Ditjen Pajak Intip Data Nasabah, Analis: Jangan Disalahgunakan

21 Mei 2017 10:41 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Dirjen Pajak beberkan capaian Tax Amnesty (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dirjen Pajak beberkan capaian Tax Amnesty (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Aturan tersebut dianggap bisa membantu Ditjen Pajak untuk menjangkau data nasabah atau wajib pajak (WP) di dalam negeri, karena kurangnya akses menyebabkan hasil program pengampunan pajak (tax amnesty) belum maksimal.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dipaparkan oleh Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo. Menurutnya, hal ini ditunjukkan dari jenis harta yang terbanyak dideklarasikan adalah aset keuangan sebesar Rp 2.900 triliun (56 persen) dari total deklarasi harta, dan sekitar Rp 2.100 triliun berada di dalam negeri.
"Fakta ini tentu saja menjawab problem mendasar stagnasi rasio pajak yaitu terbatasnya akses terhadap data keuangan/perbankan. Dalam konteks efektivitas pemungutan pajak, kuncinya adalah mengawinkan “siapa (identitas) melakukan apa (aktivitas)”. Perppu ini menjadi pintu pembuka, sehingga pekerjaan rumah berikutnya adalah integrasi NPWP ke NIK (Nomor Induk Kependudukan)," ujar Yustinus melalui keterangan resmi yang diterima kumparan (kumparan.com), Minggu (21/5).
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, Penerbitan Perppu ini patut diapresiasi sebagai langkah maju dan bentuk komitmen Indonesia berpartisipasi dalam inisiatif global tentang AEOI (Automatic Exchange of Information) yang diprakarsai OECD (organisasi untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan) dan G-20 (Kelompok 20 ekonomi utama dunia). Pertukaran ini bersifat resiprokal, sehingga Indonesia harus menyelaraskan beberapa hal, antara lain klausul keterbukaan dalam ketentuan perundang-undangan, yang menjadi prasyarat pertukaran informasi keuangan.
Yustinus menekanakan, kewenangan yang besar untuk mengakses data (transparansi) harus diimbangi dengan akuntabilitas, yaitu klausul “confidentiality and data safeguard” yang menjamin perlindungan data nasabah/wajib pajak dari penyalahgunaan di luar kepentingan perpajakan (fishing expedition).
"Untuk itu perlu jaminan bahwa klausul ini akan dimasukkan dalam revisi UU KUP dan UU Perbankan (regulasi), pengembangan sistem teknologi informasi termasuk SOP dan pengawasan internal yang ketat, dan sanksi yang berat bagi pejabat/pegawai yang melakukan pelanggaran," paparnya.
ADVERTISEMENT
Yustinus juga mengajak seluruh warga masyarakat – para nasabah, investor, dan warga masyarakat – untuk tetap tenang dan proporsional dalam merespon kebijakan ini. Menurutnya kekhawatiran berlebihan yang didasarkan pada informasi yang tidak utuh justru akan merugikan.
"Justru kebijakan ini akan memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak/nasabah yang telah mengikuti pengampunan pajak, melaporkan seluruh harta, dan patuh pajak. Bagi wajib pajak yang masih terdapat kekurangan masih memiliki kesempatan untuk melakukan pembetulan SPT dan membayar pajak yang terutang," tuturnya.