news-card-video
13 Ramadhan 1446 HKamis, 13 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Pekerjaan Rumah Transisi Energi

Endrianto Bayu Setiawan
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UB
12 Maret 2025 16:58 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Endrianto Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kerusakan Gunung Tumpang Pitu di Banyuwangi berpotensi memperparah kerusakan lingkungan, sehingga mengakibatkan krisis energi makin tinggi karena merusak kawasan hijau di pegunungan. Sumber: Dokumentasi Penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Kerusakan Gunung Tumpang Pitu di Banyuwangi berpotensi memperparah kerusakan lingkungan, sehingga mengakibatkan krisis energi makin tinggi karena merusak kawasan hijau di pegunungan. Sumber: Dokumentasi Penulis.
ADVERTISEMENT
Transisi energi adalah agenda mendesak yang harus dituntaskan oleh semua negara untuk menghindari dampak krisis iklim yang semakin nyata. Ketergantungan pada energi fosil telah mempercepat perubahan iklim, sehingga peralihan menuju energi bersih menjadi keharusan. Namun, proses ini bukan tanpa tantangan, terutama terkait kebijakan, investasi, dan kesiapan infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diungkap National Oceanic and Atmospheric Administration Amerika Serikat (NOOA), terjadinya perubahan iklim diakibatkan perilaku manusia yang diikuti aktivitas berlebihan dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan. Misal dilihat dari masifnya pertambangan, industrialisasi kotor besar-besaran, serta masih banyaknya penggunaan kendaraan bertenaga energi fosil. Apabila aktivitas berbasis energi kotor itu masih diterapkan, bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi kenaikan suhu secara cepat yang berdampak pada perubahan iklim global.
Saat ini saja sudah ada kenaikan suhu rata-rata global secara signifikan. Mengutip data satelit iklim Copernicus Uni Eropa (C3S) yang dirilis dalam laporan Global Climate Highlights mengungkap bahwa tahun 2024 merupakan tahun terpanas dalam sejarah bumi dengan suhu rata-rata global mencapai 17,16°C. Rekor tersebut meningkat 1,6°C dibandingkan dengan periode pra-industri antara tahun 1850-1900, dan sekaligus melampaui rekor sebelumnya di tahun 2023. Oleh karena itu banyak pakar mengatakan, dengan naiknya suhu rata-rata global di atas 1,15°C maka sudah pasti memasuki era perubahan iklim yang kian parah.
ADVERTISEMENT
Masalah perubahan iklim harus mendapat perhatian serius dari banyak negara. Tidak cukup apabila mengandalkan satu negara saja, ataupun satu kawasan negara saja. Sebab persoalan transisi energi ini menjadi permasalahan global yang sifatnya tak mengenal batas wilayah. Negara dengan aktivitas industrialisasi tinggi seperti India, Amerika Serikat, hingga Indonesia memiliki kontribusi besar bagi peningkatan perubahan iklim. Dampaknya pasti akan dirasakan negara lain yang lintas batas. Itulah mengapa penting ada sinergitas dan gotong royong dari banyak negara untuk mengatasi persoalan iklim.
Ketergantungan Energi Fosil
Ketergantungan terhadap pemanfaatan energi fosil harus segera dikurangi, karena penggunaannya yang berlebih akan mengakibatkan polusi, efek gas rumah kaca, hujan asam, hingga pemanasan global. Kalau tidak dihentikan, rekor suhu panas global akan terus terpecahkan setiap tahunnya, dan hal itu akan memunculkan konsekuensi percepatan perubahan iklim yang makin sulit dikendalikan. Cara mengatasinya yang paling konkret melalui transisi energi secara bertahap dan berkesinambungan.
ADVERTISEMENT
Begitu pula ketergantungan terhadap PLTU batu bara harus segera dilakukan pemensiunan diri. Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada pasokan listrik dari PLTU sekitar 85%, sedangkan sisanya menggunakan pembangkit energi terbarukan (ET). Terhadap gagasan menghapus total PLTU (phase out) dulunya sempat diwacanakan, namun ternyata pemerintah lebih memilih penghentian PLTU secara bertahap (phase down).
