Konten dari Pengguna

Menggugat Etika dan Empati: Sebuah Tragedi dan Refleksi Dunia Pendidikan

Eka Kurnia Chrislianto
Advokat dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak
3 September 2024 18:21 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Kurnia Chrislianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korban Bullying, Sumber: https://pixabay.com by: Counselling
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korban Bullying, Sumber: https://pixabay.com by: Counselling
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kasus tragis yang menimpa dr. Aulia Risma Lestari bukan sekadar kisah duka seorang dokter muda yang mengakhiri hidupnya. Ini juga bukan hanya sekadar cerminan dari masalah yang lebih mendalam dan sistemik dalam dunia pendidikan, terutama dalam lingkungan pendidikan kedokteran atau bahkan utamanya semua lingkup Pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa di balik gelar yang terhormat dan dedikasi untuk menyelamatkan nyawa orang lain, terdapat realitas keras yang tersembunyi: tekanan psikologis, perundungan, dan kegagalan institusi pendidikan dalam memenuhi tanggung jawab etisnya.
Ini adalah kisah yang selalu terjadi setiap harinya dan perempuan alami dalam setiap pengalaman mereka yang berbeda-beda dan unik saat mereka menjalani kehidupan mereka.
Etika Kepedulian yang Terabaikan
Pendekatan feminist psychological mind memberikan lensa yang kuat untuk memahami kompleksitas yang dihadapi oleh perempuan seperti dr. Aulia dalam dunia yang didominasi oleh kekuasaan patriarkal dan hierarki yang kaku.
Carol Gilligan, seorang filsuf dan psikolog feminis terkemuka, dalam bukunya In a Different Voice (1982), menekankan pentingnya etika kepedulian (ethic of care) yang sering diabaikan dalam struktur sosial yang lebih mengutamakan etika keadilan dan kompetisi.
ADVERTISEMENT
Gilligan mengungkapkan bahwa perempuan cenderung mendekati dilema moral dengan perspektif kepedulian dan konektivitas, sementara struktur patriarkal sering kali mengabaikan atau bahkan merendahkan nilai-nilai ini.
Pernyataan ini mencerminkan kondisi dr. Aulia yang tidak hanya menghadapi tekanan akademis, tetapi juga tekanan moral dan emosional akibat tuntutan yang tidak adil dari seniornya.
Lingkungan yang seharusnya menjadi ruang tumbuh dan belajar, justru menjadi arena perundungan dan penindasan, terutama bagi mereka yang berada di posisi rentan.
dr. Aulia tidak hanya menghadapi tuntutan akademik, tetapi juga tekanan dari senior yang memaksanya untuk membayar sejumlah uang di luar kewajiban resmi. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi juga pengabaian terhadap nilai-nilai kepedulian (ethic of care) yang seharusnya menjadi dasar interaksi dalam institusi pendidikan.
ADVERTISEMENT
Etika kepedulian menggarisbawahi pentingnya perhatian dan empati dalam setiap interaksi sosial, termasuk dalam dunia pendidikan. Namun, etika ini sering kali diabaikan, terutama dalam sistem yang terlalu terfokus pada prestasi akademis dan hierarkis.
Dalam konteks ini, kasus dr. Aulia menunjukkan bagaimana dunia pendidikan kedokteran khususnya di Indonesia telah benar-benar gagal dalam menerapkan etika kepedulian tersebut di lingkungannya, baik dalam relasi antar individu maupun dalam tata kelola institusionalnya.
Perundungan dan tekanan finansial yang dialaminya merupakan contoh nyata dari pengabaian etika ini, di mana nilai kepedulian digantikan oleh dominasi, kontrol, dan pemaksaan.
