Konten dari Pengguna

Konflik dan Kekerasan yang Belum Kunjung Usai di Papua

Eka Kurnia Chrislianto
Advokat dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak
27 Mei 2021 14:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Kurnia Chrislianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Ilustrasi Hak Asasi Manusia Via Pexels oleh Min An
zoom-in-whitePerbesar
Foto Ilustrasi Hak Asasi Manusia Via Pexels oleh Min An
ADVERTISEMENT
Konflik dan kekerasan yang belum kunjung usai di Papua, melansir CNN Indonesia, berita terbaru hari ini. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan saat ini ada 19 Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang tengah diperangi oleh pemerintah berkaitan dengan berbagai aksi kekerasan dan separatis yang dilakukan di Papua.
ADVERTISEMENT
Mahfud menegaskan pemerintah dalam hal ini tidak sedang memerangi masyarakat Papua, melainkan kelompok masyarakat yang bergerak secara separatis dan kerap melakukan kekerasan serta sudah dilabeli oleh Pemerintah sebagai teroris.
"Mohon dipahami kita tidak perangi Papua tapi kita perangi KKB, ada 19 kelompok. Kita mulai dari yang menonjol dulu," kata Mahfud saat menggelar rapat kerja dengan Komite I DPD RI, Selasa (25/5).
Sementara Operasi Militer yang secara masif dilakukan oleh Operasi gabungan TNI-POLRI di Papua, Mahasiswa Papua di Bogor pun menuntut agar Operasi tersebut ditarik menimbang eskalasi yang semakin meningkat sejak ditetapkannya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) –berdasarkan nomenklatur pemerintah-sebagai kelompok teroris. Namun, hingga saat ini belum ada titik terang dengan menggunakan pendekatan non-militer sebagai pendekatan lain terhadap penghentian kekerasan di Papua dapat tercapai.
ADVERTISEMENT
Sebuah laporan yang disusun Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua dan KontraS Papua menunjukkan tren kekerasan tetap tinggi pada tahun 2020. Konsentrasi aparat keamanan dan pendekatan persoalan yang diterapkan diduga menjadi faktor.
Laporan berjudul “Orang Papua Dilarang Bicara” itu disusun berdasar monitoring dan investigasi kasus-kasus kekerasan di Papua, yang melibatkan TNI dan Polri. Mengingat kembali, baru saja beberapa hari yang lalu ada ratusan pendemo di Manokwari ditahan 10 jam di Markas Brimob ketika mereka menyerukan penolakan terhadap Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II.
Dalam laporan tersebut di atas, kedua lembaga itu memberi perhatian lebih pada empat wilayah konflik, yaitu Kabupaten Intan Jaya, Nduga, Maybrat, dan Kota Timika.
Menurut Yohanis Mambrasar dari PAHAM Papua, laporan ini tidak terkait konflik bersenjata yang melibatkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) maupun Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TNPB).
ADVERTISEMENT
Di lain kesempatan, berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia, setidaknya ada 47 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat keamanan sejak Februari 2018 hingga Desember 2020.
Dari 47 kasus tersebut, tercatat sekitar 80 orang menjadi korban kemudian di tahun 2021 ini diduga sudah ada lima kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan yang memakan tujuh korban.
Selain itu yang pernah jadi sorotan publik juga mengenai penjatuhan hukuman oleh terhadap 70 aktivis Papua di delapan kota berbeda termasuk Jakarta, atas partisipasi dalam demonstrasi anti-rasisme di mana mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua.
Karena perbuatan tersebut Pengadilan pun menjatuhkan pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan "Makar" dan menghukum mereka pidana penjara paling lama 11 bulan.
ADVERTISEMENT
Korban yang Tidak Terlihat dan Terabaikan Media
Sejak akhir 2018 sekitar 400 pengungsi tewas di Kamp Pengungsi Nduga. Jakarta Indonesia belum mengambil peran yang signifikan dalam menangani masalah ini.
