Konten dari Pengguna

Muhammadiyah Tarik Dana di BSI, Akibat BUMN Hanya Jadi 'Bancakan' Politik

Edo Segara Gustanto
Dosen FEBI IIQ An Nur YK, HIPD UII, Pusat Kajian Analisis Ekonomi Nusantara
12 Juni 2024 18:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edo Segara Gustanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam beberapa pekan terakhir, perhatian publik tertuju pada langkah berani yang akan diambil oleh Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu menarik dananya dari Bank Syariah Indonesia (BSI). Keputusan ini memicu diskusi luas mengenai kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia, yang semakin hari dianggap semakin terjebak dalam kepentingan politik.
ADVERTISEMENT
Usulan Muhammadiyah ketika mengajukan anggotanya menjadi Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) patut diduga yang menjadi penyebab peristiwa ini. Dua anggotanya, Abdul Mu'ti (Sekretaris PP Muhammdiyah) dan Jaih Mubarok (Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung) diusulkan kepada BSI sebagai Komisaris dan DPS. Namun hanya Jaih Mubarok yang terpilih dalam Rapat Umum Pemegang Saham BSI sebagai DPS yang baru, sementara Abdul Mu'ti tidak diterima usulannya. BSI justru memilih politisi Gerindra, Felicitas Talullembang.
BUMN di Indonesia memiliki peran strategis dalam menggerakkan roda perekonomian nasional. Sebagai entitas yang dimiliki oleh negara, BUMN diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan melalui pelayanan publik yang berkualitas, menciptakan lapangan kerja, dan mendukung pembangunan infrastruktur. Namun sangat disayangkan, BUMN seringkali dijadikan arena bagi kepentingan politik tertentu. Praktik 'bancakan' politik, atau penggunaan BUMN untuk kepentingan politik oleh sekelompok orang, bukan hanya tidak tepat, tetapi juga merugikan negara dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
'Bancakan' politik di BUMN adalah praktik yang tidak tepat dan merugikan. Untuk mengembalikan BUMN ke fungsi utamanya sebagai pilar ekonomi dan pelayan publik, diperlukan komitmen kuat dari semua pihak untuk menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG), menegakkan meritokrasi, dan memperkuat pengawasan. Dengan langkah-langkah tersebut, BUMN dapat berkontribusi maksimal bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan tujuan awal pendiriannya.
Apakah Muhammadiyah hanya Bluffing?
Jika pertanyaannya, apakah Muhammadiyah hanya bluffing (menggertak)? Jawabannya, saya kira tidak. Sebagai pengamat, saya menilai keputusan Muhammadiyah sudah tepat. Pilihan BSI untuk memilih Felicitas Talullembang sebagai komisaris BSI sangat politis, Saya duga ini terkait dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih 2024-2029 yang saat ini berasal dari Partai Gerindra.
ADVERTISEMENT
Muhammadiyah dikenal dengan prinsip-prinsipnya yang kuat dan berdedikasi pada pendidikan, kesehatan, serta kesejahteraan sosial, sangat perlu mengambil langkah tegas, setelah melihat perkembangan terbaru terkait pengelolaan BSI yang campur baur dengan politik. Tindakan Muhammadiyah bukan hanya sekadar keputusan finansial, tetapi hemat saya juga merupakan bentuk protes terhadap situasi yang mereka anggap telah menyimpang dari semangat profesionalisme dan pelayanan publik.
Langkah Muhammadiyah menarik dana dari BSI seharusnya menjadi cerminan kegelisahan masyarakat terhadap pengelolaan BUMN yang tidak sesuai harapan. BUMN seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi dengan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan profesional. Namun, jika praktik 'bancakan' politik terus berlanjut, maka kepercayaan publik terhadap institusi-institusi tersebut akan terus menurun.
