Konten dari Pengguna

Seolah Terlempar ke Zaman Megalitikum di Pantai Tanjung Tinggi Belitung

Eka Situmorang
Curious soul who loves travelling and food. Mom of one. Travel Blogger. Instagram : ceritaeka. Blog at http://ceritaeka.com and http://ekalagi.com
31 Agustus 2018 11:13 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Riuh tawa anak-anak terdengar membahana dari kejauhan saat kami sampai di Pantai Tanjung Tinggi, Belitung. Pantai yang menjadi salah satu lokasi syuting film Laskar Pelangi ini sekarang populer dan banyak dikunjungi wisatawan.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya, bukan hanya karena jadi lokasi syuting maka pantai ini terkenal, tapi pemandangan sunset dan batu granit berukuran raksasa yang ada di sana memang memiliki daya pesona tersendiri. Ditambah pantai pasir putihnya dan ombak lembut yang bersahabat bikin banyak orang senang mantai manja di sini.
Seolah Terlempar ke Zaman Megalitikum di Pantai Tanjung Tinggi Belitung
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Pantai Tanjung Tinggi, Belitung/Eka Situmorang-Sir)
“Eh, kita main-main ke batu sana yuk,” ajak Adrian, suami saya menunjuk batu granit besar yang tingginya 3 kali pohon kelapa. Saya melongo melihat ukurannya.
“Aman, enggak? Kalau batunya roboh gimana?” tanya saya ragu. Anu, insting protektif saya muncul. Namanya juga liburan bawa anak, yekan? Semua mesti diperhatikan dulu, mesti aman dan sentosa.
“Enggak kenapa-kenapa. Aman, kok!” kata Adrian sambil tertawa dan menarik tangan saya.
ADVERTISEMENT
Blusukan di Batu Granit Raksasa
Lalu kami pun beriringan berjalan ke arah batu granit yang tinggi berjejer mirip pisang raja berdiri. Tekstur batunya tidak terlalu kasar walaupun tidak bisa dibilang halus. Sesekali udara pantai berhembus dari sela-sela bebatuan sehingga udara terasa segar. Perlahan saya mengikuti Adrian yang bersemangat blusukan di antara batu sambil tak henti-hentinya berdecak kagum.
Wow, seperti berjalan di antara raksasa! Satu yang tak saya duga, menyelip sana-sini di antara bebatuan besar begini seolah melemparkan saya ke masa lalu ke Zaman Megalitikum di mana bebatuan menjadi bahan dasar utama pembuatan bangunan. Saya merasa jadi seperti manusia purba dan itu sensasional!
Kami berjalan berbaris pelan-pelan mengingat sempitnya celah antara satu batu dengan batu lainnya. Sesekali saya minta Adrian memelankan langkah kakinya karena kaki saya kesulitan menapak dengan benar.
ADVERTISEMENT
Saya hanya menggunakan sandal jepit sebagai alas kaki. Ck ck ck, memanglah ya, kalau Pak Presiden blusukan di pasar, Pak suami senengnya blusukan di batu :D hahaha. Basti yang digendong Adrian tak banyak bicara, entah dia merasa terkesima atau takut, saya enggak paham. Tapi selama ia tidak menangis dan merasa nggak nyaman, mari tetap lanjutkan tur blusukan batu ini!
Makin masuk ke dalam hutan batu, rasanya makin seru. Celah-celahnya makin sempit namun masih bisa dilalui manusia. Tingkat kesulitannya terasa kayak ujian aja. Hahaha. Oh ya, setiap kali kami masuk ke sela-sela batu saya selalu mempersiapkan diri agar jangan sampai menghirup bau pesing, makanya tangan saya selalu sigap menutup hidung dengan tisu.
ADVERTISEMENT
Kemudian setelah sniff-sniff sebentar dan rasanya aman, baru tissu saya lepaskan. Namun saya mesti acungi jempol lho, ternyata sampai selesai blusukan, bau pesing tak tercium sama sekali. Wow! Senang deh, wisatawannya sadar kebersihan.
