Konten dari Pengguna

Rekrutmen CASN 2024: Sudah Siapkah Mengabdi di Perbatasan?

Emris Yeverson Kaja Jade
Pemeriksa Keimigrasian di Direktorat Jenderal Imigrasi
6 September 2024 16:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Emris Yeverson Kaja Jade tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Pemeriksa Keimigrasian, ASN Ditjen Imigrasi yang bertugas di Builalu, Perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Sumber: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Pemeriksa Keimigrasian, ASN Ditjen Imigrasi yang bertugas di Builalu, Perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Sumber: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rekrutmen Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) tahun 2024 membuka peluang bagi para pencari kerja untuk bergabung dan berkontribusi dalam pelayanan publik. Dalam proses rekrutmen, tak jarang banyak pencari kerja yang lebih memilih menjadi ASN di instansi pusat ketimbang instansi daerah tempat mereka berada.
ADVERTISEMENT
Hal ini tak lain karena pertimbangan finansial yang lebih menjanjikan atau pertimbangan lain yang lebih menguntungkan. Kesediaan untuk mengabdi di seluruh wilayah Indonesia termasuk perbatasan, merupakan konsekuensi logis apabila memilih instansi pusat sebagai tempat pengabdian. Namun, dalam ingar-bingar para pencari kerja mengikuti seleksi rekrutmen CASN 2024, ada satu pertanyaan mendasar yang seringkali terlupakan:
Berada di garis depan negeri, seringkali membuat pengabdian ASN di perbatasan memiliki keunikan tersendiri. Bagi ASN yang bertugas di perbatasan, menjadi ASN bukanlah sekadar pilihan pekerjaan, melainkan panggilan jiwa untuk mengabdi. Bagi sebagian orang, bayangan tentang bekerja sebagai ASN mungkin masih berkisar pada ruang kantor yang dingin, fasilitas lengkap atau kesempatan luas untuk berkarier. Namun, hal tersebut tak selamanya berlaku di perbatasan Indonesia dan Timor Leste.
Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Foto: Shutter Stock
Pengabdian Tanpa Batas
ADVERTISEMENT
Mengabdi di perbatasan bukanlah hal yang mudah. Bagi banyak orang yang terbiasa dengan fasilitas perkotaan, realitas kehidupan di daerah perbatasan bisa menjadi sesuatu yang sulit dibayangkan. Permasalahan seringkali menjadi makanan pokok ketika bertugas di perbatasan salah satunya adalah minimnya akses terhadap sumber daya dan sarana prasarana dasar.
Di beberapa lokasi, seperti halnya di Turiskain Kabupaten Belu, akses terhadap air bersih masih terbilang sangat terbatas. Bahkan untuk kebutuhan mandi dan minum, para ASN seperti petugas imigrasi dan bea cukai harus menimba air dari sumur. Kegiatan tersebut mungkin terdengar sederhana, namun hal ini menjadi ritual harian yang menuntut tenaga ekstra, terlebih ketika sumber air berada jauh dari tempat tinggal atau kantor tempat bertugas.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan lain yang harus dihadapi adalah akses listrik dan jaringan telekomunikasi. Di banyak titik perbatasan, listrik tak tersedia sepanjang hari. Bahkan, di beberapa tempat seperti Builalu Kabupaten Belu, jaringan telekomunikasi sering kali hilang dan baru bisa didapatkan setelah berjalan beberapa kilometer. Hal ini terkadang membuat ASN terisolir dari kabar rindu keluarga mereka di rumah.
Sejumlah truk ekspor melintasi perbatasan Indonesia di Pos Lintas Batas Negara Terpadu (PLBNT) Mota Ain, Desa Silawan, Kabupaten Belu NTT, Senin (23/5/2022). Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Tak berhenti di situ, keterbatasan mencari hiburan juga menjadi kendala yang sering di alami ASN di perbatasan. Bahkan, sekadar mencari hiburan seperti halnya menonton film di bioskop dibutuhkan enam jam perjalanan. Hal ini karena tak ada mal di Atambua (kota yang berbatasan dengan Timor Leste), satu-satunya kota terdekat yang memiliki mal adalah Kota Kupang, yang jaraknya 300 Km dari Atambua.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, tak ada tambahan insentif bagi ASN yang bertugas di perbatasan. Lebih parahnya, untuk mereka yang berasal dari pulau Jawa, Sumatera atau Sulawesi, biaya perjalanan kembali ke kampung halaman bisa memakan biaya yang setara dengan dua bulan gaji. Bagi ASN yang membawa keluarga, biaya tersebut bisa membengkak hingga empat bulan gaji. Situasi ini seakan menggambarkan paradoksnya keadaan, jika niat utama menjadi ASN hanya ingin mengejar ekonomi atau finansial yang terjamin.
Bagi mereka yang ingin mengabdi di perbatasan, mengabdi bukanlah tentang apa yang didapatkan, tetapi tentang apa yang diberikan. Bukan tentang berapa besar gaji atau tunjangan, tetapi tentang seberapa besar keikhlasan untuk melayani.
Pantai Cantik di Indonesia Foto: Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata
Keindahan yang Tak Ternilai
Di balik segala tantangan yang ada, wilayah perbatasan menyimpan banyak keindahan yang menghibur jiwa. Banyak destinasi wisata yang menarik dan belum terjamah di daerah perbatasan. Pantai-pantai yang masih alami, perbukitan yang hijau, dan pemandangan alam yang mempesona seolah menjadi hadiah bagi mereka yang menikmati pengabdian.
ADVERTISEMENT
Keindahan ini bukan sekadar pemandangan alam. Ada keindahan lain yang tak ternilai, yakni keramahan masyarakat lokal. Di perbatasan, masyarakat sangat menghargai orang-orang yang bersedia mengabdi melayani mereka. Sering kali, masyarakat perbatasan menjadikan ASN sebagai bagian dari keluarga besar mereka. Di sebagian acara-acara adat atau pesta perkawinan, tak jarang ASN ditempatkan sebagai tua-tua adat yang sangat dihormati. Semangat kekeluargaan ini seolah menjadi refleksi moral, di mana ASN yang bertugas di perbatasan tidak hanya berperan sebagai pelayan publik, tetapi juga menjadi bagian dari komunitas yang lebih luas.
Sebagai penutup, menjadi ASN di daerah perbatasan adalah sebuah pengabdian yang sesungguhnya. Bukan sekadar tentang menjalankan pekerjaan administratif, tetapi tentang melayani masyarakat dengan sepenuh hati. Rekrutmen CASN 2024 merupakan pintu bagi mereka yang siap mengabdi tanpa hiasan dan niat apa pun selain melayani.
ADVERTISEMENT