Mendefinisikan Ulang Makna Korban dalam Kerangka Viktimogen dalam Struktur Sistemik Pendidikan Tinggi
Konsep viktimisasi dalam viktimogen menjelaskan bagaimana individu dapat menjadi korban dari sistem atau kondisi yang tidak adil (unfair conditions). Viktimologi, sebagai studi tentang korban dan proses viktimisasi, memperlihatkan bahwa korban sering kali terjebak dalam struktur sistemik yang memperkuat status mereka sebagai korban.
ADVERTISEMENT
Satu di antara pemikir penting dalam viktimologi adalah Nils Christie, yang dalam artikelnya “The Ideal Victim” (1986), membahas bagaimana sistem hukum dan sosial sering kali menciptakan dan memperkuat identitas seseorang sebagai korban, sering kali dengan bias tertentu.
Christie menyoroti bahwa:
Korban yang ideal adalah seseorang yang dianggap rentan dan tidak bersalah.
Dalam konteks gender, bias ini sering kali lebih rumit, karena perempuan sebagai korban tidak hanya dilihat sebagai pribadi yang rentan tetapi juga mereka sering disalahkan atas sesuatu (yang bahkan mereka tidak ada ruang untuk dapat membela diri) dan mereka sering tidak mendapatkan perlindungan yang layak apabila mereka menjadi korban.
ADVERTISEMENT
Christie’s insights into the “ideal victim” illuminate how Aulia’s experience could be systematically overlooked or dismissed, particularly in a male-dominated field where vulnerability may be misinterpreted as weakness rather than a condition deserving of protection and support.
Oleh karenanya dalam kasus dr. Aulia, viktimisasi ini terlihat jelas bahwa bukan hanya dari senior yang melakukan perundungan, tetapi juga dari institusi pendidikan yang seharusnya melindunginya tetapi mengabaikan. Pendidikan kedokteran, dengan segala tuntutan dan tekanannya, telah lama dikritik sebagai lingkungan yang keras dan tidak manusiawi.
Tekanan akademis yang ekstrem, persaingan yang ketat, dan struktur hierarkis yang kaku sering kali menciptakan iklim yang tidak sehat, di mana etika kepedulian tersingkirkan oleh budaya kompetisi dan dominasi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, pendidikan sebagai institusi seringkali dilihat semata-mata sebagai alat administrasi yang bertujuan mencetak lulusan yang kompeten secara teknis. Namun, pendidikan sejatinya adalah proses pembentukan manusia seutuhnya, yang harus mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan etis.
Institusi pendidikan gagal ketika hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan administrasi tanpa menyentuh substansi humanistik yang esensial.
Mengurai Pengalaman Otentik dr. Aulia
Pendekatan fenomenologi menawarkan wawasan tentang pengalaman subjektif dr. Aulia, yang mungkin tidak sepenuhnya terlihat dalam laporan berita atau analisis awal kasus. Edmund Husserl, dalam bukunya Logical Investigations (1900-1901), menekankan pentingnya memahami pengalaman individu dari perspektifnya (mereka) sendiri, tanpa prasangka dari kategori eksternal.
Husserl menyatakan:
ADVERTISEMENT
Hakikat sebuah fenomena bukanlah bagaimana fenomena itu muncul, melainkan bagaimana fenomena itu dialami dan dipahami oleh subjek yang mengalaminya.
Dalam konteks Aulia, fenomenologi memungkinkan kita untuk menyelami bagaimana perundungan dan tekanan yang dialaminya membentuk persepsinya terhadap lingkungan pendidikan dan dirinya sendiri.
Lebih lanjut, Maurice Merleau-Ponty dalam Phenomenology of Perception (1945) menambahkan bahwa pengalaman tidak hanya berbentuk secara mental tetapi juga dipengaruhi oleh tubuh dan situasi sosial.
Merleau-Ponty mengemukakan bahwa “Perception is not simply a matter of receiving sensory inputs but is also deeply embedded in our bodily interactions with the world.” Ini berarti pengalaman dr. Aulia sebagai korban perundungan tidak hanya terkait dengan persepsi mentalnya tetapi juga dengan bagaimana tubuh dan situasinya (sosial) mempengaruhi pengalaman tersebut.
