Webinar Nasional, Makyun Subuki: Humor Dianggap Negatif

Elis Susilawati
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
24 Februari 2023 15:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elis Susilawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sukses menyelenggarakan Webinar Nasional dan Peluncuran Edisi Pertama Jurnal Bestari dengan tajuk “Stand Up Komedi dalam Bingkai Linguistik” pada Jum`at (10/2/2023).
ADVERTISEMENT
Webinar tersebut dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, yakni Mahasiswa, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mitra Bestari, dan peserta dari luar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Webinar ini juga dihadiri oleh Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Sururin, M.Ag., sebagai keynote speaker dalam rangka Peluncuran Edisi Pertama Jurnal Bestari.
“Kami menyambut baik. Selamat dan sukses kepada mahasiswa yang telah kreatif dan inovatif dalam membuat karya,” ucap Sururin.
Narasumber yang didatangkan adalah Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Kepala Prodi PBSI UIN Jakarta dan Pakar Linguistik Forensik, dan Neneng Nurjanah, M.Hum., selaku dosen PBSI UIN Jakarta dan Pegiat Linguistik.
Makyun Subuki menyatakan bahwa humor bukanlah hal yang baru. Humor dan tertawa umurnya setara dengan peradaban manusia, sejak Adam dan Hawa. Umumnya, tidak ada hal baru dari segi teknik antara zaman sekarang dan dulu, hanya penjelasannya saja yang berbeda.
ADVERTISEMENT
“Stand up bukanlah hal yang baru. Secara antropologi, kita bisa melihat dan mendengarkan stand up dengan cara yang berbeda, misal ceramah,” ungkapnya.
Kepala Program Studi PBSI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Pakar Linguistik Forensik tersebut dalam paparan materinya menjelaskan bahwa hanya manusia yang memiliki humor. Menurutnya, bahasa dan pikiran berhubungan dengan selera humor manusia.
“Memikirkan humor adalah lebih manusiawi lagi. Oleh sebab itu, yang memiliki humor hanya manusia, bukan semut, anjing, atau pohon.”
Sejak awal hingga saat ini, humor dianggap negatif. Hal ini disebabkan oleh munculnya humor-humor yang menyudutkan atau biasa disebut dengan dark humor atau roasting.
“Penyebabnya ada dua. Pertama, hanya membahas hal-hal tertentu dalam humor. Kedua, apa yang membatasi genre tersebut dianggap humor,” tegas Makyun.
ADVERTISEMENT
Melihat fenomena yang pernah atau sedang terjadi, sesuatu dianggap humor jika pendengar merespon pembicara dengan tawa. Pembicara hanya terpaku pada hal-hal yang membuat pendengar tertawa, tanpa memperluas pembicaraan. Hal ini dianggap berbahaya karena humor hanya dijadikan kegiatan “tertawa bersama”. Padahal, humor dapat muncul dalam topik yang luas dan tidak ada batasan tertentu. Seseorang tertawa karena adanya struktur pengetahuan yang disimpan dalam pikiran sehingga ketika melihat sesuatu yang dianggap lucu akan menyesuaikan dengan frame-nya.
Pernyataan Makyun Subuki mengenai humor yang dianggap negatif sejak dulu hingga sekarang didukung oleh Neneng Nurjanah.
“Humor tidak hanya sebatas tertawa karena jika terjadi, maka humor tersebut tidak filosofis,” ungkap Neneng.
Narasumber yang merupakan Dosen PBSI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Pegiat Linguistik tersebut juga memberikan contoh nyata bahwa humor tidak hanya berbatas pada suatu topik, misal membicarakan beberapa hal yang tidak dapat diungkapkan secara langsung.
ADVERTISEMENT
“Oleh karena itu, humor dapat mendatangkan tragedi dan humor menjadi tragedi pada masa Orde Baru,” jelasnya.