Konflik Pulau Rempang: Ketakutan Masyarakat Akan Keberlangsungan Hidup

Elsyi Fitriani
Postgraduate Student at UIN Suka Yogyakarta /suka eksplorasi cerita baru dan berbagi perspektif unik.
Konten dari Pengguna
27 September 2023 11:27 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elsyi Fitriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar: unsplash.com/Hartantokosasih
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar: unsplash.com/Hartantokosasih
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pulau Rempang adalah sebuah permata tersembunyi di Kepulauan Riau, yang telah menjadi saksi sejarah panjang masyarakat etnis Melayu. Kehidupan di Pulau Rempang, Galang dan sekitarnya sudah ada sejak zaman kesultanan Melaka, sebuah Kerajaan Melayu yang berpesat di Malaka. Hal tersebut di ungkapkan oleh Dedi Arman, seorang peneliti Sejarah Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
ADVERTISEMENT
Etnis Melayu di Pulau Rempang memiliki budaya yang kaya, tradisi yang unik, dan hubungan erat dengan tanah mereka. Masyarakat kepulauan Rempang memiliki kedekatan dengan alam sekitar. Mata Pencaharian Masyarakat kepulauan Rempang sebagai nelayan membuat warga sekitar paham di mana tempat udang, tempat gonggong, dan tempat berkumpulnya ikan-ikan di laut saat melaut.
Pulau Rempang menyimpan banyak warisan budaya, peninggalan nenek moyang, kuburan-kuburan nenek moyang, dan kampung-kampung yang berdiri sejak 1834 (BBC News Indonesia)
Peta Pulau Rempang (Sumber gambar: https://maps.app.goo.gl/8xeUU5e4iCzA4Wep8)
Namun sejak muncul Pembangunan Rempang Eco City dimulai muncul lah konflik pada pulau Rempang menjadi saksi bisu dalam kehidupan Masyarakat Melayu. Keberlanjutan proyek Kawasan Rempang Eco City yang bertujuan menjadikan Pulau Rempang sebagai pusat ekonomi modern ini menimbulkan konflik terhadap Masyarakat Melayu setempat.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Melayu yang merupakan penduduk asli dari Kepulauan Rempang diminta untuk pindah dari tanah tempat tinggal mereka. Konflik antara masyarakat pulau Rempang memuncak saat aparat gabungan memaksa mengukur tanah yang di atasnya akan di bangun Proyek Strategis Nasional yaitu Rempang Eco City.
Menurut data dari Kompas.id proyek Rempang Eco City akan memakan lahan pulau Rempang seluas 16.500 hektar. Pembangunan Proyek Strategis Nasional ini sangat berdampak pada keberlangsungan kehidupan masyarakat di Rempang, sebanyak 7.500 masyarakat melayu Rempang yang merupakan penghuni 16 kampung adat Melayu Tua akan di pindah paksa dari tanah tempat tinggal mereka.
Eksodus masyarakat Melayu dari Pulau Rempang memiliki dampak yang signifikan pada kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Banyak dari mereka yang kehilangan mata pencaharian tradisional karena lahan pertanian mereka yang digusur.
Ilustrasi Pulau Rempang. Foto: pradeep_kmpk14/Shutterstock
Pergeseran populasi juga telah mengancam keragaman budaya dan kesejahteraan sosial komuditas tersebut. Kekhawatiran masyarakat adat Melayu Rempang pada keberlangsungan hidup mereka ke depannya membuat mereka bersikeras untuk mempertahankan tempat tinggal mereka.
ADVERTISEMENT
Penyesuaian tempat tinggal, mata pencaharian, lingkungan, dan pendidikan anak-anak mereka ke depannya menjadi kekhawatiran yang sangat dipikirkan oleh masyarakat Melayu Rempang terutama kepala keluarga jika mereka benar-benar pindah di tanah tempat tinggal mereka.
Apalagi saat ini, lahan relokasi yang disiapkan oleh pemerintah belum siap dihuni dan pembangunan tahap pertama ditargetkan baru akan selesai pada Agustus 2024. Pada konferensi pers di Batam, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mengatakan pemerintah menjanjikan warga Melayu Rempang satu unit rumah tipe 45 atau senilai Rp120 juta, yang nantinya akan di lengkapi juga pembangunan rumah bernuansa melayu, fasilitas pendidikan, rumah ibadah, lapangan bola, dermaga dan peningkatan infrastruktur jalan (BBC News Indonesia).
Masyarakat Melayu Pulau Rempang saat ini sedang mempertahankan hak-hak dan warisan budaya mereka. Berbagai hal yang telah dilakukan seperti protes damai dengan harapan untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan perlindungan terhadap hak-hak mereka yang tersisa.
ADVERTISEMENT
Juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rumpang, Suardi dalam (BBC News Indonesia) mengatakan, “Ia akan mempertahankan Marwah” kampung-kampung mereka terlepas apa pun yang dilakukan oleh pemerintah. Banyak masyarakat Melayu Rempang yang menitipkan perjuangan untuk mempertahankan tanah nenek Moyang mereka pada Suardi.
Dari Kasus Rempang Eco City di Pulau Rempang adalah peringatan tentang pentingnya mempertimbangkan dampak soial, budaya, dan ekonomi dari proyek Pembangunan besar. Pemerintah juga harus melindungi hak-hak Masyarakat adat dan budaya dalam upaya Pembangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan juga harus seimbang dengan perlindungan hak-hak manusia, warisan budaya, dan berkelanjutan lingkungan. Trauma yang dialami masyarakat pasti akan terus membekas sampai kapanpun sehingga Pemerintah juga wajib mengembalikan hak rasa aman dan kesejahteraan bagi masyarakat Rempang, sehingga masyarakat Rempang tidak merasa khawatir tentang masa depan keluarga mereka terkhusus keberlangsungan hidup mereka ke depannya.
ADVERTISEMENT
Nilai budaya Melayu pada tanah Pulau Rempang harus tetap dipertahankan bagaimanapun caranya, karena nilai kultur dan budaya ini juga merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki Indonesia.