Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Di Perbatasan: Ketimpangan adalah Potensi
8 September 2024 8:54 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Emris Yeverson Kaja Jade tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah gemerlapnya kemajuan zaman, masih ada ruang yang tertinggal dalam bayang-bayang zaman. Ruang itu kerap kali disapa perbatasan. Istilah perbatasan memang seringkali didengar sebagai tempat pemisah dua negara, namun jauh tentang itu, perbatasan sejatinya adalah ruang yang menyimpan banyak paradoks. Disaat tempat-tempat lain berburu modernitas, perbatasan tetap mempertahankan jati dirinya, Ketimpangan!
ADVERTISEMENT
Di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, ketimpangan bukan sekedar permasalahan statistik, melainkan ciri khas yang sudah menjadi darah daging. Teknologi yang telah menjadi bagian esensial dari kehidupan sehari-hari di daerah lain, masih dianggap sebagai kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Selain itu, keterbatasan sumber daya dan fasilitas dasar seperti air bersih, listrik dan jaringan merupakan salah satu pekerjaan rumah yang belum terselesaikan sampai sekarang. Air bersih, listrik dan jaringan sering kali menjadi komoditas langka yang lebih sulit didapat ketimbang dollar Timor Leste.
Dibalik ketimpangan akan teknologi, sumber daya dan fasilitas dasar, jika ditelisik lebih dalam lagi, masih ada potensi yang dimiliki perbatasan, yakni budaya dan kearifan lokal. Nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang telah lama hidup di perbatasan memang seakan menjadi pelita di tengah gelapnya ketimpangan. Salah satu pilar budaya yang paling khas dan masih sangat kuat di masyarakat perbatasan adalah adat istiadat. Adat istiadat yang identik dengan prinsip gotong royong dan kebersamaan merupakan menjadi fondasi yang membantu masyarakat perbatasan bertahan menghadapi berbagai ketimpangan. Penjelmaan akan prinsip gotong royong dan kebersamaan seringkali ditemui dalam berbagai kegiatan sehari-hari, mulai dari membangun rumah, membersihkan lingkungan, hingga mempersiapkan upacara adat.
ADVERTISEMENT
Disamping itu, adat juga berfungsi sebagai pengontrol sosial yang kuat bagi masyarakat perbatasan. Di daerah perbatasan, dimana hukum negara kadang sulit dijangkau dan kurang efektif, adat seakan menjadi hukum yang mengatur segala hal, mulai dari hubungan sosial hingga penyelesaian konflik. Kepercayaan bahwa melanggar adat akan mendatangkan kematian atau malapetaka, memiliki efek psikologis yang mendalam bagi masyarakat perbatasan. Ketakutan ini memang tampak irasional bagi sebagian orang, namun hal tersebut memainkan peran penting dalam memastikan ketaatan masyarakat terhadap aturan-aturan adat. Ketakutan ini tidak hanya karena ancaman fisik, tetapi juga karena konsekuensi spiritual yang dianggap jauh lebih mengerikan. Bagi mereka yang melanggar adat mungkin tidak hanya akan menderita di dunia ini, tetapi juga di kehidupan setelah mati.
ADVERTISEMENT
Namun, budaya yang menjadi perekat kehidupan di perbatasan juga membawa tantangan tersendiri. Banyak adat dan kebiasaan yang jika ditimang terasa memberatkan bagi masyarakat. Misalnya, dalam setiap ritus, dari kelahiran hingga kematian, masyarakat perbatasan harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mengadakan pesta, membeli persembahan, atau memberikan sumbangan kepada tetua adat. Biaya ini bisa mencapai jumlah yang besar dan tak jarang melampaui kemampuan mereka. Banyak yang merasa tercekik oleh adat yang tidak hanya menuntut ketaatan, tetapi juga keberanian dalam menghadapi beban ekonomi yang tak ringan.
Disisi lain, dibalik potensi yang lahir dari ketimpangan, pemerintah seyogyanya bisa memanfaatkan kekuatan budaya ini sebagai cara membawa peradaban bagi masyarakat perbatasan. Jika kebiasaan dan tradisi lokal dapat diintegrasikan dengan kebijakan pemerintah, maka masyarakat perbatasan dapat didorong menuju kemajuan tanpa kehilangan identitas mereka. Hal ini seperti program Desa Binaan Imigrasi yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Program ini hadir untuk mengatasi berbagai masalah keimigrasian di wilayah perbatasan, seperti pelintas batas ilegal dan pekerja migran ilegal (PMI) non prosedural. Program ini melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh di perbatasan, termasuk tua-tua adat, perangkat desa, dan pemuka-pemuka agama. Hal ini seolah menjadi contoh, dimana pemerintah memanfaatkan nilai budaya dan kearifan lokal dengan melibatkan tokoh-tokoh dalam masyarakat sebagai pengatur bagi masyarakat perbatasan itu sendiri. Dalam program ini, masyarakat diatur oleh aturan-aturan adat yang sejalan dengan aturan negara, dengan tokoh-tokoh adat yang merupakan representasi dari masyarakat itu sendiri sebagai penegak hukum. Hal ini juga sekaligus menunjukkan kehadiran pemerintah dalam menjawab persoalan seperti pelintas ilegal dan PMI nonprosedural.
ADVERTISEMENT
Pelintas ilegal memang menjadi masalah yang paling sering terjadi di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Fenomena ini disebabkan oleh karakteristik sosio-kultural yang khas, seperti kekerabatan genealogis dan etnisitas. Hal ini kemudian menyebabkan pengaturan terhadap pergerakan orang di wilayah perbatasan sulit dilakukan dengan cara-cara yang kaku dan formalistik. Selain itu, persoalan PMI nonprosedural juga menjadi penyakit sosial bagi Nusa Tenggara Timur. Data mencatat bahwa pada tahun 2022, ada 106 orang, dan di tahun 2023 ada 151 orang PMI Nusa Tenggara Timur yang pulang ke Indonesia dalam keadaan tak bernyawa (BP3MI, 2024).
Situasi ini menegaskan pentingnya peran pemerintah untuk menciptakan program-program pemberdayaan dengan memanfaatkan budaya dan identitas masyarakat perbatasan sebagai akar kebijakan. Pengingkaran terhadap hal tersebut justru membuat masyarakat perbatasan tak pernah terlepas dari situasi yang tak menguntukan, eksploitasi budaya untuk hal-hal yang membebankan ekonomi merupakan contoh nyata sisi negatif apabila tak pernah memanfaakan budaya sebagai solusi. Oleh sebab itu, kehadiran program-program pemerintah yang memanfaatkan budaya masyarakat perbatasan, adalah solusi untuk pemerintah dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat perbatasan yang masih tertinggal dari lajunya perkembangan peradaban.
ADVERTISEMENT
Emris Yeverson Kaja Jade, Pemeriksa Keimigrasian di Perbatasan Indonesia-Timor Leste.