Harga Listrik Pembangkit Tenaga Surya RI Lebih Mahal dari Kamboja

28 Maret 2017 15:31 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (Foto: Pixabay)
Peluang Indonesia untuk terus mengembangkan potensi penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) masih terbuka lebar, karena sumber daya EBT di Indonesia masih berlimpah dan tersebar di seluruh wilayah tanah air.
ADVERTISEMENT
Pemerintah terus berupaya mendorong penggunaan EBT, salah satunya untuk listrik. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Permen ESDM No. 12 tahun 2017 yang mengatur patokan harga maksimum untuk listrik dari sumber EBT seperti tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi.
Sebagai contoh, harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) ditetapkan paling tinggi 85 persen dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan di daerah tempat beroperasinya pembangkit listrik.
Kepala Biro Komunikasi Kementerian ESDM, Sujatmiko menjelaskan bahwa produksi listrik dengan biaya lebih rendah akan pula menurunkan BPP. "Kementerian ESDM berharap Permen 12/2017 dapat mendorong pengembangan teknologi listrik EBT sekaligus menurunkan harga listrik EBT dan penurunan BPP di Indonesia, sehingga harga listrik menjadi lebih berkeadilan", jelas Sujatmiko, melalui keterangan resmi yang dikutip kumparan (kumparan.com), Selasa (28/3).
ADVERTISEMENT
Saat ini ada kecenderungan penurunan tarif listrik dari EBT di negara-negara lain. Misalnya harga listrik yang berasal dari PLTB di belahan Eropa berkisar 6 sen dolar AS per kWh (kilowatt-jam).
Yang juga tak kalah mencengangkan adalah evolusi harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), mulai dari sekitar 3 sen dolar AS per kWh di Persatuan Emirat Arab, hingga sebesar 9 sen per kWh di Kamboja yang negaranya berdekatan dengan Indonesia.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman saat ditemui dalam diskusi di Jakarta belum lama ini mengatakan bahwa harga PLTS di Kamboja hanya sebesar 9 sen per kWh (Rp 1.197). Sementara di Indonesia harganya bisa mencapai 15 sen per kWh (Rp 1.995)
ADVERTISEMENT
"PLTS berkapasitas 10 MW itu dibangun oleh Kamboja di daerah perbatasan dengan Vietnam. Lokasinya terpencil, infrastrukturnya belum begitu bagus. Tapi listrik dari PLTS tetap bisa murah. Saya kaget juga. Masak Kamboja saja bisa, kita enggak bisa?" ujar Jarman.
Senada dengan tarif listrik EBT yang optimis mengalami penurunan, Perusahaan Siemens bersama Duta Besar Jerman untuk Indonesia pada saat pertemuan dengan Wakil Menteri ESDM bulan lalu, sempat menyatakan bahwa investasi di wilayah Indonesia Timur atau wilayah dengan biaya pokok penyediaan listrik setempat lebih besar dari BPP Nasional, masih menarik. Mereka akan melakukan kajian, penjajakan dan memahami terkait kebijakan EBT yang diterapkan ini.
ADVERTISEMENT
Pada 17 Februari 2017 juga telah ditandatangani MoU antara Menteri ESDM dengan Menteri Kebijakan dan Energi Swedia dalam rangka mendukung pengembangan EBT. Selain PT Siemens, perusahaan swasta lainnya seperti PT Pindad (Persero) juga menyatakan sanggup mendukung pembangunan PLTS dan kapasitas hingga 10 MW di Timur Indonesia, terutama di Papua dan NTT. PT Rekayasa Industri sebagai perusahaan EPC (Engineering, Procurement, Construction) nasional juga menyatakan dukungannya dalam pemanfaatan EBT di Indonesia yakni dengan membangun 14 Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP), dari total 17 pembangkit yang dibangun dan beroperasi dalam 20 tahun terakhir.