Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
BRICS, Penantang Baru Hegemoni Barat?
22 November 2023 6:00 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Eduardus A Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Mereka menikmati masa yang sedikit lebih baik, ketimbang Soviet, yang pada 2001 telah pecah selama 10 tahun menjadi negara-negara kecil. Rusia , negara pecahan terbesarnya, mengalami krisis. Sementara China , masih belum sekuat sekarang. Tapi O'Neill yakin, dominasi barat cepat atau lambat bakal tertantang lagi.
Pada ringkasan laporan O'Neill yang menjabat sebagai chairman Goldman Sachs itu, ia menyoroti Brasil, Rusia, India dan China (BRIC). Ketiga negara itu bergabung, mereka memiliki total 23,3 % GDP dunia. Khusus China, ia memberi catatan khusus. Negara ini memiliki GDP yang lebih besar dari Italia, dan dalam 10 tahun mendatang GDP China bakal bertumbuh dan mempengaruhi kebijakan fiskal pada BRIC.
Ramalan O'Neill jadi kenyataan.
ADVERTISEMENT
Pada 2009, di Yakterinburg, Rusia, pertemuan pertama BRIC terlaksana. Setahun berselang, Afrika Selatan bergabung menjadi anggota tetap BRIC. Maka, BRIC pun berubah jadi BRICS , dengan tambahan South Africa (Afrika Selatan).
Tahun berlalu, BRICS pun menjadi kekuatan multinasional yang patut diperhitungkan. BRICS memiliki luas sekitar 27 % dari seluruh permukaan bumi, dengan 42 % total populasi manusia. Mereka juga memiliki GDP sebesar $ 28 triliun USD, dengan Purchase Power Parity $ 57 triliun USD. Belum lagi dengan cadangan dana yang mereka punya sebesar $ 4,5 triliun USD.
Untuk menggambarkan betapa berpengaruhnya BRICS, negara ini diisi oleh negara-negara yang masuk dalam G-20. Blok ini nampaknya akan terus berkembang lebih besar, karena pada Agustus 2023 lalu, presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa mengumumkan akan ada beberapa negara yang bergabung yakni Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Keanggotaan penuh mereka baru akan dimulai pada 1 Januari 2024. Tapi, presiden terpilih Argentina, Javier Milei memutuskan mundur dari keanggotaan.
ADVERTISEMENT
NDB Versus IMF
Salah satu kebijakan BRICS adalah pembentukan New Development Bank (NDB). Ide tentang bank ini dimulai oleh India pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS keempat di New Delhi, 2012. Pada 2014 di Durban, Afrika Selatan pada KTT BRICS keenam, mereka sepakat membentuk NDB.
Pada kesepakatan terpisah, BRICS sepakat untuk patungan dana sebesar $ 100 USD, sebagai dana awal. NDB sendiri memiliki 4 tujuan, yakni:
NDB seakan-akan memberi syarat yang lebih ringan ketimbang International Monetary Fund (IMF). Pasalnya, IMF kerap meminjamkan dana mereka dengan syarat yang membuat negara peminjam tunduk dengan mereka.
Padahal, IMF sendiri rawan dimonopoli oleh Amerika Serikat sebagai kontributor dana terbesar (19,1 %). Diikuti Inggris (6,6 %), Jerman (5.7%), Prancis (4,8 %), Jepang (4,5 %), dan Kanada (3,1 %). Negara-negara ini begitu dominan dalam hal penentuan kebijakan IMF, karena mereka memiliki total 57,6 % suara berbanding 34,4 % suara negara berkembang lainnya.
ADVERTISEMENT
Terlebih, baik AS dan kawan-kawannya ini kerap memiliki kepentingan yang berlawanan dengan negara-negara berkembang yang ada. Sementara NDB, tidak memiliki negara yang lebih unggul satu sama lain.
Soal kemampuan dana, IMF jelas masih jauh lebih unggul daripada NDB. Pada 2021 saja, IMF memiliki sumber dana sebesar $ 1 Triliun USD. Dibanding NDB yang hanya mencapai $ 50 Miliar USD. Tapi, melihat ramalan O'Neill pada awal artikel ini, bukan tidak mungkin NDB bakal mengungguli IMF.
Jika IMF berfokus pada pembangunan ekonomi, hingga ke pemberian nasihat, NDB punya foksu pada pembangunan infrastruktur dan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan kata lain, NDB berkesempatan untuk mengubah politik global yang dinamsi lewat pembangunan negara berkembang yang berkelanjutan. NDB adalah opsi, jika IMF dirasa terlalu mengikat.
ADVERTISEMENT
Bahkan, NDB yang merupakan kesepakatan dari BRICS berani menahan transaksi dengan Rusia, imbas dari perang Rusia-Ukraina.