Mengingat kembali lagi, dalam beberapa waktu terakhir, media memberitakan aparat keamanan Indonesia melakukan penembakan terhadap dua pria di Kabupaten Mimika, Papua. Namun, hanya sedikit yang membicarakan tentang korban dari konflik yang berkepanjangan pada pengungsi internal di Papua.
Setelah pembantaian di Nduga pada tahun 2018 — ketika 25 pekerja dari perusahaan konstruksi milik negara Indonesia diculik oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNBP) dengan menewaskan 30 orang — Pemerintah Indonesia mengumumkan keadaan darurat di Kabupaten Nduga kala itu.
Status darurat tersebut memberikan justifikasi bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk melancarkan Operasi Militer Nemangkawi yang mana itu justru meningkatkan intensitas konflik bersenjata di wilayah tersebut, yang pada akhirnya menciptakan Pengungsi Internal (Internally Displaced People-IDP). Diperkirakan saat ini, ada sekitar 5000 orang tinggal di kamp pengungsi, 700 di antaranya adalah anak-anak.
ADVERTISEMENT
Pengungsi di Nduga saat ini hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Menurut seorang relawan dari Papua Baku Bantu Foundation menyatakan bahwa makanan pengungsi di kamp hanya terdiri dari ubi, tanpa lauk tambahan untuk memberi nutrisi lebih lanjut bagi mereka.
Akibatnya, banyak pengungsi mengalami gizi buruk — kondisi yang sangat berbahaya bagi kelompok rentan seperti ibu hamil, anak kecil, dan penderita kondisi medis kronis.
Selain itu, pengungsi juga mengalami masalah sanitasi yang kurang memadai sehingga menyebabkan gangguan kesehatan seperti diare dan penyakit kulit.
Kombinasi malnutrisi, sanitasi yang buruk, dan kurangnya perhatian medis juga membahayakan sistem kekebalan pengungsi secara keseluruhan, yang mengarah pada kerentanan terhadap penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Sejak kamp pengungsian pertama kali didirikan pada 2018, kira-kira 400 pengungsi tewas di berbagai kamp di Nduga.
ADVERTISEMENT
Kritik pun bermunculan dengan argumentasi yang kuat bahwa sejak awal, pemerintah Indonesia tidak hadir di Nduga, dan sebagian besar kamp pengungsi di kabupaten tersebut didirikan oleh LSM, gereja, dan organisasi muda-mudi asli Papua—lembaga dengan sumber daya yang terbatas.
Sementara kondisi di kamp pengungsian semakin memburuk setiap hari, tidak heran ada seruan dengan keras dilayangkan agar Pemerintah Indonesia mengumumkan keadaan darurat kemanusiaan.
Namun, pada pertengahan 2019, militer Indonesia membantah angka-angka yang ada dalam laporan Solidarity for Nduga dan Amnesty International dan menyebutnya sebagai "hoaks." Pemerintah membantah jumlahnya setinggi itu, meski di sisi lain Pemerintah sendiri belum dapat memverifikasi kondisinya secara langsung dengan data yang dapat dipertanggung jawabkan.
Pemerintah melalui Kementerian Sosial Republik Indonesia dilaporkan telah memberikan bantuan kepada pengungsian Nduga senilai Rp. 745 juta yang dibagikan dalam bentuk sembako, peralatan rumah tangga, dan perlengkapan sekolah. Pemerintah juga berupaya memulai program konseling di sekolah darurat yang dilakukan oleh para guru.
ADVERTISEMENT
Namun bantuan pemerintah masih jauh dari mencukupi, karena kamp membutuhkan lebih dari sekadar bantuan ad hoc untuk menciptakan lingkungan yang stabil dan sehat.
Respons terlambat dari pemerintah Indonesia, ditambah dengan permusuhan terhadap orang asli Papua—baca rasisme terhadap mahasiswa dan orang asli papua—ditambah dengan dilakukannya pendekatan militeristik Jakarta di Papua, membuat pendekatan kemanusiaan lebih lanjut terhadap pengungsi oleh pemerintah Indonesia menjadi sulit dilakukan.
