Konten dari Pengguna

"Miras", Buah Tangan dari Perbatasan

Emris Yeverson Kaja Jade
Pemeriksa Keimigrasian di Direktorat Jenderal Imigrasi
6 Oktober 2024 13:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Emris Yeverson Kaja Jade tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Ilustrasi Miras (Kumparan/PandanganJogja)
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Ilustrasi Miras (Kumparan/PandanganJogja)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika berbicara tentang perjalanan ke Timor Leste melalui perbatasan, satu hal yang sering muncul dalam pembicaraan adalah “miras” atau minuman keras. Minuman beralkohol telah menjadi salah satu buah tangan paling umum dibawa oleh para pelintas seusai berkunjung dari Timor Leste. Miras di wilayah perbatasan telah menjadi ikon tersendiri, tidak hanya sebagai oleh-oleh tetapi juga sebagai simbol budaya, ekonomi, serta permasalahan di kawasan perbatasan.
ADVERTISEMENT
Miras Dan Budaya Di Perbatasan
Kebiasaan membawa pulang miras menjadi hal yang lumrah dan sering dilakukan oleh pelintas yang pulang dari Timor Leste. Hal ini disebabkan oleh kemudahan akses serta keterjangkauan harga miras di Timor Leste. Di sana, “Duty Free” menjadi salah satu pusat perbelanjaan oleh-oleh yang sangat diminati, khususnya untuk produk minuman beralkohol. Di tempat ini, berbagai macam minuman keras dengan merk terkenal seperti Smirnoff Vodka, Jack Daniel's, Johnnie Walker Red Label, Gordon's, hingga Captain Morgan tersedia dengan harga yang relatif terjangkau. Duty Free memang dikenal sebagai tempat di mana pembeli bisa mendapatkan produk minuman beralkohol dengan harga lebih murah, hal ini tak lain karena kebijakan bebas pajak yang diberlakukan Timor Leste.
ADVERTISEMENT
Meski miras menjadi oleh-oleh favorit, terdapat regulasi yang mengatur pembawaan miras ke Indonesia. Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 188/2010, setiap pelintas yang kembali ke Indonesia bisa membawa masuk minuman beralkohol maksimum 1 liter per orang tanpa dikenakan bea cukai tambahan. Namun, regulasi ini sedikit berbeda dari Peraturan Menteri Perdagangan No. 20/2021 yang memungkinkan pelaku perjalanan internasional membawa minuman beralkohol hingga 2,25 liter per orang. Meskipun berbeda, aturan-aturang tersebut tentu untuk menjaga keseimbangan antara kebijakan perdagangan bebas dan kontrol ketat terhadap konsumsi alkohol di wilayah Indonesia.
Disisi lain, miras memang tidak hanya menjadi oleh-oleh populer, tetapi juga bagian dari budaya masyarakat perbatasan. Di wilayah perbatasan, konsumsi minuman keras, baik miras impor maupun miras lokal, seperti "Sopi" atau "Moke," sudah lama menjadi bagian dari tradisi masyarakat. Miras sering dihadirkan dalam berbagai upacara adat, seperti perkawinan, kematian, maupun upacara-upacara lainnya.
ADVERTISEMENT
Di beberapa daerah, miras bahkan dianggap sebagai perekat hubungan sosial dalam komunitas. Minum bersama dianggap sebagai momen penting untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan kebersamaan. Tradisi ini kuat mengakar di masyarakat perbatasan, baik di Indonesia maupun Timor Leste. Namun, meski memiliki fungsi sosial yang positif, konsumsi miras juga memiliki dampak negatif yang tidak bisa diabaikan.
Melihat Miras Sebagai Potensi
Konsumsi miras di kawasan perbatasan tidak hanya memiliki dampak sosial namun juga memiliki potensi ekonomi yang signifikan. Banyak masyarakat perbatasan yang terlibat dalam produksi dan penjualan miras lokal, seperti Sopi atau Moke. Bagi mereka, produksi miras lokal menjadi salah satu sumber penghasilan yang mampu menopang ekonomi keluarga. Ada banyak kisah sukses di mana hasil penjualan miras lokal mampu membiayai kebutuhan pokok dan pendidikan anak-anak yang terlampaui mahal. Miras memang seolah menjadi bagian penting dari perekonomian masyarakat perbatasan yang seringkali terbatas oleh akses pasar dan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Namun, potensi ekonomi ini juga harus diimbangi dengan perhatian serius terhadap dampak sosial yang ditimbulkan oleh konsumsi miras. Masyarakat perbatasan sering kali terjebak dalam lingkaran konsumsi yang berlebihan, yang pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah sosial, mulai dari tindak kriminal, kekerasan, hingga gangguan kesehatan. Tidak jarang terjadi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, perkelahian, hingga tindak kriminal lainnya yang dipicu oleh konsumsi alkohol berlebih.
Terlepas hal tersebut, sejatinya dengan pengelolaan yang tepat ditambah keterlibatan aktif pemerintah, potensi positif dari miras, terutama miras lokal, dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mengembangkan produk alternatif dari miras, seperti pemanfaatan miras menjadi bahan dasar untuk produk kesehatan, contohnya hand sanitizer atau alkohol pembersih luka. Hal ini juga menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif akibat konsumsi miras, sekaligus memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat perbatasan.
ADVERTISEMENT