Sejauh ini, NDB memiliki beberapa anggota antara lain Argentina, Bangladesh, Brasil, China, Mesir, Ethiopia, India, Iran, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Uni Emirat Arab dan Uruguay.
Kebijakan Politik Internasional BRICS
Tak hanya mengurusi kebijakan monter, BRICS juga berbicara soal peristiwa global yang terjadi belakangan. Baru-baru ini, para pemimpin BRICS berdiskusi terkait kondisi di Gaza, usai invasi Israel atas sepotong tanah Palestina tersebut.
Mengutip reuters, pembicaraan tersebut berlangsung secara virtual. Dalam pembicaraan itu, terjadi perbedaan pendapat antar negara BRICS.
Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, yang memegang presidensi BRICS yakin bahwa konflik harus diselesaikan secara adil dan damai.
ADVERTISEMENT
"Harus ada solusi yang adil dan berkepanjangan untuk konflik Palestina-Israel, dan solusi itu dapat dicapai dengan damai," ucap Cyril.
Sementara menteri luar negeri Argentina, Santiago Cafiero yang turut dalam rapat mengatakan serangan Israel adalah hak membela diri. Perbedaan pendapat disampaikan oleh Presiden China, Xi Jinping.
"Akar konflik ini adalah fakta, bahwa hak rakyat Palestina dalam bernegara, hak mereka untuk ada, dan hak mereka untuk kembali telah lama diabaikan," kata Xi.
Sementara Presiden Rusia, Vladimir Putin tetap konsisten menuding Amerika Serikat sebagai biang keladi.
"Kita harus membuat upaya bersama, dari komunitas internasional untuk de eskalasi konflik, gencatan senjata, serta mencari solusi politik untuk persoalan ini, dan BRICS bisa memiliki peran kunci untuk ini," kata Putin.
ADVERTISEMENT
Perbedaan pendapat ini seolah-olah menunjukkan blok multinasional ini masih dalam kondis yang rawan. Belum lagi persoalan antar negara anggota, seperti persoalan batas negara antara India dan China, serta perbedaan sistem politik antar dua negara anggota, demokrasi di Brasil dan kekuasaan oligarki di Rusia.
BRICS dan Indonesia, akankah kita bergabung?
Pada 2023, IMF merilis data negara dengan GDP terbesar berdasar Keseimbangan Kemampuan Belanja (Purchasing Power Parity/PPP). Ini digunakan untuk menentukan nilai tukar mata uang dua negara.
Data IMF tersebut menunjukkan, Indonesia berada dalam urutan ke-7 GDP PPP. Dibawah Rusia, dan di atas Brasil. Dari data IMF tersebut, negara BRICS, kecuali Afrika Selatan, berada dalam 10 besar GDP PPP. Lumrah, bila BRICS berkepentingan menggoda Indonesia bergabung ke blok baru ini.
Indonesia sudah diundang oleh BRICS pada KTT ke-15, di Johannesburg, Afrika Selatan pada 24 Agustus 2023. Presiden Jokowi hadir langsung. Ketika ditanyai kemungkinan, ia menyatakan tak akan tergesa-gesa.
ADVERTISEMENT
"Kita ingin mengkaji terlebih dahulu, mengkalkulasi terlebih dahulu, kita tidak ingin tergesa-gesa," kata Jokowi.
Sementara ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah justru mendorong agar Indonesia segera bergabung dengan BRICS. Ia berpendapat, agar Indonesia lepas dari ketergantungan mereka terhadap dollar AS dan menjadikan organisasi ini menjadi kekuatan global dunia.
"Kita harus mewaspadai tiga raksasa ekonomi dunia. Bank Dunia menilai Tiongkok, Jepang dan Amerika Serikat perekonomiannya pada tahun depan masih akan melambat. Ketiganya adalah mitra dagang strategis Indonesia," ujarnya.
Tapi, posisi diplomatik kita masih teguh dengan prinsip sejak awal. Tidak memihak. Non-Blok. Hal ini yang disampaikan oleh pengamat hubungan Internasional, Teuku Rezasyah.
"Kita tidak mau menjadi bagian dari arsitektur pihak lain, kita ingin benar-benar di tengah, dalam hal ini Indonesia merupakan sahabat dari G7 dan juga bersahabat dengan BRICS. Karena negara kita ini terlalu besar untuk menjadi ekor negara lain," kata Teuku.
ADVERTISEMENT
Kembali, Indonesia ada di posisi yang menentukan bagi BRICS. Sejarah seperti berulang, Indonesia kembali digoda oleh blok yang ingin mencoba mendongkel hegemoni AS dan kuasa ekonominya. Kemana kita akan berlabuh? Atau kuatkah kita mendayung diantara dua arus?