Feminisme dan Modernisasi dalam Novel Belenggu Karya Armijn Pane

Elis Susilawati
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
20 April 2022 15:53 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elis Susilawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Sumber: Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
(Sumber: Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
Feminisme merupakan suatu istilah yang dikenal sebagai keyakinan, gerakan, dan usaha untuk memperjuangkan kesetaraan posisi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat yang bersifat patriarkis. Feminisme sudah hadir sejak zaman kolonial Belanda. Berkaitan dengan feminisme, pada tanggal 22-25 Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia pertama yang dipanitiai oleh Soedjatien, RA. Soekonto, dan Nyi Hadjar Dewantara. Adanya peringatan Hari Ibu di setiap tahun pada tanggal 22 Desember, hadir atas peristiwa tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, modernisasi adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Melihat kemajuan berpikir perempuan saat ini, tentunya ada usaha yang sangat besar untuk membawa setiap individu terhadap perspektif yang baru. Modernisasi dianggap menjadi suatu hal yang sangat penting karena kehidupan itu bersifat dinamis. Artinya, selalu ada perubahan di setiap waktunya.

Sejarah Novel Belenggu

Belenggu merupakan novel karya Armijn Pane yang dikenal sebagai karya pembaharu dari kalangan Angkatan Pujangga Baru. Pada awalnya, novel ini ditawarkan Armijn Pane kepada Penerbit Balai Pustaka agar dipublikasikan. Akan tetapi, pihak redaktur menolak penawaran tersebut karena dianggap tidak memenuhi kriteria yang “baik” menurut ukuran Balai Pustaka pada saat itu. Pada saat novel Belenggu terbit, Armijn Pane merasa lebih banyak cercaan yang diberikan kepada dirinya daripada pujian, baik secara langsung maupun melalui surat kabar.
ADVERTISEMENT
Novel Belenggu bercerita tentang kehidupan pribadi (rumah tangga dan perkawinan) yang pada masanya permasalahan tersebut masih dianggap tabu untuk diperbincangkan masyarakat umum. Novel ini mengisahkan kehidupan seorang intelektual, yaitu dokter Sukartono dengan Sumartini dan Siti Rohayah. Tono berhasil mengawini gadis pesta, Tini karena merasa tertantang dan tertarik untuk menaklukan hatinya yang terkenal dingin. Pada mulanya, kehidupan rumah tangga Tono dan Tini berjalan lurus, namun kesibukan Tono sebagai dokter membuat Tini perlahan-lahan menjadi jengah. Tono bertemu dengan pasiennya yang merupakan seseorang di masa lalunya, Yah. Semenjak bertemu Yah, Tono selalu pulang ke rumah larut malam, sedangkan Tini terus menunggu. Tono merasa bahwa dirinya menemukan kehangatan cinta saat berada di sisi yah. Ia mulai membandingkan sikap Tini yang dingin. Akibat dari kebiasaan Tono yang sering pulang malam membuat Tini merasa tidak diperhatikan. Akhirnya, Tini menyibukkan diri dalam kehidupan sosial, salah satunya bergabung dengan Kongres Perempuan di Solo. Ia merasa bahwa dirinya lahir bukan hanya sebagai seorang penjaga telepon. Ia berpikir bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama.
ADVERTISEMENT
Sebelum hidup bersama Tono, Tini juga memiliki masa lalu yang menjadi belenggu bagi dirinya. Pada mulanya, Tini tidak mengetahui hubungan antara Tono dan Yah. Akan tetapi, kabar itu mulai tersebar ketika dirinya sedang mengikuti Kongres Perempuan di Solo. Saat itu, Tono tinggal bersama Yah. Mereka saling berkasih-kasih. Sepulangnya dari Solo, Tini datang menghampiri Yah tanpa sepengetahuan Tono. Awal mulanya, ia berpikir bahwa lawannya akan kalah, namun di akhir justru sebaliknya. Tini menyerahkan Tono kepada Yah, lalu dirinya pergi ke Surabaya, menjadi pemimpin rumah piatu. Di akhir cerita, Yah merasa tidak pantas untuk mendapatkan Tono. Ia pergi meninggalkan Tono dan kembali ke dunianya (wanita pengibur). Tono berakhir hidup sendiri, bukan bersama Tini ataupun Yah.
ADVERTISEMENT

