Tapak Tilas Jakarta Tempo Doeloe

Eka Situmorang
Curious soul who loves travelling and food. Mom of one. Travel Blogger. Instagram : ceritaeka. Blog at http://ceritaeka.com and http://ekalagi.com
Konten dari Pengguna
20 Juni 2019 12:46 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebentar lagi, Jakarta bakal berulang tahun, lho! Kalian tahu enggak, Jakarta akan merayakan dirgahayunya yang ke berapa?
ADVERTISEMENT
Well, pada tanggal 22 Juni nanti, Jakarta bakalan memperingati hari jadinya yang ke-492. Wow, Jakarta kota kita tercinta sudah hampir 500 tahun berdiri!
Tapak Tilas Jakarta Tempo Doele. (Foto: Dok. Eka Situmorang-Sir)
Enggak heran, dengan usianya yang sedemikian tua, Jakarta sudah mengalami sejarah panjang pasang-surut pergantian kekuasaan dan juga perubahan nama. Awalnya, dulu Jakarta disebut dengan nama Sunda Kelapa dalam periode kekuasan Kerajaan Sunda.
Setelah itu, Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari Portugis dan mengganti namanya menjadi Jayakarta, yang dalam Bahasa Sanskerta, memiliki arti "kota kemenangan". Namun, hal ini enggak bertahan lama karena setelah VOC datang, tempat ini diganti lagi namanya menjadi Batavia, sesuai nama salah satu suku nenek moyang Belanda.
Lalu, setelah Indonesia merdeka, nama ibu kota negara kita menjadi Jakarta. Wuih, panjang juga sejarah asal-usul nama Jakarta, ya.
ADVERTISEMENT
Ibarat Kotak Pandora, Jakarta selalu memiliki kejutan menarik untuk diulik, dan akhir pekan lalu saya pun menyempatkan diri untuk keliling Kota Tua Jakarta, sekadar tapak tilas Jakarta tempo doeloe itu seperti apa.
Pelabuhan Sunda Kelapa
Perjalanan saya dimulai dari Pelabuhan Sunda Kelapa yang dulu merupakan dermaga besar yang menjadi primadona karena lokasinya yang sangat strategis. Pada masa lampau, tempat ini merupakan lokasi perdagangan internasional, sebelum adanya Pelabuhan Tanjung Priok.
Kapal-kapal besar hilir mudik mengangkut rempah-rempah dan bahan bumi lainnya. Rumornya, dulu itu rempah-rempah lebih berharga daripada emas, lho.
Pelabuhan Sunda Kelapa (Foto: Dok. Eka Situmorang-Sir)
Sore itu, saat saya mampir ke pelabuhan yang sempat disebut sebagai Sunda Pura itu, tampak puluhan kapal bersandar. Kayu-kayu kapal yang kokoh berlabuh seolah mengintimidasi dengan ukurannya yang besar, sehingga saya merasa bagai titik kecil saja. Beberapa orang tampak sibuk menaikturunkan dagangan, beberapa buruh panggul hilir mudik dengan karung-karung di pundaknya.
ADVERTISEMENT
Eksotisme pemandangan ini sempat membuat saya tertegun, dan saya hanya mampu membayangkan saja bagaimana sibuknya tempat ini di masa lampau. Enggak heran, pelabuhan ini diperebutkan oleh banyak negara karena kesibukan aktivitas perdagangan di sini itu artinya banyak uang mengalir.
Menara Syah Bandar
Kemudian, berjalan kaki sekitar 500 meter dari Pelabuhan Sunda Kelapa, maka sampailah saya di sebuah menara tua yang bernama Menara Syah Bandar. Tempat ini dulunya adalah menara pemantau yang berfungsi mencatat arus lalu lalang kapal yang masuk dan keluar Batavia.
Menara Syah Bandar (Foto: Dok. Eka Situmorang-Sir)
Dari puncak menara ini, petugas menerima pesan dari Pulau Onrust kemudian meneruskannya ke Balai Kota Batavia (sekarang ini adalah Museum Sejarah Jakarta) dan menghitung pajaknya. Saya terkagum-kagum sama sistem perekonomian zaman dulu, walaupun enggak ada telepon tapi bisa mengalkulasi pajak kapalnya. Keren, ya.
Bagian luar Museum Bahari (Foto: Dok. Eka Situmorang-Sir)
Museum Bahari
ADVERTISEMENT
Di belakang Menara Syah Bandar, terdapat Museum Bahari yang menyimpan banyak koleksi perahu tradisional Indonesia dari segala macam bentuk, rupa, dan fungsinya. Terdapat juga koleksi biota laut dan sebaran ikan di Nusantara.
