Konten dari Pengguna

Hari Antikorupsi Sedunia dan "Virus" Politik Uang

Dr. Erianto N, SH. MH.
Atase Hukum KBRI RIYADH
10 Desember 2024 10:23 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr. Erianto N, SH. MH. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Setiap 9 Desember di seluruh dunia diperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Merujuk laman United Nations (UN), peringatan Hari Antikorupsi Sedunia atau International Anti-Corruption Day melewati proses yang cukup panjang. Saat Majelis PBB menyadari dampak kerugian korupsi dan perlunya langkah untuk menumbuhkan kesadaran publik terkait bahaya laten korupsi, maka muncullah kesadaran untuk mengakhiri dampak buruk korupsi serta merumuskan instrumen hukum internasional terkait pemberantasan antikorupsi di tingkat global agar lebih efektif.
ADVERTISEMENT
Tercatat berselang empat puluh hari setelah dilaksanakan Konvensi PBB untuk menentang korupsi (United Nations Convention Against Corruption/ UNCAC) pada 31 Oktober 2003 maka PBB menyetujui Perjanjian Antikorupsi yang ditandatangani di Merida, Meksiko pada 9 Desember 2003.
Berdasarkan waktu penandatanganan perjanjian tersebut, sekaligus ditetapkan pula sebagai Hari Antikorupsi Internasional pada 9 Desember setiap tahunnya. Sejak saat itu, sebanyak 188 pihak telah berkomitmen terhadap kewajiban anti korupsi, yang menunjukkan pentingnya tata pemerintahan yang baik, akuntabilitas, dan komitmen politik. Penetapan Hari Antikorupsi Sedunia untuk menunjukkan pengakuan universal akan pentingnya tata kelola yang baik, akuntabilitas, dan komitmen politik.
Di Indonesia, lembaga yang sangat gencar mengungkap kasus mega korupsi adalah kejaksaan yang mendapatkan kepercayaan tertinggi di masyarakat jauh meninggalkan KPK ataupun kepolisian yang memiliki kewenangan sama pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Pada momen Hakordia 2024 mengutip laman KPK mengusung tema 'Teguhkan Komitmen Berantas Korupsi untuk Indonesia Maju' di mana tema ini menyerukan pentingnya komitmen bersama untuk mewujudkan Indonesia yang maju. Sementara PBB mengusung tema 'Uniting with Youth Against Corruption: Shaping Tomorrow’sIntegrity' yang mengajak pemuda untuk aktif melawan korupsi dan membangun integritas masa depan dengan sikap proaktif terhadap akuntabilitas.
Hal terdekat dengan isu korupsi di Indonesia adalah politik uang dalam pilkada. Dikutip dari unggahan Instagram Bawaslu, politik uang adalah upaya langsung atau tidak langsung untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan/pemilih sebagai imbalan untuk memilih/tidak memilih calon tertentu atau menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah.
Selain uang tunai termasuk "serangan fajar" bentuk politik uang lainnya adalah transfer uang elektronik, uang "sedekah", paket sembako, kupon belanja, uang ganti dan/atau uang transport, hadiah dalam bentuk barang seperti dalam kegiatan perlombaan atau gerak jalan model karcis berhadiah, pemberian token listrik, sumbangan kepada komunitas atau organisasi serta bentuk pemberian lainnya termasuk sarana ibadah, sarana umum yang diberikan dengan syarat atau harapan bahwa penerima/komunitas tersebut mendukung calon tertentu.
ADVERTISEMENT
Bila merujuk kepada undang undang pemberantasan tindak pidana korupsi nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan undang undang nomor 20 tahun 2001 apakah perbuatan politik uang di atas termasuk kriteria perbuatan korupsi dalam hal ini suap atau setidaknya gratifikasi?
Merujuk pasal terkait suap berupa pasal 12 atau pasal 5, memang pasal terkait suap menyuap subjeknya adalah tindakan pegawai negeri atau penyelenggara negara termasuk hakim yang bersifat pasif menerima hadiah yang bertujuan untuk menggerakkan pegawai melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan, yang bertentangan dengan kewajiban pegawai tersebut ataupun pemberian diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajiban pegawai dimaksud. Sementara korupsi dalam bentuk gratifikasi juga ditujukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatan sang pegawai.
ADVERTISEMENT
Perbedaan antara suap dan gratifikasi secara umum adalah suap terjadi dalam bentuk hubungan sebab akibat langsung atau transaksional antara pemberi dan penerima sementara gratifikasi hubungannya tidak langsung terlihat bersifat potensial atau investasi jangka panjang.
Mengaitkan praktik politik uang yang dilakukan oleh para calon kepala daerah maupun sebelumnya calon legislatif termasuk calon presiden sebagaimana berbagai bentuk politik uang di atas dengan konsep korupsi dalam undang-undang tindak pidana korupsi tentu sangat sulit karena subjek hukumnya berbeda.
