Konten dari Pengguna

“Malu Pakai Baju Itu-Itu Aja!”: Apakah Fast Fashion Sebanding dengan Dampaknya?

Elis Lailia
Mahasiswa Psikologi Universitas Pembangunan Jaya.
20 Oktober 2024 13:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elis Lailia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era modern ini, siapa yang tidak ingin tampil baru dan segar di setiap kesempatan, terutama dengan sorotan media sosial yang selalu hadir? Pernahkah kamu merasa ragu untuk memakai baju yang sama lagi karena khawatir dilihat 'itu-itu saja'? Fenomena ini semakin umum, namun tak banyak orang yang tahu dan peduli dengan akibatnya. Setiap kali kita membeli pakaian baru, dampaknya terhadap lingkungan terus bertambah, apalagi dengan berkembangnya industri fast fashion. Yuk, kita eksplorasi lebih dalam bagaimana tren “malu pakai baju itu-itu saja” ini bisa memengaruhi bumi kita!
sumber: iStock.com
Apa itu Fast Fashion?
ADVERTISEMENT
Mengutip laman (Stanton, 2024) fast fashion adalah cara cepat industri mode menciptakan, memproduksi, dan memasarkan pakaian dalam jumlah besar. Tujuannya supaya kita sebagai konsumen bisa mengikuti tren dengan harga murah. Fast fashion memanfaatkan replika tren yang sedang populer dengan bahan berkualitas rendah, seperti kain sintetis yang membuat kita bisa mendapatkan pakaian cepat dengan harga miring.
Istilah ini bermula muncul di pertengahan abad ke 20, saat industri fashion mulai mengeluarkan produk yang menyesuaikan musim dalam setahun; musim gugur, musim dingin, musim semi, musim panas. Para desainer beberapa merek akan bekerja untuk meluncurkan produk, dan memprediksi tren yang akan digemari oleh konsumen mereka ketika musim berganti. Namun walaupun digandrungi oleh banyak orang, banyak juga yang menilai jika mode fast fashion ini menghilangkan kebebasan para pemakainya (Stanton, 2024)
ADVERTISEMENT
Dengan tren yang mudah meredup seiring produk-produk baru yang bermunculan, ditambah perasaan malu pakai baju itu-itu saja, para pemilik merek kemudian berlomba-lomba memproduksi pakaian dengan jumlah besar. Hingga saat ini, merek-merek fast fashion memproduksi sekitar 52 “musim mikro” dalam setahun, atau satu “koleksi” baru dalam seminggu yang menyebabkan konsumsi dan limbah dalam jumlah besar (Stanton, 2024). Hal inilah yang menjadikan fast fashion berdampak buruk bagi lingkungan.
Fast Fashion Berdampak Pada Lingkungan?
1. Bencana Limbah Menumpuk
Sudah menjadi rahasia umum jika pabrik-pabrik tekstil akan menghasilkan limbah yang tidak sedikit. Proses produksi fast fashion meninggalkan lebih banyak limbah, salah satunya adalah pakaian yang hanya dipakai beberapa kali dan berakhir di pembuangan sampah. Kualitas yang dinomorduakan membuat biaya produksi juga relatif lebih rendah. Tetapi dari ”lautan limbah” fast fashion ini, salah satu pihak yang diuntungkan adalah perusahaan Topshop serta Fashion Nova (Stanton, 2024).
ADVERTISEMENT
Menurut (Niinimaki et al., 2020) jumlah limbah tekstil yang dihasilkan terbilang sangat besar, sekitar 92 juta ton per tahun, dengan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir atau dibakar. Sebanyak satu ton limbah tekstil dihasilkan di Indonesia dari 33 juta ton jumlah tekstil yang diproduksi oleh industri (ITS Online, 2022). Selain itu, produk cacat dan yang tak layak jual pun akan bernasib serupa. Hal ini akan terus bertambah apabila produksi dan permintaan pasar terkait fast fashion juga meningkat.
