada tahun 2020-2022, ditemukan 66 kasus terkait etilen oksida pada kategori bahan tambahan pangan. BTP tersebut di antaranya gom xanthan, gom guar, gom kacang lokus,kalsium karbonat, serta perisa. Adanya residu ini tentu saja menjadi potensi ditemukannya residu EtO dalam produk pangan seperti es krim.
Selain dari sumber tersebut, EtO dapat terkandung secara alami pada tanaman. Namun belum ada penelitian yang melakukan kuantifikasi jumlah EtO dari sumber alami sehingga saat ini diperkirakan residu EtO tersebut dapat diabaikan.
Menjadi perhatian kita bersama tentunya terkait residu EtO pada produk pangan, baik dalam rempah-rempah,mi instant maupun pada es krim. Produsen dapat lebih memperhatikan dalam hal pemilihan bahan baku yang digunakan.
ADVERTISEMENT
Hal pertama yang perlu dicermati dari pemasok ialah asal negaranya, terutama apabila negara tersebut mengizinkan penggunaan pestisida EtO ataupun selalu mengalami notifikasi/kasus yang berulang. Dalam hal ini industri dapat melakukan konfirmasi dengan pemasok apakah bahan baku tersebut difumigasi dengan EtO pada saat budidaya, penyimpanan, pengiriman, ataupun karantinanya.
Industri dapat melakukan upaya seperti mengurangi komposisi BTP yang berisiko mengandung residu tersebut. Selain itu pelaku usaha dapat melakukan reformulasi komposisi produk dengan menggunakan BTP yang tidak berisiko.
Meningkatnya peran serta dunia usaha terhadap pengendalian kualitas (keamanan dan mutu) pangan tentunya akan berdampak pada kesehatan masyarakat secara global dan semakin banyak diterimanya produk ekspor ke negara tujuan. Masyarakat tidak perlu merasa khawatir untuk mengkonsumsi mi instan, asalkan masih dalam batas kewajaran.
ADVERTISEMENT