Konten dari Pengguna

Tanggung Jawab Negara atas Ekosida antara Kapitalisme Hijau dan Restorasi Semu

Eka Kurnia Chrislianto
Advokat dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak
31 Maret 2025 7:40 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Kurnia Chrislianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Kondisi Tanah Kekeringan karena krisis iklim, Sumber: https://pixabay.com by: Mirko_Fabian
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kondisi Tanah Kekeringan karena krisis iklim, Sumber: https://pixabay.com by: Mirko_Fabian
Disertasi yang kemudian menjadi buku dengan berjudul “Leviathan on a Leash: A Political Theory of State Responsibility” Karya Sean Reamonn Fleming yang mana ia menggali kembali konsep “tanggung jawab negara” dengan merujuk pada pemikiran Thomas Hobbes.
ADVERTISEMENT
Dalam karyanya tersebut Fleming menjelaskan bahwa negara bukan sekadar agen moral ataupun korpus hukum yang bertindak secara fungsional melalui para pejabatnya, melainkan sebuah persona fiktif yang hanya dapat bertindak melalui konstituensi perwakilan dan otorisasi rakyatnya.
Konsep ini menawarkan kritik tajam terhadap teori agensial seperti yang dikemukan oleh Stanley Milgram dan teori fungsional (functional theory) oleh Emile Durkheim yang dominan dalam diskursus politik dan hukum internasional.
Dari sini, kita bisa mengembangkan sebuah dialektika baru antara hukum lingkungan dan hukum bisnis dalam tataran berpikir konseptual yang baru dan lebih jujur.
Apabila negara adalah Leviathan—yang digambarkan oleh Hobbes, yang dibelenggu oleh konstruksi otorisasi dan konstituensi perwakilan, bagaimana kita memahami tanggung jawab negara dalam suatu upaya penghancuran ekologis?
ADVERTISEMENT
Apakah negara bisa dianggap bertanggung jawab atas kejahatan lingkungan yang dilakukan korporasi di bawah regulasinya, ataukah negara hanyalah refleksi dari kehendak rakyat yang telah mengotorisasi para pemimpinnya?
Dalam konteks kesadaran publik (“Public Awareness”) terhadap ilmu pengetahuan, kita menghadapi problematika yang lebih subtil: siapa yang berhak menafsirkan dan menguasai "kebenaran" ilmiah dalam struktur kekuasaan modern seperti saat ini?
Sains atau ilmu pengetahuan, bukan hanya sekadar kumpulan pengetahuan objektif, melainkan sebuah konstruksi sosial yang selalu berada dalam tarikan berbagai kepentingan politik, ekonomi, dan ideologi. Kesadaran publik terhadap sains bukanlah sesuatu yang inheren, melainkan produk dari komunikasi dan strategi yang ditentukan oleh otoritas—baik itu negara, lembaga riset, atau korporasi transnasional.
Apabila Leviathan Hobbesian adalah manifestasi dari ketakutan manusia akan kekacauan dan kebutuhan akan tatanan, maka dalam ranah sains atau ilmu pengetahuan, kita dapat melihat paradoks yang sama yaitu sains dijadikan alat legitimasi bagi kebijakan negara dan kepentingan bisnis, tetapi pada saat yang sama, kesadaran publik terhadap sains sering kali dimanipulasi untuk mengaburkan ketimpangan structural yang ada.
ADVERTISEMENT
Dalam kerangka Foucauldian, ilmu pengetahuan atau sains tidak pernah netral. Ia selalu merupakan produk dari rezim kebenaran yang ditentukan oleh relasi kuasa. Sehingga, cara sains dikomunikasikan bukan hanya bergantung pada pengetahuan itu sendiri, tetapi juga pada siapa yang mengontrol narasi.
Dalam ranah hukum lingkungan dan hukum bisnis, kita bisa melihat bagaimana korporasi menggunakan sains untuk membangun citra ramah lingkungan (greenwashing), sementara pada saat yang sama mereka membiayai riset yang mendukung eksploitasi sumber daya alam di berbagai negara berkembang.
Negara, sebagai Leviathan yang harus menjaga stabilitas, namun justru sering kali mengambil posisi ambigu yaitu di satu sisi, ia berperan sebagai regulator, tetapi di sisi lain, ia juga terikat dalam jaringan kepentingan ekonomi global sebagai vendor.
ADVERTISEMENT
Apabila mengadopsi pandangan Sartrean, maka kesadaran publik terhadap sains bisa dilihat sebagai bentuk “kebebasan yang tertunda”. Sartre berargumen bahwa manusia dikutuk untuk bebas, tetapi sering kali mereka memilih untuk hidup dalam “ketidakautentikan” dengan menerima struktur yang ada tanpa mempertanyakannya.
