Konten dari Pengguna

Jokowi Masih Menghantui: Ketidakpuasan yang Tak Pernah Pudar

Eka Faizin Hidayat
Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember dengan fokus pada studi hukum tatanegara. Memiliki ketertarikan pada kepenulisan, dan keilmuan.
10 November 2024 9:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Faizin Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
gambar 3D presiden jokowi dan presidan prabowo beserta wakilnya, sumber: dari penulis
zoom-in-whitePerbesar
gambar 3D presiden jokowi dan presidan prabowo beserta wakilnya, sumber: dari penulis
ADVERTISEMENT
Para pengkritik Jokowi bukanlah sekadar kumpulan "haters" tanpa dasar atau tujuan. Sebaliknya, banyak dari mereka adalah figur berpengaruh yang suaranya didengar dalam percaturan politik nasional. Sejak Jokowi pertama kali menjabat sebagai Presiden pada 2014, upaya untuk melemahkan posisinya telah dimulai dan terus berlangsung hingga masa jabatan kedua yang dimulai pada 2019. Berbagai aksi protes dan kampanye besar menyertai perjalanan pemerintahannya, namun hingga kini upaya tersebut belum membuahkan hasil nyata. Bahkan, dalam Pemilu 2019 yang kontroversial dengan tingkat partisipasi tinggi yaitu mencapai 81%, Jokowi kembali terpilih, memperlihatkan kekuatannya yang sulit tergoyahkan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, para penentang ini harus menerima kenyataan bahwa Jokowi berhasil mempertahankan posisinya hingga akhir masa jabatannya. Meskipun kekecewaan mereka mungkin terus bergema, Jokowi mampu mengakhiri periode keduanya tanpa tergoyah bahkan mencapai 80,8% tingkat kepuasan masyarakat menurut LSI, meski menghadapi kritik yang konsisten dan suara-suara protes yang terus muncul di ruang publik. Selama lima tahun terakhir, kritik terus dilancarkan, tetapi faktanya Jokowi berhasil bertahan, melampaui badai politik dan ketidakpuasan segelintir masyarakat yang mewarnai perjalanan kepemimpinannya. Bagi sebagian orang yang mendambakan perubahan, ini mungkin tampak seperti "kemenangan" yang tak pernah datang.
Namun, cerita ini tidak berhenti di sana. Begitu masa jabatan Jokowi berakhir, perhatian beralih ke figur baru yang menarik perhatian para pengkritiknya yaitu putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Berbekal dukungan yang signifikan dalam Pilkada Solo yang mencapai 86,5%, Gibran menunjukkan bahwa dirinya diterima dengan baik di kota yang ia pimpin. Kini, dengan posisinya yang meningkat menjadi Wakil Presiden mendampingi Prabowo, Gibran menjadi simbol baru dalam "perjuangan" para kritikus.
ADVERTISEMENT
Di balik ini, strategi dan narasi baru mulai muncul. Jika dahulu Jokowi menjadi satu-satunya target kritik, kini para penentang berusaha memecah konsolidasi politik di antara Gibran dan Prabowo. Mereka mengupayakan agar Prabowo menjaga jarak dari keluarga Jokowi, melalui salah satu akun media sosial yang belum jelas siapa pemiliknya bernama "Fufufafa" dengan harapan menciptakan jarak dalam aliansi baru ini. Sayangnya, strategi ini tampaknya belum membuahkan hasil. Prabowo justru mempertahankan hubungan baik dengan keluarga Jokowi dengan mengunjungi langsung kediaman pribadinya, bahkan menegaskan ikatan tersebut dalam berbagai pertemuan publik. Hal ini menciptakan ironi bagi pendukung Prabowo yang kritis terhadap Jokowi, sehingga narasi dukungan kepada Prabowo justru menjadi bumerang.
Di sisi lain, tuntutan untuk "mengadili" Jokowi terus bermunculan meski belum ada dasar hukum yang jelas untuk itu. Sebagian besar narasi tersebut masih berlandaskan pada ketidakpuasan politik, tanpa disertai bukti konkret yang memadai. Begitu pula seruan untuk “melengserkan” Gibran yang kini mulai terdengar, meskipun ia baru saja resmi menjalankan peran sebagai Wakil Presiden. Tampaknya, sosok keluarga Jokowi masih menjadi bayang-bayang yang menghantui para penentangnya.
ADVERTISEMENT
Setelah sepuluh tahun berlalu sejak Jokowi pertama kali terjun di panggung politik nasional, pertanyaan besar yang tersisa adalah: sampai kapan ketidakpuasan ini akan terus berlanjut? Dengan seruan yang berulang tanpa hasil nyata, kritik yang ditujukan kepada Jokowi dan keluarganya tampaknya masih berjalan di tempat. Dalam satu dekade ini, Jokowi telah berhasil menuntaskan dua periode kepemimpinannya, meninggalkan pengaruh yang kuat dalam lanskap politik Indonesia. Kini, Gibran bersiap memulai perjalanan barunya di kancah politik nasional. Jika kedekatan antara Prabowo dan keluarga Jokowi masih terus menjadi pemicu ketidakpuasan, mungkin ini saatnya bertanya: seberapa jauh ketidakpuasan ini akan bertahan, dan apa tujuan akhir dari semua ini?