Madinah Masa Nabi Muhammad adalah Negera yang Merdeka

Ahmad Natsir
Staf pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Member Waskita Jawi, Institut Kajian Agama dan Sosial Ponorogo, Alumni Pondok Modern Al-Islam Nganjuk, UIN Surabaya dan IAI Lirboyo.
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2021 12:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Natsir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Madinah (Foto: Wikimedia commons)
zoom-in-whitePerbesar
Madinah (Foto: Wikimedia commons)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Kita tidak mempunyai konsep negara selain berupa cocoklogi semata."
Kata senior saya, tegas. Saya sejatinya sangat ingin menjawabnya saat itu. Hati merasa bergemuruh ingin segera melakukan diskusi mendalam dan mendudukkan permasalahan ini pada pondasi yang tepat. Tapi waktu dan suasana saat itu sangat tidak mendukung untuk mengajukan sebuah argumen. Akhirnya saya hanya diam dan melakukan 'pembelaan' dalam tulisan ini saja.
ADVERTISEMENT
Mengingat, saat ini menjelang hari kemerdekaan. Hari di mana kita memperingati dibacakannya teks proklamasi oleh Soekarno. Saya menjadi ingat saat mempresentasikan sebuah perjanjian Nabi Muhammad yang mempersatukan Muhajirin dan Anshar. Piagam Madinah.
Saat itu, saya membacakan terlebih dahulu kemudian disusul dengan teriakan mahasiswa. Seisi gedung menggema dengan lantunan bacaan pasal satu piagam itu. Bulu kuduk saya seketika berdiri, karena ini begitu mirip dengan membacakan sebuah proklamasi. Bunyi pasal satu (ini urutan pasal yang bisa dilihat di laman wikipedia) piagam tersebut begini:
Innahum ummat wahidah min dun al-nas.
Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, (umat yang sederajat dengan komunitas) dari manusia lainnya.
Ketika saya baca kalimat itu, nuansa merdeka tidak bisa saya redam. Sangat mirip dengan teks proklamasi "menyatakan dengan ini kemerdekaannya".
ADVERTISEMENT
Dan, apabila dilihat dari nuansa sejarah saat itu (622 M), Yatsrib memang merdeka, berdaulat atas negaranya dengan dipimpin oleh Muhammad Sang Nabi.
Konsep berdaulat dari pasal satu ini sudah memenuhi salah satu syarat sebuah negara, yaitu kedaulatan.
Sementara itu, keberadaan rakyat sebagai syarat selanjutnya juga sudah terpenuhi. Hal ini bisa dibaca pada pembukaan Piagam Madinah yang berbunyi:
Hadza kitab min Muhammad Al-Nabi bayn al-mu'minin wa al-muslimin min quraish wa yathrib wa man tabi'ahum falahiqa bihim wa jahada ma'ahum.
Ini adalah kitab (perjanjian) dari Muhammad Sang Nabi antara kaum mukmin, kaum muslim, orang mengikuti kemudian bertemu dengan mereka, dan orang-orang yang berjuang bersama mereka.
Rakyat negara Madinah, tanpa perlu penjelasan lebih lanjut sudah bisa diketahui bahwa mereka adalah kaum mukmin, kaum muslim serta orang-orang yang mengikuti, dan berjuang bersama mereka. Yang bahkan, dalam pasal-pasal selanjutnya akan dilindungi bahkan dikenakan pajak.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, dalam pasal lain menyebut bahwa umat Yahudi wajib mengeluarkan biaya perang sama dengan umat mukmin yang juga mengeluarkan biaya perang. Artinya negara yang didirikan Nabi Muhammad tersebut melingkupi berbagai agama. Dari agama pengikut Nabi Muhammad hingga pagan sekali pun.
***
Syarat mutlak selanjutnya sebuah negara ialah adanya wilayah teritorial. Hal ini juga termaktub dengan sangat jelas dalam piagam tersebut, tepatnya di pasal 39:
Wa inna Yathrib haram jawfuha li ahli hadzihi al-sahifah.
"Dan sesungguhnya Yatsrib dan lorong-lorongnya yang mulia adalah milik orang-orang yang bersepakat dalam piagam ini."
Yatsrib yang kemudian berubah nama menjadi Madinah adalah teritorial negara. Dia wajib dibela para penghuninya. Tidak peduli agama dan latar belakang sukunya. Bersepakat dengan piagam Madinah maka maka wajib baginya membela negara itu. Dari sini sesungguhnya Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita nilai nasionalisme yang begitu gamblang. Tapi, mengapa ini sering luput dari perhatian kita semua?
ADVERTISEMENT
***
Syarat negara selanjutnya adalah pengakuan dari negara lain. Pasca piagam ini dibuat, Nabi Muhammad mengirim berbagai surat politik kepada para raja tetangga. Romawi, Mesir, Ethiopia dan Bahrain tercatat telah mendapatkan surat dari Nabi Muhammad. Bukan hanya permintaan untuk pengakuan negara tapi ajakan untuk meniru tata kelola kenegaraan yang beliau dirikan.
Pasca perjanjian itu dibuat pula, barulah turun surat Al-Baqarah ayat 1-26. Ayat-ayat tersebut jika dikaitkan dengan piagam Madinah akan nampak jelas bahwa Allah menguatkan perjanjian yang dibuat di rumah Anas bin Malik ini.
Dan, pertanyaan menggelitik yang perlu dilontarkan lebih lanjut ialah: Masihkah kita menganggap Perang Badar itu adalah perang untuk membela agama tertentu saja? Bukankah pas apabila perang itu sepenuhnya adalah untuk membela negara?
ADVERTISEMENT