Dalam konteks ini, masyarakat sering kali menerima narasi ilmiah secara pasif, tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki agensi untuk mempertanyakannya.
Sebagaimana Camus mengajarkan dalam absurdisme-nya, ketika kita mulai menyadari bahwa tidak ada "kebenaran absolut" yang bisa dipegang, kita juga menghadapi dilemma, apakah kita akan terus mencari makna, ataukah kita menyerah dalam absurditas sistem yang ada?
Hobbes membayangkan negara sebagai kekuatan absolut yang muncul dari kontrak sosial, sebuah badan hukum yang menjaga tatanan dan melindungi masyarakat dari kekacauan alamiah manusia.
ADVERTISEMENT
Namun, jika kita menerapkannya dalam konteks hukum lingkungan, kita melihat kontradiksi mendasar dimana Leviathan ini justru menjadi alat bagi alat kapitalistik untuk mereduksi krisis lingkungan menjadi persoalan ekonomi belaka.
Coba kita lihat, kasus-kasus Prestige, Erika, Hebei Spirit, Volgoneft 139 menyingkap bagaimana hukum internasional gagal memberikan perlindungan substantif terhadap perlindungan lingkungan.
The 1992 Civil Liability Convention (CLC Tahun 1992) mendefinisikan “kerusakan akibat polusi” dengan cakupan yang sangat terbatas—hanya sebatas biaya pemulihan dan pencegahan yang telah atau akan dilakukan. Dengan kata lain, rezim hukum ini tidak mengakui kerusakan ekologis murni sebagai bentuk detriment yang layak mendapatkan restitusi.
Ini menunjukkan bahwa Instrukmen Hukum Internasional yang diadopsi oleh para Leviathan yang diidealkan Hobbes kini telah dikorupsi oleh logika ekonomi neoliberal, di mana lingkungan tidak memiliki nilai intrinsik, melainkan hanya diakui sejauh ia memiliki nilai moneter yang dapat dihitung dan dikompensasi.
ADVERTISEMENT
Apabila kita mengaitkan ini dengan perdebatan hukum lingkungan, maka ada ruang bagi pendekatan yang lebih radikal terhadap keadilan ekologis. Bayangkan sebuah sistem di mana:
Kalimantan Barat dalam Cengkeraman Paradoks Ekologis
Apa yang kalian ketahui tentang Kalimantan Barat? Benarkah hutan hujan tropis di sana bukan sekadar lanskap alam, melainkan monumen hidup yang memperlihatkan kontradiksi tak terhindarkan—antara konservasi dan eksploitasi, perlindungan dan kapitalisasi, serta kedaulatan ekologi yang terus diuji oleh kepentingan ekonomi global?
ADVERTISEMENT
Dikutip langsung dari laman resmi Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, menyampaikan bahwa Pemprov Kalbar dalam kerangka Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, berambisi untuk menjadikan kawasan ini sebagai bagian dari solusi perubahan iklim, dengan menargetkan serapan emisi sebesar 32,1 juta ton CO2e atau 12% dari kontribusi nasional.
Namun, pertanyaannya adalah
FOLU Net Sink 2030 mengandaikan bahwa deforestasi dapat ditekan, tetapi dalam kenyataannya, banyak dari mekanisme konservasi ini lebih bersifat kompensatif daripada preventif, mengingat, deforestasi tetap terjadi, tetapi diperhitungkan dalam skema karbon yang memungkinkan korporasi membeli "hak" untuk terus mencemari.
ADVERTISEMENT
Ini mengingatkan kita pada CLC Tahun 1992, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup AkibatPencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, dan juga UU tentang Tindak Pidana Korupsi, yang mana baik di level hukum internasional dan hukum nasional hanya mengakui kerusakan lingkungan dalam bentuk biaya pemulihan dan pencegahan, tetapi tidak mengakui nilai intrinsik dari ekosistem yang hilang.
Kita dapat melihat itu dalam produk putusan peradilan antara lain:
ADVERTISEMENT
Dari putusan-putusan tersebut dapat kita lihat bahwa penggunaan UU Tipikor untuk kasus lingkungan sering kali hanya menjadi simbol kekuasaan tanpa tujuan substantif pemulihan. Putusan pengadilan dalam kasus Nur Alam dan Surya Darmadi menunjukkan bagaimana kerangka hukum yang seharusnya memberikan pemulihan ekologis justru terjebak dalam logika formalistik yang kontraproduktif.
Sekarang, Krisis ekologi di Kalimantan Barat tidak bisa dilepaskan dari kebijakan kehutanan yang semakin fleksibel terhadap eksploitasi sumber daya alam. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 8 Tahun 2021 memberikan legalitas bagi berbagai bentuk pemanfaatan hutan, termasuk dalam skema Multiusaha Kehutanan.