Keputusan Muhammadiyah untuk menarik dana dari BSI juga perlu menjadi momentum untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Di tengah tantangan yang ada, organisasi ini tentu terus berupaya untuk menjadi pilar moral bagi bangsa, mengingatkan kita semua bahwa dalam segala hal, kepentingan masyarakat luas harus selalu diutamakan di atas kepentingan segelintir orang.
ADVERTISEMENT
BSI Harus Kembali ke Khittah-nya
BSI, sebagai bank syariah terbesar di Indonesia, didirikan dengan harapan dapat menjadi institusi keuangan yang mendukung perkembangan ekonomi syariah di Tanah Air. Namun, kenyataannya, tantangan yang dihadapi BSI mencerminkan masalah yang lebih besar di tubuh BUMN secara keseluruhan. Keterlibatan politik yang mendalam sering kali menyebabkan penunjukan pejabat yang lebih didasarkan pada afiliasi politik daripada kompetensi. Akibatnya, kinerja BUMN menjadi tidak optimal, dan tujuan utamanya untuk melayani masyarakat dan mendukung perekonomian nasional sering kali terabaikan.
BSI (Merger BSM, BNI Syariah, dan BRI Syariah) didirikan dengan tujuan mulia: menjadi lembaga keuangan syariah yang tidak hanya menguntungkan secara finansial tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Namun, belakangan ini, muncul kekhawatiran bahwa BSI mulai menjauh dari khittahnya, yakni prinsip dan tujuan dasar yang mendasari pendiriannya. Hal ini mendorong berbagai pihak, termasuk organisasi besar seperti Muhammadiyah, untuk mengingatkan BSI agar kembali ke jalur yang benar.
ADVERTISEMENT
BSI memiliki potensi besar untuk menjadi lembaga keuangan syariah yang unggul di Indonesia dan dunia. Namun, untuk mencapai potensi tersebut, BSI harus kembali ke khittahnya: menjalankan operasional berdasarkan prinsip syariah, mendukung pemberdayaan ekonomi umat, dan berkontribusi secara sosial. Dengan komitmen kuat untuk memperbaiki diri dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar pendiriannya, BSI dapat meraih kembali kepercayaan publik dan menjadi pilar penting dalam pembangunan ekonomi syariah di Indonesia.
Kembali ke Prinsip Good Corporate Governance (GCG)
Ke depan, diharapkan pemerintah dapat merespons kekhawatiran ini dengan tindakan nyata. Reformasi tata kelola BUMN menjadi sangat mendesak. Penunjukan pimpinan BUMN harus didasarkan pada meritokrasi dan profesionalisme, bukan afiliasi politik. Transparansi dan akuntabilitas harus diperkuat untuk memastikan bahwa BUMN benar-benar berfungsi sesuai dengan mandatnya.
ADVERTISEMENT
Good Corporate Governance (GCG) adalah seperangkat aturan dan kebijakan yang memastikan bahwa perusahaan dikelola dengan transparan, akuntabel, bertanggung jawab, independen, dan adil. Penerapan GCG sangat penting bagi BUMN karena memastikan bahwa mereka menjalankan fungsinya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, yakni untuk kemakmuran rakyat dan bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Sayangnya, banyak BUMN yang saat ini jauh dari penerapan prinsip-prinsip GCG. Praktik 'bancakan' politik, dimana penunjukan pejabat tinggi didasarkan pada afiliasi politik daripada kompetensi, menjadi salah satu masalah utama. Hal ini tidak hanya mengganggu kinerja BUMN tetapi juga merusak integritas dan kepercayaan publik.
BUMN memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia. Untuk itu, pengelolaannya harus dilakukan dengan baik, transparan, dan akuntabel. Kembali ke prinsip-prinsip GCG adalah langkah yang tidak bisa ditawar lagi. Dengan demikian, BUMN dapat benar-benar berfungsi sebagai pilar pembangunan nasional dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Hanya dengan komitmen kuat dari semua pihak terkait, BUMN bisa keluar dari jeratan politik dan kembali fokus pada tugas utamanya: meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.[]
ADVERTISEMENT