Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Apa Hubungan Bermain Tetris, Terror, dan Hoaks? #ngobrolgame
11 Mei 2018 16:14 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Eko Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tetris, sebuah game yang diciptakan oleh Alexey Pajitnov, seorang ahli komputasi dari Rusia pada Juni 1984 mungkin jadi salah satu game yang penting untuk bisa kita mainkan lebih sering. Ketika bermain tetris, kita melakukan analisa terhadap berbagai faktor, dari mulai bentuk kepingan puzzle yang mulai turun, kepingan selanjutnya yang akan muncul, kepingan-kepingan puzzle lain yang sudah tersusun di bagian bawah, lokasi mana yang paling tepat, serta semua keuntungan/risiko yang mungkin muncul dari peletakan kepingan puzzle tersebut.
ADVERTISEMENT
Semua kita lakukan dalam waktu yang relatif singkat dan berulang kali. Tetris (dan juga berbagai game dengan genre atau puzzle mechanics lain) melatih kita untuk menganalisa, berpikir kritis, mempertimbangkan segala bentuk risiko/keuntungan, dan mengambil keputusan yang tepat dalam waktu singkat/terbatas.
Sayangnya kita sepertinya memang sudah tidak sempat lagi bermain tetris.
Bukan hanya satu dua kali berita terkait teror di berbagai tempat di Indonesia jadi headline selama berhari-hari. Bukan hanya di media resmi, berbagai berita yang tidak jelas sumbernya juga bertebaran melalui sosial media dan aplikasi pesan (messenger) langsung ke perangkat mobile kita.
Sebagian dari kita mungkin langsung membagikan berita-berita tersebut ke saudara, rekan, dan teman tanpa berpikir panjang - hanya karena pengirim sebelumnya adalah saudara/rekan dekat kita. Dalam hitungan menit, berita-berita hoaks tersebar secara luas. Tanpa kita sadar, penyebaran berita tersebut adalah bagian dari strategi teror itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kenapa kadang kita begitu mudah menyebarkan sebuah berita tanpa memeriksa kembali validitas berita tersebut? Tanpa mempertimbangkan apakah itu hal yang baik atau tidak. Ini bukan kali yang pertama, mungkin sudah jadi bagian keseharian kita.
Kita begitu mudah membagi satu berita hanya dengan pertimbangan suka, sepakat, atau demi banyak like/komentar semata. Dari satu group ke group lainnya, dari satu timeline ke timeline lainnya. Apakah itu pantas atau tidak, fakta atau hoak, benar atau fitnah, kita tidak peduli.
Karena kebiasaan kita tersebut, di negeri ini segelintir oknum bisa membuat gosip bahkan fitnah jadi seakan fakta, tersebar begitu luas, berkali-kali. Kesalahan kita dalam meyebarkan hal itu pun seakan-akan bisa selesai dengan memohon maaf ala kadarnya.
ADVERTISEMENT
Apakah kebiasaan ini yang akan kita turunkan pada anak-anak kita? membagi berita tanpa tanya? Menyimpulkan tanpa data? Memutuskan tanpa rasa?
Mengasah kemampuan berpikir kritis dan mengambil keputusan dengan lebih bijaksana perlu banyak latihan dan dibiasakan, untuk itu mungkin kita semua perlu lebih serius lagi belajar lewat berbagai game yang ada. Tentu akan lebih baik jika kita juga mulai mengajak anak-anak kita bermain bersama.
Sumber gambar: Teyssier Gwenaelle didistribusikan di bawah lisensi Creative Commons CC0