Dalam teori Karl Popper, setiap kebijakan yang tidak terbuka terhadap kritik dan falsifikasi akan jatuh ke dalam dogmatisme. Jika kita melihat bagaimana PBPH telah mengubah perizinan kehutanan menjadi instrumen ekonomi, maka kita harus bertanya:
ADVERTISEMENT
Friedrich Hayek dalam The Road to Serfdom telah mengingatkan bahwa ketika kebijakan terlalu berorientasi pada efisiensi ekonomi, maka ada risiko besar bahwa kepentingan sosial dan ekologis akan dikorbankan. Dalam konteks Kalimantan Barat, kita dapat melihat bahwa kebijakan kehutanan semakin condong pada pendekatan yang menguntungkan investasi dan korporasi daripada memberikan perlindungan substansial bagi ekosistem dan komunitas lokal.
Data Deforestasi dan Degradasi Lingkungan di Kalimantan Barat
ADVERTISEMENT
Dalam kerangka kapitalisme hijau, degradasi hutan adalah bentuk eksploitasi yang lebih sophisticated dibandingkan deforestasi. Jika deforestasi merupakan pemusnahan total, degradasi adalah erosi bertahap yang masih dapat dijustifikasi secara hukum dan ekonomi.
David Abram, dalam The Spell of the Sensuous, menyoroti bagaimana manusia sering kali kehilangan hubungan inderawi dengan alam, sehingga tidak dapat melihat kehancuran ekosistem secara perlahan.
Degradasi hutan adalah salah satu bentuk kehancuran yang sulit dideteksi secara langsung, tetapi dalam jangka panjang, ia menyebabkan hilangnya fungsi ekologis yang lebih parah.
Data terbaru menunjukkan bahwa sejak tahun 2001, provinsi ini telah kehilangan lebih dari 4,04 juta hektare tutupan pohon—sebuah angka yang mencerminkan realitas pahit dari degradasi ekologi yang tak terbendung.
ADVERTISEMENT
Dalam dua dekade terakhir, Kalimantan Barat telah kehilangan 30% dari tutupan pohonnya. Namun, yang lebih mengkhawatirkan bukan hanya angka absolut dari kehilangan hutan ini, tetapi bagaimana pola degradasi telah menjadi bagian dari sistem ekonomi dan politik yang lebih besar.
Data tentang Deforestasi Hutan Primer di Indonesia, sumber: Global Forest Watch.
Jika kita memeriksa angka kehilangan tutupan pohon berdasarkan wilayah, maka jelas bahwa deforestasi tidak terjadi secara merata, tetapi lebih terkonsentrasi pada wilayah dengan ekspansi industri perkebunan dan pertambangan yang signifikan.
Berikut adalah empat wilayah yang bertanggung jawab atas 58% dari seluruh kehilangan tutupan pohon sejak tahun 2001:
Ketapang, dengan kehilangan 930 ribu hektare, adalah pusat dari krisis ekologi di Kalimantan Barat. Wilayah ini dikenal sebagai salah satu pusat ekspansi perkebunan sawit dan pertambangan, yang berarti bahwa hilangnya hutan bukan sekadar akibat dari perubahan alam, tetapi merupakan hasil dari keputusan ekonomi dan politik yang mendukung eksploitasi sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
Namun, narasi ini tidak hanya tentang kehilangan. Terdapat pula 501 ribu hektare pertambahan tutupan pohon, yang setara dengan 10% dari seluruh pertambahan tutupan pohon di Indonesia. Ini menimbulkan pertanyaan mendalam:
Membangun Paradigma Baru: Ekologi Sebagai Subjek Hukum
Dalam diskursus hukum lingkungan saat ini, hutan masih dianggap sebagai objek hukum—sesuatu yang dapat dikelola, dimiliki, atau dikonversi. Tetapi bagaimana jika kita mengubah paradigma ini?
Beberapa negara seperti Bolivia dan Ekuador telah mengadopsi konsep Rights of Nature, di mana ekosistem memiliki hak yang sama seperti manusia. Jika kita menerapkan ini di Kalimantan Barat, maka kita dapat merombak pendekatan konservasi dari sekadar menghitung kerugian menjadi melindungi kehidupan sebagai nilai yang mutlak.
ADVERTISEMENT
Bagaimana jika:
Ini bukan hanya perubahan hukum, tetapi juga perubahan ontologi—dari melihat lingkungan sebagai sesuatu yang dikelola, menjadi sesuatu yang memiliki hak untuk ada sudah menjadi tanggung jawab negara untuk sampai ke sana maka perlindungan terhadap akses kesadaran publik akan hukum dan ilmu pengetahuan tak bisa hanya dimonopoli semata-mata untuk membodohi.