Sayang, waktu itu hari sudah sangat sore, sehingga saya tidak bisa masuk karena museum sudah tutup. Padahal, pengin banget tahu segala hal tentang kelautan dan kenelayanan bangsa Indonesia.
Galangan kapal
Di depan Menara Syah Bandar terdapat sebuah bangunan panjang dengan cat kuning gading berdiri kokoh. Bangunan itu disebut Galangan Kapal karena pada masanya dulu merupakan tempat restorasi atau perbaikan kapal-kapal yang rusak. Saya berjalan di trotoar besar nan bersih dan nyaman mengitari tempat ini yang menghadap anak Kali Ciliwung.
ADVERTISEMENT
Rasanya menyenangkan jalan kaki di sini, seolah ditarik ke masa lalu dan saya membayangkan kapal-kapal lalu lalang di sungai ini. Eksotis banget pastinya!
Galangan Kapal (Foto: Dok. Eka Situmorang-Sir)
Menurut penduduk setempat, trotoar ini dibuat dengan membebaskan lahan dari penduduk liar yang tinggal di bantaran sungai oleh gubernur terdahulu. Suatu langkah yang mengubah wajah pinggiran kali menjadi lebih manusiawi dan terlihat elok. Pengunjung, turis, atau traveller pun nyaman menjelajah kota tua.
Jembatan Kota Intan
Selesai mengitari Galangan Kapal, saya sampai di Jembatan Kota Intan. Jembatan ini dulunya dikenal dengan beberapa nama, yaitu English Bridge, lalu berganti jadi Juliana Bridge, kemudian menjadi Jembatan Kota Intan yang dinamakan sesuai pos jaga, yaitu Diamond.
Namun begitu, penduduk lokal menyebutnya Jembatan Ayam, bukan karena banyak 'ayam kampus', lho (hehehe) tapi memang dulu kala ada pasar ayam di seberangnya.
Jembatan kota Intan (Foto: Dok. Eka Situmorang-Sir)
Jembatan Kota Intan adalah jembatan yang bisa dibuka dan ditutup untuk lalu lalang kapal karena di zaman dulu transportasinya memang menggunakan sungai atau kanal. Enggak kebayang, berapa kali dalam sehari jembatan ini beroperasi buka-tutup, ya. Sibuk banget, deh.
ADVERTISEMENT
Kali Besar
Jembatan Kota Intan terletak di Kali Besar yang merupakan jalan utama pada masa itu. Kali Besar itu setara dengan jalan bulevar di masa sekarang, ramai dan riuh orang-orang dan juga kapal yang lalu lalang.
Senang banget, karena saat ini Kali Besar sudah dibenahi dengan wajah baru yang tidak menghilangkan sejarahnya. Terdapat bangku-bangku dan jembatan rapi yang cantik buat masyarakat menikmati Kota Tua Jakarta.
Kali Besar yang cantik (Foto: Dok. Eka Situmorang-Sir)
Fatahillah Square
Perjalanan tapak tilas saya berakhir di Fatahillah Square, di mana dulunya merupakan pusat kegiatan VOC. Di sini, terdapat banyak bangunan bersejarah seperti Museum Sejarah Jakarta yang dulunya adalah balai kota, kemudian Museum Wayang yang dulunya adalah Gereja dan Museum Keramik yang dulunya adalah gedung pengadilan.
ADVERTISEMENT
Orang sering salah sangka menyebut nama Museum Sejarah Jakarta sebagai Museum Fatahillah. Padahal, seperti yang pernah saya tuliskan di sini, Fatahillah adalah nama lokasinya.
Saya menghabiskan sore duduk manja di salah satu kafe di area ini. Memandangi berbagai macam orang yang tumpah ruah di halaman Fatahillah Square dengan canda tawa terdengar di mana-mana. Tampak juga remaja yang sibuk mencoba sepeda kuno dan ibu-ibu dengan anaknya yang sibuk berfoto. Pemandangan yang memberikan sensasi berbeda di hati. Apakah dulu Batavia juga sesibuk ini?
Saya menyenangi suasana Kota Tua Jakarta yang terus berbenah dan berusaha masih mempertahankan keaslian arsitekturnya dari tempo doeloe. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai sejarah?
Selamat Ulang Tahun Kota Jakarta, kata orang sih hate it or love it, tapi saya sih forever love deh. Kota tempat saya tumbuh besar dengan segala problematikanya, mulai dari jerawat remaja sampai pilih pacar yang mana buat jadi pendamping hidup.
ADVERTISEMENT
Mulai dari semrawutnya lalu lintas dan kemacetannya (yang Thank God sedikit demi sedikit mulai terurai dengan adanya MRT, LRT, dan jalur TransJakarta) hingga perbelanjaan yang keren. Ah, Jakarta selalu di hati. Dirgahayu kotaku, selamat panjang umur!
Salam,
Eka Situmorang-Sir