Hal itu seperti yang dikatakan Utusan Presiden Bidang Energi dan Lingkungan Hidup, Hashim Djojohadikusumo, yang menyatakan Pemerintah Indonesia tidak akan menutup seluruh PLTU batu bara pada 2040, namun melakukan pengurangan secara bertahap.
Bagi negara yang masih tertinggal dalam pembangunan pembangkit ET seperti Indonesia, opsi phase down masih dapat diterima secara rasional. Namun, phase down PLTU harus dilakukan percepatan, dan terpenting adalah memastikan adanya grand design kebijakan yang jelas dan terukur agar proses transisi energi berjalan secara cepat, sistematis, adil, dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan phase down PLTU harus disertai dengan kepastian waktu penghentian operasional PLTU secara bertahap, sehingga tidak ada ruang ketergantungan energi kotor secara berkepanjangan. Pada saat yang sama, pemerintah perlu memiliki ambisi yang lebih besar dalam mempercepat pembangunan pembangkit ET di berbagai daerah. Mengingat Indonesia memiliki beragam sumber energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit ET.
Beberapa jenis pembangkit ET yang potensial dikembangkan seperti energi surya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, utamanya di NTT, Kalbar, dan Riau. Energi panas bumi tersebar di kawasan ring of fire seperti di Sumatera, Jawa, Bali, Maluku, dan Nusa Tenggara. Begitu pula dengan potensi energi laut tersebar di semua wilayah Indonesia. Bahkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pun menyebut, potensi energi dan terbarukan Indonesia bisa mencapai 3.686 GW. Dari total itu, data Kementerian ESDM menyebut pemanfaatan E(B)T hanyalah 0,3%.
ADVERTISEMENT
Transisi dari energi fosil ke ET memang tidak bisa dilakukan secara sekaligus, karena itu pemerintah menetapkan bauran energi (energy mix) yang ditetapkan setiap tahun. Namun, semua target bauran energi yang ditetapkan pemerintah tidak pernah tercapai. Sebagaimana ketentuan Pasal 9 PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN), target terdekat bauran energi adalah di tahun 2025 harusnya mencapai 23%.
Namun, mencermati target bauran energi di tahun-tahun sebelumnya yang tidak pernah tercapai, terasa ada pesimisme bahwa target di tahun ini juga tidak akan berhasil. Persentase bauran di tahun 2021 mencapai 12,16%, tahun 2022 mencapai 12,30%, tahun 2023 mencapai 13,09%, serta pada tahun 2024 baru mencapai 13,93%. Sulit rasanya membayangkan ambisi seperti apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mencapai target bauran 23% di tahun 2025 ini, mengingat harus mengejar ketertinggalan hampir 10%.
ADVERTISEMENT
Pensiunkan PLTU Secara Bertahap
Di tengah ambisi Prabowo untuk mewujudkan swasembada atau ketahanan energi yang dicanangkan di awal pemerintahan, langkah ini setidaknya menjadi awal yang baik. Bahkan Astacita swasembada energi pernah ia sampaikan dalam KTT G20 di Brazil pada November 2024.
Dalam forum itu Prabowo menegaskan pentingnya kolaborasi global untuk mengatasi tantangan kemiskinan, kelaparan, perubahan iklim, tujuan pembangunan berkelanjutan, dan transisi energi hijau. Komitmen ambisius Prabowo perlu disambut baik, tapi tetap harus dikritisi karena masih banyak penyimpangan kebijakan yang salah langkah, termasuk dari segi tata kelola sumber daya energi fosil dan energi terbarukan.
