Pandemi COVID-19: Siap Berubah atau Tidak?

Eka Cahyani
Mahasiswi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
15 Juli 2021 18:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Cahyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi belajar dari rumah (Sumber: Pinterest)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi belajar dari rumah (Sumber: Pinterest)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
CORONA kembali mengganas. Terhitung sejak awal terkonfirmasinya dua wanita asal Indonesia pada Senin (2/4/2020), virus ini belum juga melepas cengkramannya sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Disadari atau tidak, CORONA telah memberikan dampak yang nyata di hampir semua lini kehidupan. Seperti ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, pandemi mendorong manusia untuk mengubah pola dan kebiasaan hidup mereka. Dunia dituntut untuk berubah. Siapapun yang tidak dapat berubah, bisa tertinggal. Desakan ini tidak hanya mempengaruhi perekonomian dan teknologi, tetapi juga dalam bidang pendidikan.
Melalui Surat Edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan COVID-19 pada Satuan Pendidikan yang dikeluarkan pemerintah, Politeknik Negeri Jakarta mulai mengubah sistem pembelajarannya dari tatap muka ke Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Kebijakan ini dibuat untuk mencegah rantai sebaran virus CORONA yang mulai meluas. Aku sebagai salah satu mahasiswa yang mengambil studi di sana, tentu harus menerima keputusan yang telah berlaku sejak Maret 2020 tersebut.
ADVERTISEMENT
Proses pengajaran yang semula dilakukan langsung di dalam kelas, kini hanya dapat dilakukan di rumah masing-masing. Secara langsung, virus ini telah menggerakkan kita untuk beralih dari yang tradisional ke cara yang lebih modern. Dengan memanfaatkan teknologi digital, pelajar dan tenaga pendidik dapat saling terkoneksi lewat jaringan internet dan aplikasi pertemuan virtual.
Sebelum pandemi datang, alarm ponsel dan suara gemericik air selalu menjadi alunan yang membangunkanku dari tidur. Seruan Ibu yang menggelegar menjadi kode bahwa waktu telah menunjukkan pukul 6 pagi. Aku harus segera mempersiapkan diri sebelum ia kembali membentakku dengan nada suaranya yang tinggi.
Sesampainya di kampus, aku langsung menyapa dan bercengkrama dengan kawan sejawat. Derit kursi, pekikkan tawa dan hawa dingin yang menusuk sudah menjadi makananku tiap memijakkan kaki ke dalam ruang kelas. Ketika dosen datang, teman-temanku langsung kembali ke kursi masing-masing untuk memperhatikan materi pembelajaran yang ditampilkan lewat proyektor.
ADVERTISEMENT
Tidak paham materi? Tanya kepada dosen. Masih tidak mengerti? Mintalah bantuan teman. Itulah aktivitas yang aku dan teman-teman lakukan saat kebingungan mencerna pelajaran yang ada. Terlebih saat ada mata kuliah praktik, seperti desain grafis, dan komputer grafis. Sebagai mahasiswa Penerbitan (Jurnalistik) yang di harapkan mampu memahami ilmu desain, pengalaman serta latihan tentu sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kemampuan kami di kedua bidang tersebut.
Sudah satu tahun lebih, aku dan teman-temanku belajar dari rumah. Pembelajaran jarak jauh terasa sangat berbeda dari metode pembelajaran offline. Meski memiliki dampak positif yang telah dipermudah dengan adanya teknologi, tak dapat dielakkan bahwa ada pengaruh negatif yang harus diterima sebagai gantinya.
Sebelum pandemi, dosen akan menerangkan dan mempraktikkan secara langsung materi-materi yang dibawanya. Jika bingung dengan materi yang diberikan, mahasiswa dapat dengan mudah meminta penjelasan ulang darinya. Tak jarang, dosen design grafisku datang menghampiri mahasiswanya untuk dibimbing lebih lanjut. Jika enggan bertanya kepada dosen, aku dan teman-temanku terbiasa saling membantu dalam mengajarkan materi yang kurang dipahami.
ADVERTISEMENT
Namun, saat PJJ mulai diterapkan, selalu ada kendala yang dapat menghambat proses pembelajaran secara efektif. Baik secara teknis maupun non-teknis, dampak-dampak ini tak hanya dirasakan oleh mahasiswa, namun juga bagi pengajarnya.
Hambatan antara ruang dan jarak begitu terasa, terutama ketika mahasiswa kesulitan memahami praktik yang diberikan. Para pengajar di kampusku kerap kali menganjurkan mahasiswanya untuk bertanya jika dirasa ada materi yang tidak dimengerti. Namun, tak sedikit dari mereka yang enggan bertanya. Entah karena takut, ragu, ataupun malu. Alhasil, meminta bantuan teman merupakan salah satu solusi yang biasa dilakukan para pelajar.
Sebelum diterapkannya PJJ, menepuk bahu dan memanggil nama merupakan pemandangan yang sering kulihat saat teman-temanku kebingungan dan membutuhkan bantuan. Proses pemecahan masalah secara tatap muka jauh lebih cepat dan efektif dibandingkan lewat internet. Masalah seperti respons lambat hingga tak diindahkan merupakan konsekuensi yang tak terbantah dan biasa terjadi dalam lingkup perkuliahanku.
ADVERTISEMENT
Selama PJJ berlangsung, aku dan teman-temanku seringkali membuat jadwal tambahan untuk belajar bersama. Penjadwalan tersebut dilakukan mengikuti waktu luang yang dimiliki masing-masing orang. Ada kalanya jam tambahan dilakukan setelah kuliah berakhir, pada malam hari atau hari esok. Dengan menggunakan teknologi yang ada, kami dapat saling berinteraksi lewat aplikasi video konferensi yang terinstal di gadget masing-masing.
Hal ini terasa berbeda saat kuliah offline masih diterapkan. Detik itu kami bertanya, pada saat itu juga kami dapat saling mengajari dan memahami materi yang belum dikuasai. Kalaupun ada penundaan, kami tidak perlu menunggu dan menetapkan jadwal hingga hari esok. Belajar bersama dapat dilakukan saat kelas berlangsung maupun setelah jam kuliah.
Tidak hanya itu, koneksi jaringan yang tidak stabil, kehabisan kuota internet, hingga fasilitas gadget yang tidak memadai juga menjadi penghalang dalam terciptanya pembelajaran yang efektif selama pandemi. Bahkan ketidakmampuan dalam memakai dan menggunakan teknologi juga menjadi salah satu faktor penghambat yang masih terjadi dalam sistem pembelajaran online seperti saat ini.
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 telah mengubah kehidupan kita, baik secara eksplisit maupun implisit. CORONA mendorong kita melakukan tantangan dan aktivitas yang jarang, bahkan belum pernah kita lakukan. Perubahan-perubahan tersebut merupakan sebuah tantangan yang tak dapat dihindari. Sebagai makhluk hidup, manusia harus bisa tumbuh dan berubah mengikuti arus kehidupan yang ada. Mampu atau tidaknya tergantung pada pribadi kita yang siap untuk berubah atau pasrah menerima segala konsekuensi dan ketertinggalan yang ada.
(Eka Cahyani/Politeknik Negeri Jakarta)