Belum lagi dengan arus informasi yang simpang siur mengingat kinerja jurnalis kredibel di Papua sulit dilakukan karena kondisi internet di Papua digambarkan tidak bernyawa.
Krisis Pengungsi Nduga kurang mendapat perhatian media dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini, tidak menutup kemungkinan bahwa isu ini bisa menjadi titik radang konflik Papua di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Meskipun pendekatan militeristik merupakan elemen penting dari taktik kontra-pemberontakan, pemerintah Indonesia seharusnya tidak menganggapnya sebagai satu-satunya cara dalam mengekang gerakan separatis berdasarkan hukum nasional.
Masyarakat adat Papua haruslah dianggap sebagai “penduduk netral” dalam konflik Papua, karena dukungan mereka dapat membantu menentukan kemenangan atau kekalahan pihak yang berperang.
Dukungan untuk Indonesia dari komunitas asli Papua akan melemahkan basis dukungan pemberontak, merampas jaringan intelijen, logistik, dan tempat persembunyian mereka di antara populasi netral.
Dalam hal legitimasi internasional, dukungan dari orang asli Papua juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam mengamankan legitimasinya jika terjadi referendum.
Sebaliknya, perubahan penyebutan istilah oleh dari OPM menjadi KKB adalah salah satu langkah cerdas Pemerintah Indonesia untuk menghindari dibentuknya opini bahwa KKB merupakan sebuah kelompok pemberontak yang kuat dan terorganisir.
Mahasiswa Papua saat berunjuk rasa di USU. Foto: Dok. Istimewa
Meskipun pernah berusaha mendeklarasikan kelompoknya sebagai sebuah Organisasi Papua Merdeka, pada kenyataannya sifat kekerasan bersenjata di Papua masih sporadis, tidak berada di bawah satu komando yang bertanggung jawab serta jauh dari sifat terorganisir.
ADVERTISEMENT
Ini tentu ada keterkaitannya dengan pemahaman akan aturan Hukum Humaniter dan Hukum Internasional yang baik juga dapat menghindari Indonesia dari tindakan gegabah menggunakan kekuatan bersenjatanya yang nantinya hanya akan menjustifikasi bangsa lain untuk turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Paul et. al at RAND menunjukkan bahwa dari 59 studi kasus, 44 negara masih menggunakan pendekatan utama mereka sebagai strategi kontra pemberontakan dilakukan dengan pendekatan militeristik. Namun, metode represif tersebut hanya menghasilkan tingkat keberhasilan 32%.
Di sisi lain, negara yang menggunakan strategi campuran memiliki peluang sukses yang lebih tinggi ketimbang hanya pendekatan militeristik, dengan 73%.
Indonesia dapat belajar dari keberhasilan pemberontakan Inggris di Malaya selama tahun 1950-an, di mana pemerintah Inggris melakukan beberapa strategi selain operasi militer, seperti melakukan reformasi politik dan memperbaiki pemerintahan. Namun apakah itu dengan Otsus Jilid II? Itu diskusi yang lain lagi.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia harus mengambil peran utama dalam memperbaiki kondisi kamp pengungsian. Itu konkret.
Pada akhirnya, di atas kepentingan strategisnya, krisis pengungsi Nduga harus dilihat sebagai masalah kemanusiaan yang sangat membutuhkan perhatian dari Pemerintah Indonesia.
Tanpa bantuan lebih lanjut dari pemerintah, situasi di kamp pengungsian Nduga sewaktu-waktu dapat memburuk, yang berdampak jangka panjang yang dapat menghambat revitalisasi pasca konflik di Kabupaten Nduga.
Dengan mempertimbangkan semua faktor tersebut, pemerintah Indonesia harus hadir dan mengambil peran terdepan dalam mengatasi krisis pengungsi Nduga semata-mata sebagai bentuk perlindungan Negara terhadap warga negaranya di samping dari menjamin terlaksananya Hak Asasi Manusia.
Penulis juga Mengutip Tulisan Aisha Kusumasomantri And Yulanda Iek pada New Mandala.