Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Data Wall: Tantangan Baru dalam Era GenAI dan Distilasi AI
8 Maret 2025 18:19 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Emanuel R Handoyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hadapi Kompleksitas dan Peluang dalam Distilasi AI

ADVERTISEMENT
Di tengah euforia perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang semakin pesat, kita dihadapkan pada paradoks yang menggelisahkan: semakin AI menjanjikan demokratisasi teknologi, semakin nyata pula ancaman pembentukan oligopoli data yang saya sebut sebagai "data wall"—tembok pembatas yang memisahkan mereka yang memiliki akses terhadap data berkualitas dan mereka yang tidak. Fenomena ini menjadi semakin relevan dengan munculnya tren distilasi AI yang dipopulerkan oleh perusahaan seperti Deepseek. Di satu sisi, distilasi AI menawarkan jalan untuk menciptakan model kecerdasan buatan yang lebih efisien dan terjangkau. Di sisi lain, proses distilasi itu sendiri membutuhkan akses terhadap dataset berkualitas tinggi yang semakin terkontrol oleh segelintir pemain dominan. Sebagai akademisi yang memperhatikan transformasi digital dan dampak sosialnya, saya melihat data wall sebagai tantangan fundamental yang perlu diatasi jika kita ingin benar-benar merealisasikan potensi demokratisasi dari teknologi AI generatif (GenAI).
ADVERTISEMENT
Anatomi Data Wall
Data wall bukanlah konstruksi tunggal, melainkan lapisan-lapisan pembatas yang terbentuk dari berbagai faktor. Pertama, kita menyaksikan konsentrasi kepemilikan data dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tech giants seperti Google, Meta, dan Microsoft menguasai volume data pengguna yang masif. Di China, ekosistem serupa terbentuk di sekitar Baidu, Alibaba, dan Tencent. Konsentrasi ini menciptakan monopoli de facto atas salah satu bahan baku paling berharga untuk pengembangan AI: data perilaku manusia dalam jumlah besar. Ketimpangan ini tidak hanya menciptakan keunggulan kompetitif tidak seimbang, tetapi juga menghambat inovasi dari pemain baru atau independen.
Kedua, tren terbaru menunjukkan pergeseran signifikan dalam kebijakan lisensi data. Platform media sosial, penerbit berita, dan penyedia konten lainnya semakin memperketat syarat penggunaan data mereka, dengan klausul khusus yang melarang penggunaan untuk pelatihan AI. Ini menciptakan "legal wall" yang melengkapi data wall teknis. Sebagai contoh, sejumlah penerbit besar telah mengajukan gugatan terhadap perusahaan AI atas penggunaan konten mereka untuk melatih model bahasa besar tanpa kompensasi yang memadai. Respons terhadap litigasi ini adalah pengetatan kebijakan penggunaan data, yang semakin membatasi akses bagi pengembang AI di luar perusahaan dominan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, negara-negara berkembang seperti Indonesia menghadapi tantangan tambahan berupa kesenjangan infrastruktur data. Keterbatasan dalam pengumpulan, penyimpanan, dan pengolahan data berkualitas tinggi menciptakan data wall geografis yang semakin memperlebar kesenjangan digital global. Menurut pengamatan saya, Indonesia masih tertinggal dalam hal ketersediaan dan kualitas data publik terstruktur. Sebagian besar dataset publik yang tersedia belum memenuhi standar kualitas minimal untuk digunakan dalam pengembangan AI yang bermakna dan berkelanjutan.
GenAI dan Persinggungan dengan Data Wall
Generative AI (GenAI) dan teknologi distilasi AI memiliki hubungan kompleks dengan fenomena data wall. Di satu sisi, kedua pendekatan ini dirancang untuk mengurangi ketergantungan pada data mentah dalam jumlah masif. Di sisi lain, kualitas output dari model GenAI hasil distilasi tetap sangat bergantung pada kualitas data yang digunakan dalam proses distilasi itu sendiri. Persinggungan ini menciptakan dilema: model GenAI hasil distilasi memiliki performa sebaik data yang digunakan untuk melatih model guru (teacher model) dan proses distilasi itu sendiri. Jika data tersebut bias, tidak lengkap, atau tidak representatif, model hasil distilasi akan mewarisi—bahkan potensial memperkuat—limitasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Perusahaan yang menguasai data berkualitas tinggi dan infrastruktur untuk melatih model guru memiliki keunggulan signifikan dalam mengembangkan model distilasi berkualitas. Ini menciptakan risiko penguncian ekosistem (ecosystem lock-in) di mana inovasi AI terkonsentrasi pada segelintir pemain dominan. Situasi ini semakin diperburuk jika data yang digunakan untuk distilasi mencerminkan bias sosial yang ada, sehingga model GenAI hasil distilasi berpotensi tidak hanya mereproduksi, tetapi memperkuat bias tersebut melalui mekanisme penguatan positif dalam algoritma pembelajaran.