Selama ini, banyak kebijakan pemerintah yang keliru dalam menghadapi tantangan transisi energi. Ketidakkonsistenan komitmen terhadap transisi energi terlihat jelas ketika pemerintah masih memberikan ruang besar bagi pemanfaatan energi fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, pemerintah gencar mengusung jargon ekonomi hijau, investasi hijau, dan transportasi hijau. Namun, di lain sisi, pemerintah justru memperpanjang usia PLTU melalui skema phase down yang belum memiliki kepastian waktu yang jelas. Alih-alih secara progresif mengurangi ketergantungan pada energi kotor, kebijakan yang diterapkan justru masih mengizinkan pembangunan PLTU baru dengan alasan mendukung proyek hilirisasi industri, terutama pengolahan nikel yang bergantung pada listrik dari PLTU captive berbasis batu bara.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah PLTU captive yang cukup besar. Data CREA tahun 2023 mencatat kapasitas terpasang PLTU captive yang telah beroperasi mencapai 13 GW, atau sekitar 32% dari total kapasitas PLTU sebesar 40,7 GW. Seiring dengan masifnya ekspansi industri hilirisasi, pembangunan PLTU captive berpotensi meningkat drastis sehingga akan memperburuk ketergantungan terhadap energi fosil. Situasi ini sesungguhnya telah menjadi perhatian serius negara-negara anggota Just Energy Transition Partnership (JETP), yang khawatir bahwa kebijakan PLTU captive dan industrialisasi justru semakin memperkuat penggunaan energi kotor.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus mulai mengkategorikan PLTU captive sebagai bagian dari PLTU yang cepat dipensiunkan. Sasaran phase down bukan sekadar PLTU yang sahamnya dikuasai PT PLN dan pihak swasta, namun harus menyasar pula PLTU captive yang dikelola pihak industri, utamanya berkaitan dengan industri pertambangan mineral kritis. Namun masalahnya, Perpres 112/2022 justru membuka peluang pemanfaatan PLTU hingga 2050.
Masalah lain adalah terkait pendanaan, sebab keberhasilan transisi energi sangat bergantung dari pendanaan global. Apabila hanya mengandalkan APBN, tentu tidak akan berhasil. Karena itu yang menjadi tantangan transisi energi di Indonesia adalah upaya menarik investasi dan pendanaan swasta, lembaga internasional, maupun skema seperti blended finance dan carbon trading.
Sampai sekarang, Indonesia masih menghadapi kendala pendanaan transisi energi secara optimal karena kebijakan dalam negeri yang belum cukup menarik mengundang investor maupun akibat ketidakpastian regulasi di sektor energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
Quo Vadis Transisi Energi
Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam diversifikasi sumber energi terbarukan, mulai dari energi surya, angin, panas bumi, hingga bioenergi. Seharusnya, dengan kekayaan sumber daya ini, transisi energi bukanlah perkara sulit untuk diwujudkan. Hanya saja terkendala komitmen politik dan sumber pendanaan.
Misalnya saja pernyataan yang miris dikatakan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang nampaknya ingin mengikuti langkah Donald Trump keluar dari Perjanjian Iklim (Paris Agreement). Wacana itu menunjukkan watak pemerintah yang tidak memiliki sense of crisis terhadap fenomena iklim yang mengancam keselamatan manusia.
Tantangan transisi energi makin kompleks karena pemerintah juga dihadapkan pada potensi konflik kepentingan pengelolaan sumber daya alam, mengingat kuatnya cengkeraman oligarki di sektor bisnis tambang dan properti. Dominasi kepentingan kelompok elite ini berisiko menghambat implementasi kebijakan transisi energi yang seharusnya berorientasi pada keberlanjutan dan kepentingan publik, ketimbang memprioritaskan kepentingan ekonomi eksploitatif.
ADVERTISEMENT
Menjadi sebuah prinsip, bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial. Untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ekonomi yang berkelanjutan, setiap aktivitas pembangunan harus mencerminkan keseimbangan antara tiga aspek utama yang meliputi: pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Ketiga pilar ini harus berjalan selaras agar pembangunan tidak hanya menghasilkan keuntungan sementara (short term profit), tetapi juga memastikan keberlanjutan sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat di masa depan.
Proses transisi energi memang tidak dapat berlangsung dalam waktu singkat. Norwegia—yang kini mengandalkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan telah menerapkan kendaraan berbasis listrik secara masih—membutuhkan sekitar 20 tahun untuk benar-benar melepaskan diri dari ketergantungan energi fosil. Setidaknya, ambisi Prabowo dalam mewujudkan swasembada energi perlu meniru kebijakan transisi energi di Norwegia yang didukung kejelasan dan ketegasan regulasi, insentif berkelanjutan, serta komitmen jangka panjang terhadap energi bersih.
ADVERTISEMENT
Apabila tidak ada reformasi politik hukum yang tegas untuk membatasi pengaruh oligarki dan memperkuat tata kelola transisi energi, maka upaya menuju energi bersih berpotensi hanya menjadi wacana tanpa realisasi yang berarti.