Feminisme dan Modernisasi Pemikiran Tokoh Perempuan dalam Novel Belenggu

Salah satu pokok pembahasan dalam novel Belenggu karya Armijn Pane adalah perjuangan kesetaraan posisi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Hal tersebut berkaitan juga dengan pola pikir yang bersifat maju dari tokohnya. Tokoh perempuan yang merepresentasikan feminisme dan modernisasi pemikiran, yaitu Tini dan Yah. Tini digambarkan sebagai wanita yang aktif dalam dunia sosial, mandiri, dan menjunjung tinggi persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
Tini menginginkan hak atas dirinya setara dengan kaum laki-laki, seperti dalam kutipan di atas. Ia menginginkan dirinya pergi keluar rumah, sama seperti perilaku Tono. Ia tidak ingin kehidupannya hanya berada di dalam rumah dan terus-menerus menjaga telepon yang tentunya hal tersebut bisa dilakukan oleh budak yang ada di rumah Tono. Selain meminta persamaan hak dengan laki-laki, Tini juga memiliki pemikiran yang maju. Hal tersebut tampak pada percakapan Tini dan Nyonya Rusdio sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Pemikiran Tini yang lebih maju pada masa itu diakui terang-terangan oleh Nyonya Rusdio. Tini menganggap bahwa pemikiran Nyonya Rusdio dengan dirinya sangat berlainan. Tanggapan Nyonya Rusdio terkait istri yang harus tunduk kepada suami ditanggapi Tini dengan pemikiran yang berbeda. Ia menganggap bahwa setiap perempuan tentunya memiliki keinginan dalam dirinya. Keinginan tersebut tidak boleh dihalangi oleh hal apapun. Sebagaimana disebutkan ketika laki-laki tidak sempat menemani, tentunya perempuan boleh menyenangkan dirinya sendiri.
Salah satu bukti lain di dalam novel Belenggu bahwa persamaan hak seorang perempuan dapat bergaul dengan kehidupan politik serta terjun di dalamnya (sama seperti laki-laki), yaitu dengan adanya Kongres Perempuan Seumumnya di Solo. Hal tersebut dilatarbelakangi dengan adanya peristiwa Kongres Perempuan Indonesia pada 22-25 Desember 1928. Tini merupakan seorang tokoh perempuan yang dipilih untuk ikut hadir dalam Kongres tersebut. Selain itu, ia juga memiliki hubungan baik dengan salah satu Nyonya di Kongres Perempuan Seumumnya yang dapat mengangkat dirinya untuk menjadi pemimpin rumah piatu perkumpulannya. Di akhir cerita, Tini juga menjadi tokoh yang mengambil keputusan untuk berpisah dengan Tono, lalu meninggalkannya pergi ke Surabaya. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
Selain Tini, tokoh perempuan lain yang turut hadir dengan pemikirannya yang modern, yaitu Yah. Yah merupakan seseorang di masa lalu Tono yang kembali datang ketika dirinya sudah menikah dengan Tini. Yah diceritakan sebagai wanita penghibur yang pindah dari satu kamar ke kamar lain bersamaan dengan namanya yang berubah-ubah. Dengan profesinya sebagai wanita penghibur, Yah bisa dikatakan sebagai wanita yang cukup berpengetahuan luas dan pandai dalam berkomunikasi. Hal tersebut tampak pada peristiwa Yah yang mampu menjawab segala ucapan yang dilontarkan oleh Tini tanpa adanya keributan yang besar, bahkan ia dan Tini terlihat akrab karena berhasil mengendalikan amarah Tini. seperti dalam kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh dalam novel Belenggu yang feminis dan memiliki pemikiran modern adalah Tini dan Yah. Keduanya diceritakan sebagai perempuan yang menganggap bahwa kendali terhadap dirinya ada di tangan masing-masing, bukan menuruti kemauan orang lain. Tokoh Yah dan Tini diceritakan sebagai wanita yang mandiri serta memiliki sikap untuk mengambil keputusan. Mereka menganggap bahwa hidup sebagai wanita ataupun pria merupakan tanggung jawab yang sama. Oleh sebab itu, hak diantaranya mesti sama pula.
ADVERTISEMENT
Objek Kajian
Pane, Armijn. Belenggu. Jakarta: PT. Dian Rakyat. 2010.
Daftar Pustaka
Ensiklopedia Sastra Indonesia Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Belenggu (1940) diakses pada 11 April 2022 pukul 05.13 WIB.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Modernisasi diakses pada 10 April 2022 pukul 22.46 WIB.
Suakaonline.com/Menilik Sejarah Gerakan Feminisme di Indonesia diakses pada 10 April 2022 pukul 22.38 WIB.
Suwastini, Ni Komang Arie. “Perkembangan Feminisme Barat dari Abad Kedelapan Belas Hingga Postfeminisme: Sebuah Tinjauan Teoritis”. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Undiksha Vol.02 No.01. April 2013.