ADVERTISEMENT
Dengan kaca tersebut, setidaknya pengalaman subjektif dr. Aulia dalam menghadapi tekanan yang multidimensional—dari akademik, sosial, hingga finansial. Ini bukan hanya tentang bunuh diri, tetapi tentang suatu kondisi di mana Aulia merasa tidak memiliki jalan keluar dari tekanan yang menjeratnya.
Bias Gender dalam Proses Penegakan Hukum yang Berkeadilan dan Memiliki Kesadaran Gender
Feminist legal theory mengkritisi bagaimana hukum dan struktur sosial sering kali mengabaikan pengalaman perempuan sebagai korban, atau bahkan memperparah kondisi viktimisasi mereka. Catharine MacKinnon, dalam bukunya Toward a Feminist Theory of the State (1989), berargumen bahwa hukum (negara) sering kali dibentuk oleh dan untuk kepentingan laki-laki, dan ini memperkuat sistem patriarki yang membenarkan dan melanggengkan ketidakadilan terhadap perempuan.
MacKinnon menyatakan bahwa the state is male in the feminist sense: the law sees and treats women the way men see and treat women. Ini berarti bahwa sistem hukum dan institusi, termasuk institusi pendidikan, cenderung mengabaikan atau tidak responsif terhadap kebutuhan dan kondisi perempuan, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kekerasan dan penindasan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kasus dr. Aulia, pendekatan MacKinnon dapat membantu kita memahami bagaimana bias gender yang ada dalam sistem pendidikan dan hukum dapat memperparah kondisi yang dialaminya.
Bukannya memberikan perlindungan, sistem ini justru memperkuat dominasi dan hierarki yang membahayakan peserta didik seperti dr. Aulia.
Tekanan untuk mematuhi, ketakutan akan konsekuensi melawan, dan kurangnya dukungan dari institusi menciptakan kondisi yang memaksa dr. Aulia ke dalam posisi sebagai korban, di mana ia merasa tidak memiliki pilihan lain selain mengakhiri hidupnya.
Kritik terhadap Pendidikan sebagai Institusi Gagal
Pendidikan seharusnya tidak hanya menjadi alat administratif, tetapi harus menjadi institusi yang memperhatikan kondisi sosial, budaya, dan etika.
Ironisnya, dalam banyak kasus, pendidikan kedokteran justru menjadi arena yang memperkuat norma-norma dominasi daripada menjadi ruang untuk pengembangan empati dan solidaritas.
ADVERTISEMENT
Gilligan berargumen the voice of care represents a new paradigm, fundamentally distinct from a hierarchy of power and control. Dalam konteks pendidikan, ini berarti bahwa sistem harus bergeser dari hierarki kekuasaan ke pendekatan yang lebih kolaboratif dan mendukung.
Namun, dalam kasus dr. Aulia, pendidikan berfungsi lebih sebagai mesin birokrasi yang tidak tanggap terhadap kebutuhan dan kesejahteraan peserta didiknya.
Dekonstruksi konsep pendidikan yang kaku ini penting untuk memahami bagaimana pendidikan dapat—dan seharusnya—lebih responsif terhadap realitas sosial dan psikologis para peserta didik. Pendidikan yang manusiawi dan adil bukan hanya tentang mengajarkan pengetahuan teknis, tetapi juga tentang membangun karakter yang mampu melihat dan merespons penderitaan orang lain.
Dekonstruksi Berpikir: Menguraikan Etika Kepedulian dan Mempertanyakan Asumsi
ADVERTISEMENT
Dalam dekonstruksi, Jacques Derrida mengajak kita untuk memeriksa dan meruntuhkan asumsi-asumsi yang mendasari suatu struktur sosial dan intelektual. Dalam Of Grammatology (1967), Derrida menulis, “There is nothing outside the text,” yang berarti bahwa makna selalu terikat pada konteks dan interpretasi.