Saya mengamati fenomena ini dalam konteks pengembangan model bahasa untuk bahasa Indonesia. Model-model GenAI multilingual yang dilatih dengan data yang didominasi oleh teks berbahasa Inggris menunjukkan performa yang jauh lebih rendah dalam memahami dan menghasilkan teks bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ketika model-model ini menjadi model guru dalam proses distilasi, keterbatasan ini ditransfer dan terkadang diperkuat dalam model hasil distilasi, terutama ketika data distilasi juga tidak merepresentasikan keragaman linguistik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Implikasi untuk Indonesia dan Negara Berkembang
Tantangan data wall memiliki implikasi khusus untuk Indonesia dan negara berkembang lainnya. Tanpa akses terhadap data berkualitas untuk mengembangkan model AI independen, negara-negara berkembang berisiko terjebak dalam ketergantungan teknologi permanen. Ini tidak hanya memiliki implikasi ekonomi, tetapi juga geopolitik ketika AI semakin menjadi penentu daya saing nasional. Dalam konteks Indonesia, ketergantungan ini sangat problematik mengingat kebutuhan kita akan solusi AI yang dirancang khusus untuk konteks lokal—mulai dari pemrosesan bahasa-bahasa Nusantara hingga sistem pendukung keputusan yang mempertimbangkan kompleksitas sosial-budaya khas Indonesia.
Data wall juga berpotensi menciptakan bentuk baru kolonialisme digital, di mana negara-negara berkembang menjadi sumber data mentah namun terputus dari rantai nilai dalam pengembangan dan monetisasi teknologi AI. Pola ekstraktif ini mengancam kedaulatan digital dan berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi global. Berdasarkan pengamatan dan diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan di industri digital, saya melihat bahwa Indonesia hanya menikmati sebagian kecil dari nilai ekonomi yang dihasilkan dari data digitalnya. Kita menghasilkan data dalam jumlah besar sebagai pengguna aktif platform digital, namun nilai tambah dan keuntungan dari pengolahan data tersebut sebagian besar mengalir ke luar negeri. Sebagian besar nilai ditangkap oleh perusahaan teknologi multinasional yang memiliki kapabilitas untuk mengolah dan memanfaatkan data tersebut. Kesenjangan ini mencerminkan dinamika kolonial dalam ekonomi data yang perlu diwaspadai ketika kita bergerak lebih jauh ke era GenAI dan distilasi AI.
ADVERTISEMENT
Tanpa akses terhadap data dan model yang relevan secara kontekstual, aplikasi AI di Indonesia cenderung bersifat generik dan kurang responsif terhadap kebutuhan spesifik lokal. Ini menciptakan kesenjangan efektivitas yang signifikan, terutama di sektor-sektor kritis seperti kesehatan, pendidikan, dan pertanian. Sebagai contoh, model bahasa generatif yang dilatih terutama dengan data Barat sering gagal menangkap nuansa bahasa Indonesia, apalagi ratusan bahasa daerah yang ada. Tanpa data linguistik yang representatif, teknologi AI bahasa tetap jauh dari optimal untuk konteks Indonesia, yang pada gilirannya membatasi dampak positif potensial dari teknologi tersebut.
Strategi Mengatasi Data Wall
Menghadapi tantangan data wall membutuhkan respons strategis dan kolaboratif. Indonesia perlu mengembangkan kebijakan data nasional yang menyeimbangkan kepentingan inovasi, privasi, dan kedaulatan digital. Ini mencakup pengembangan regulasi yang mewajibkan keterbukaan data non-sensitif untuk kepentingan riset dan pengembangan AI, insentif fiskal bagi perusahaan yang membagikan data mereka untuk kepentingan publik, serta pengembangan infrastruktur data nasional yang terintegrasi dengan standar kualitas internasional.