Seolah Terlempar ke Zaman Megalitikum di Pantai Tanjung Tinggi Belitung (1)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Seperti menapaki zaman Megalitikum saat berkeliling di batu granit Pantai Tanjung Tinggi, Belitung/ Eka Situmorang-Sir)
Hampir 30 menit kami tur nyelip-nyelip di antara batu. Untung udara sore sepoi-sepoi dan agak mendung jadi tidak terasa panas. Setelahnya kami pun duduk di sisi pantai dan membiarkan Basti main air.
Saat leyeh-leyeh manja itulah baru saya sadar bahwa di sepanjang pantai ini terdapat berbagai macam bentuk batu yang berbeda-beda tapi terlihat sama. Padahal jika diperhatikan dengan seksama maka ada batu yang menjulang tinggi, ada yang pipih, bulat bahkan ada yang kekar. Semuanya terlihat memukau dengan degradasi warna laut yang enak dipandang mata.
ADVERTISEMENT
Bercengkerama Santai di Pinggir Pantai
Dengan kontur diapit dua semenanjung yaitu Tanjung Kelayang dan Tanjung Pendam, Pantai Tanjung Tinggi memiliki ombak yang relatif jinak dan arus air laut yang lambat. Hal ini membuat banyak keluarga dengan anak-anak kecil pun santai bermain di pinggir pantai. Ada yang berenang, bermain pasir hingga berjemursaja. Ah, pasir putihnya memang menggoda sekali buat dipakai leyeh-leyeh manja!
Tak banyak yang bisa dilakukan di pantai ini selain menikmati keindahan alaminya. Tidak ada banana boat, jet ski, atau permainan air lainnya. Namun saya justru menikmati keaslian pemandangan seperti ini. Bahkan tidak terlalu banyak pedagang berjualan, kalau pun ada lokasinya agak jauh.
Agak mengherankan sih karena pantai ini dulunya adalah pelabuhan bagi desa nelayan. Untung kami bawa makanan atau cemilan sendiri. Sebenarnya saya sudah berharap minum es kelapa dingin sambil jemur-jemur manja tapi ternyata nggak nemu. Ya udah akhirnya minum air putih aja. Masih mendinglah ya daripada minum air laut. Hehehe.
ADVERTISEMENT
Satu yang selalu menarik perhatian adalah anak-anak kecil yang berlarian ke sana sini. Bebas lepas bercengkerama. Hingar bingar suara mereka seolah menjadi musik tersendiri. Terkadang anak saya pun terbawa suasana dan ikut berlarian bersama mereka.
Kalau masih di pasirnya sih enggak apa-apa, tapi jelas saya larang jika sudah mulai manjat-manjat batu. Ada beberapa yang nekat lompat-lompatan di atas batu dan bikin jantung saya kayaknya mau copot (anuh ngeri kepleset), tapi untungnya saya dengar mamanya sudah berteriak mengingatkan. Pheew, jantung saya batal copot.
Seolah Terlempar ke Zaman Megalitikum di Pantai Tanjung Tinggi Belitung (2)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Batu Granit raksasa di Pantai Tanjung Tinggi, Belitung/Eka Situmorang-Sir)
Lelah main air, kami pun duduk bertiga menantikan matahari terbenam. Pemandangan yang dinanti-nanti tapi tak kunjung datang karena cuaca lagi mendung. Well, kalau berwisata alam memang cuaca bukan sesuatu yang bisa diprediksi dengan tepat. Sayang banget kami batal jadi saksi sunset yang katanya memesona itu.
ADVERTISEMENT
Sunset-nya ketutup awan,” gumam Adrian.
Hmmm, apa mungkin ini pertanda kita disuruh balik lagi ke sini lain kali ya,” jawab saya santai yang dibalas dengan senyum oleh pak suami. Pantai Tanjung Tinggi, nantikan kami kembali ya.