Dekonstruksi membantu kita mengurai bagaimana struktur pendidikan dan hierarki sosial mungkin mengabaikan atau memperburuk kondisi dr. Aulia.
Struktur ini, sering kali tidak terlihat secara eksplisit, berfungsi sebagai norma yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan etika kepedulian.
Melalui dekonstruksi berpikir, kita dapat membongkar norma-norma dan struktur yang ada dalam dunia pendidikan kedokteran, yang mungkin secara tidak sadar mendukung budaya perundungan dan kekerasan psikologis tersebut.
Dekonstruksi berpikir ini memaksa kita untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar seperti:
ADVERTISEMENT
Pengalaman yang Terbentuk karena Situasi Sosial yang Patriarkal
Simone de Beauvoir dan Iris Marion Young, menawarkan pandangan tentang bagaimana pengalaman perempuan sering kali dibentuk oleh situasi sosial yang patriarkal. Iris Marion Young, dalam Throwing Like a Girl (1980), menjelaskan bagaimana pengalaman perempuan sering kali terdistorsi oleh ekspektasi gender dan norma sosial. Young menulis, “Gendered experience involves a particular kind of bodily experience which affects the way women engage with their world.”
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, pengalaman dr. Aulia sebagai perempuan dalam lingkungan pendidikan kedokteran yang cenderung didominasi laki-laki menciptakan situasi di mana ia lebih rentan terhadap penilaian yang bias gender dan perlakuan tidak adil.
Sedangkan menurut pandangan Julia Kristeva dalam Powers of Horror (1980), menyoroti bagaimana sistem sosial dan budaya mengonstruksi dan mengkategorikan perempuan dalam cara yang merugikan. Kristeva berargumen bahwa “The abject is what is rejected from the social order but remains present within it,” menyoroti bagaimana pengalaman perempuan sering kali terpinggirkan atau diabaikan dalam sistem yang lebih besar.
Pemahaman Kristeva menunjukkan bahwa penderitaan Aulia dapat dilihat sebagai bentuk penghinaan dalam sistem pendidikan kedokteran—sistem yang meminggirkan dan merendahkan pengalaman perempuan.
ADVERTISEMENT
Menuju Pendidikan yang Lebih Manusiawi: Merekonstruksi Etika Kepedulian dalam Pendidikan Kedokteran
Kasus dr. Aulia seharusnya menjadi titik balik bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan kedokteran, untuk merefleksikan kembali peran dan tanggung jawabnya.
Pendidikan bukan sekadar tentang menyampaikan pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk individu yang mampu berempati dan menjaga nilai-nilai etika dalam setiap langkah mereka.
Institusi pendidikan harus berani melakukan introspeksi dan perubahan mendasar, tidak hanya dalam kurikulum, tetapi juga dalam cara mereka memperlakukan peserta didik sebagai manusia seutuhnya.
Penting untuk membangun sistem pendidikan yang tidak hanya mengutamakan prestasi akademik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kepedulian, empati, dan keberanian untuk berbicara melawan ketidakadilan.
Melalui pendekatan yang lebih manusiawi, kita dapat menciptakan lingkungan di mana tidak ada lagi Aulia-Aulia lain yang merasa tidak memiliki pilihan selain mengakhiri hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Kasus ini adalah panggilan bagi kita semua untuk tidak lagi membiarkan ketidakadilan dan perundungan menjadi bagian dari pendidikan.
Pendidikan harus menjadi tempat di mana setiap individu dapat tumbuh dan berkembang dengan aman dan bermartabat, tanpa tekanan yang merusak jiwa. Dengan menggabungkan pendekatan feminis, psikologis, dan filosofis, kita dapat bekerja menuju dunia pendidikan yang benar-benar adil dan manusiawi.