ADVERTISEMENT
Model kolaborasi data yang melibatkan pemerintah, swasta, akademisi, dan komunitas perlu dikembangkan. Data trust, data commons, dan federasi data adalah beberapa pendekatan yang menjanjikan untuk mendemokratisasi akses data berkualitas tanpa mengompromikan privasi atau kepentingan komersial. Sebagai contoh konkret, diperlukan inisiatif kolaboratif yang mengintegrasikan dataset dari berbagai kementerian, BUMN, dan swasta untuk menjadi katalisator mengatasi data wall di tingkat nasional.
Kualitas data sering kali lebih penting daripada kuantitas, terutama dalam konteks distilasi AI. Indonesia perlu berinvestasi dalam pengembangan ekosistem kurasi data lokal—meliputi pendidikan, infrastruktur, dan insentif bagi tenaga ahli yang memahami konteks lokal dan dapat mengumpulkan, membersihkan, dan menstrukturkan dataset berkualitas tinggi yang merepresentasikan keragaman sosial-budaya Indonesia untuk pengembangan AI. Program-program pengembangan kapasitas talenta digital lokal perlu diperluas dengan fokus khusus pada kurasi data untuk AI yang etis dan kontekstual, yang memahami keunikan dan kompleksitas konteks Indonesia.
ADVERTISEMENT
Indonesia juga perlu aktif dalam dialog internasional tentang tata kelola data dan AI, memperjuangkan kepentingan negara berkembang dalam pembentukan norma dan standar global. Ini mencakup advokasi untuk redistribusi manfaat dari ekonomi data global secara lebih adil. Melalui forum seperti G20, ASEAN, dan PBB, Indonesia dapat mempromosikan konsep "data justice" yang mengakui kontribusi semua pihak dalam ekosistem data global.
Refleksi Kritis: Melampaui Solutionisme Teknologi
Sambil mengusulkan strategi-strategi di atas, penting bagi kita untuk melakukan refleksi kritis terhadap kecenderungan solutionisme teknologi—keyakinan bahwa setiap masalah sosial dapat diselesaikan dengan solusi teknologi. Data wall bukanlah semata-mata tantangan teknis, melainkan manifestasi dari ketimpangan struktural dalam kekuasaan ekonomi dan politik global. Sebagai akademisi yang menaruh perhatian pada etika teknologi, saya berargumen bahwa menghadapi data wall membutuhkan pendekatan yang mengintegrasikan perspektif teknis dengan analisis kritis terhadap struktur kekuasaan yang melanggengkan kesenjangan digital. Ini mencakup pertanyaan fundamental tentang siapa yang memiliki, mengontrol, dan mendapat manfaat dari data dalam ekonomi digital global.
ADVERTISEMENT
Data wall merepresentasikan tantangan kompleks dan multidimensi yang membutuhkan respons holistik. Sebagai negara dengan aspirasi digital yang besar, Indonesia perlu menyikapi tantangan ini bukan hanya sebagai hambatan teknis, melainkan sebagai kesempatan untuk menegaskan visi kedaulatan digital yang inklusif dan berkelanjutan. GenAI dan teknologi distilasi AI memiliki potensi demokratisasi yang signifikan, tetapi potensi ini hanya dapat direalisasikan jika kita secara proaktif mengatasi tantangan data wall. Ini membutuhkan kombinasi kebijakan yang berdaulat, kolaborasi multipihak, pengembangan kapasitas lokal, dan diplomasi internasional yang efektif.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang bagaimana kita mengatasi data wall bukan hanya tentang bagaimana kita mengakses dan menggunakan data, tetapi tentang visi masyarakat seperti apa yang ingin kita bangun di era digital. Apakah kita akan membiarkan data wall memperkuat ketimpangan yang ada, atau kita akan memanfaatkan momentum transformasi digital untuk menciptakan ekosistem data yang lebih adil, inklusif, dan memberdayakan? Pilihan kita hari ini akan menentukan lanskap digital Indonesia untuk generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
*Artikel ini ditulis berdasarkan pengamatan terhadap fenomena data wall dalam konteks perkembangan GenAI dan teknologi distilasi AI.*