Dalam politik uang subjek hukumnya adalah masyarakat pemilih yang memiliki hak suara menerima dari peserta pilkada, pileg, atau pilpres sementara dalam tindak pidana korupsi subjek hukumnya pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima dari siapa pun termasuk sesama pegawai negeri atau penyelenggara negara seperti suap atau gratifikasi untuk naik pangkat, dapat jabatan dan tindakan licik lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, ada sisi persamaan antara politik uang dengan korupsi berupa pemberian yang diberikan sama sama terkait dengan tindakan transaksional langsung atau tidak langsung antara pemberi dengan penerima untuk melakukan sesuatu yang melawan hukum, tidak terpuji, menghilangkan kemerdekaan atau setidaknya melanggar nurani dalam melakukan tindakan atau pilihan.
Meskipun tindakan politik uang tidak termasuk kriteria tindak pidana korupsi namun dengan terus menjamurnya tindakan transaksional di masyarakat dalam setiap proses pemilihan secara terang benderang, bahkan terstruktur sistematif dan masif oleh para calon termasuk tim sukses kepada masyarakat maka secara tidak langsung budaya korupsi sudah menjamur di tengah masyarakat sampai pelosok desa, Masyarakat tidak mau berbuat bila tidak ada upahnya.
Sebab itu sangat wajar, ketika para calon terpilih nantinya akan melakukan tindakan yang sama kepada yang lebih tinggi untuk mendapatkan ambisi mereka termasuk menerima, meminta bahkan memeras pada masyarakat yang berkepentingan dengan kekuasaan yang telah mereka raih seperti terjadinya jual beli jabatan, jabatan hanya untuk tim sukses atau orang dekat, orang separtai, dan membuang orang yang berlawanan saat pemilihan tanpa memandang kualitas seseorang.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit kita dengar para tim sukses mendapatkan proyek melalui intervensi atau pengaruh kepala daerah atau pengaruh anggota dewan dan tidak sedikit terdengar dana korupsi proyek juga mengalir kepada kepala daerah atau legislatif dimaksud.
Begitu juga sebaliknya, sering terjadi sang penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya dalam pemilihan mendatang jauh jauh hari ketika masih berkuasa menggunakan segala upaya dan sarana yang dimiliki secara tidak benar termasuk kasus beras zakat berlogo kepala daerah, dana, atau beras bansos untuk rakyat miskin salah sasaran kepada tim sukses atau menjadi sarana pencitraan pribadi. Sampai hal sederhana memanfaatkan sarana informasi publik untuk mempromosikan dirinya termasuk keluarganya, jauh lebih besar gambar mereka dari pada pesan pemerintah yang ingin disampaikan.
ADVERTISEMENT
Dalam undang undang pemilu memang politik uang termasuk tindak pidana pemilu namun terbatas pada masa kampanye sebagaimana diatur dalam pasal 280 ayat 1 huruf j berupa, menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu dengan ancaman maksimal dua tahun penjara dan denda maksimal 24 juta rupiah.
Namun dengan pembatasan politik uang dalam masa kampanye tidak dapat menjangkau pelanggaran masif terjadi sebelum kampanye, tentu aturan ini sangat lemah untuk menangkis praktik politik uang yang terjadi jauh sebelum musim kampanye. Belum lagi waktu penanganannya yang singkat, keterbatasan aparat yang melakukan penyidikan harus memiliki sertifikat penyidik pemilu yang sudah pasti optimalisasi pemberantasan politik uang akan jauh dari harapan dan tindakan politik uang akan terus menjadi virus yang menjalar di tengah masyarakat “semua harus ada uang”.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari realitas politik uang di atas dalam momen Hakordia tahun 2024 ini sudah seharusnya semangat pemberantasan korupsi, tidak hanya menyasar perilaku yang sudah menjadi pegawai negeri atau penyelenggara negara saja.
Namun, bagaimana merumuskan pelaku yang melakukan suap menyuap atau gratifikasi termasuk orang yang terlibat dalam proses pemilihan untuk menjadi penyelenggara negara seperti calon presiden, calon kepala daerah, calon legislatif termasuk calon kepala desa sekalipun.
Sehingga aturan dimaksud menjangkau praktik politik uang dalam pemilihan yang berlangsung setiap empat tahun yang dampaknya jika dibiarkan akan menjadi virus menular, membuat semua orang menganggap hal biasa suap menyuap atau setidaknya gratifikasi termasuk sampai ke pedesaan. Sebab, mereka mengetahui bahwa korupsi hanya mengikat pegawai negeri atau penyelenggara pemerintahan dan tidak menyasar mereka pelaku politik uang yang bukan pegawai.
ADVERTISEMENT
Harapan menjadikan politik uang sebagai sebuah tindakan korupsi yang akan diatur dalam perundang-undangan sehingga menjadi salah satu cara meminimalisir praktik politik uang di masa mendatang, tentu akan menghadapi tantangan berat mengingat regulasi dimaksud akan dibuat oleh para legislator bersama kepala daerah/pemerintah yang dihasilkan dari politik uang itu sendiri.
Meski demikian, tentu kita tidak berputus asa berharap para penentu kebijakan di negeri ini lebih mementingkan kepentingan masyarakat jangka panjang daripada kepentingan pribadi atau kelompok sendiri. Selamat Hakordia 9 Desember 2024.