2. LingkunganTercemar, Hidup Terancam
Perserikatan bangsa-bangsa sebagaimana dikutip dalam (Bailey et al., 2022) menjelaskan jika industri fashion merupakan salah satu pengguna air terbanyak kedua di dunia, dengan menggunakan sekitar 93 miliar meter kubik air setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Tak berhenti di situ, polusi yang dihasilkan juga tidak main main. Dikutip dalam (Niinimaki et al., 2020) industri fashion bertanggung jawab atas sekitar 20 persen polusi air dari proses pembuatan dan pewarnaan tekstil serta menyumbang 35 persen atau sekitar 190.000 ton per tahun dari polusi mikroplastik di lautan. Hal ini dibuktikan dalam (ITS Online, 2022) ketika 70 persen bagian tengah Sungai Citarum tercemar mikro plastik, berupa serat benang polyester.
Selain itu, industri fashion menyumbang hingga 10 persen dari emisi CO2 global. Hal ini terhitung lebih dari 1,7 miliar ton setiap tahunnya (Centobelli et al., 2022).
3. Throw Away Clothes Culture
Menurut survey (Remy et al., 2016) konsumen menyimpan pakaian sekitar setengah dari waktu yang mereka gunakan 15 tahun lalu, hampir di seluruh kategori pakaian. Fast fashion menunjukkan bahwa konsumen cenderung memperlakukan pakaian dengan harga murah sebagian barang sekali pakai, dan membuang setelah mengenakannya sebanyak tujuh atau delapan kali pakai.
ADVERTISEMENT
(F2F Prime, n.d.) mengatakan pada tahun 2020, sekitar 18,6 juta ton tekstil dibuang ke tempat pembuangan akhir. Sebagian besar konsumen juga membuang sebanyak 60% pakaiannya setelah satu tahun membelinya. Penelitian dari YouGov sebagaimana dikutip dalam (citarumharum, 2024) mendapatkan hasil jika 60 persen orang dewasa Indonesia membuang pakaian mereka dalam satu tahun. Sementara 25 persen membuang sekitar sepuluh pakaian dalam setahun.
Fast Fashion dan Efek Rumah Kaca
Menurut (Bechtel & Churchman, 2002), proses transformasi yang terjadi di seluruh biosfer menjadi ancaman potensial bagi kelangsungan kehidupan di planet ini. Proses ini diidentifikasi sebagai “perubahan global”, termasuk efek rumah kaca dengan berbagai perubahan iklim terkait, hilangnya keanekaragaman hayati, menipisnya lapisan ozon, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Fast Fashion memberikan kontribusi yang besar terhadap efek rumah kaca melalui proses produksinya yang berlebihan. Selain itu, kapas merupakan bahan utama pembuatan pakaian, dengan menggunakan sekitar 30 persen dari seluruh tekstil. Saat menjadi pohon, kapas akan memerlukan banyak air pestisida, serta pupuk untuk menunjang kelangsungan hidup. Negara-negara dengan industri pakaian atau manufaktur besar pasti bergantung dengan bahan bakar minyak untuk melakukan produksi, (Remy et al., 2016) mengira-ngira bahwa pembuatan 1 kilogram kain menghasilkan rata-rata 23 kilogram gas rumah kaca.
Tak hanya berbahaya pada produksi tekstil, proses distribusi internasional juga menambah emisi karbon industri fashion. Fast fashion sering kali diproduksi di negara-negara seperti Vietnam atau Bangladesh, lalu didistribusikan ke negara lain, termasuk Indonesia yang berjarak ribuan kilometer, dengan menggunakan truk, kapal laut, pesawat terbang, dan lain-lain yang menambah emisi karbon (Tran & Dung, 2024).
ADVERTISEMENT
Iklim selalu berubah, tetapi, sejak tahun 1970, ilmuwan fisika mulai menyorot perubahan iklim akibat manusia. Dampak perubahannya adalah, rusaknya lingkungan, perubahan yang mengharuskan adaptasi terus-menerus, urbanisasi, penyakit, kematian, bahkan kepunahan (Swim, 2019). Jika orang sudah khawatir tentang perubahan iklim, informasi yang menakutkan hanya akan membuat mereka merasa tidak berdaya (Hamann et al., 2016).
Kalau sudah tahu akibatnya begini, yakin masih mau mendukung industri fast fashion? Masih malu pakai baju yang itu-itu saja?