Akses pada Obat COVID-19

Konten dari Pengguna
30 April 2020 1:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari erik mangajaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar sampel darah pasien Covid-19, sumber pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Gambar sampel darah pasien Covid-19, sumber pixabay.com
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Pembahasan mengenai akses pada obat untuk pencegahan dan pengobatan COVID-19 menjadi semakin penting. Bertambahnya jumlah penderita positif COVID-19 mendorong pemerintah untuk menyediakan beberapa obat yang ditengarai potensial guna mengobati penyakit yang diakibatkan Virus Corona. Bila nanti telah ditemukan obat COVID-19 yang paling manjur maka tantangan akan semakin meningkat karena semua negara akan saling bersaing memperebutkan obat tersebut. Berdasarkan laman International Clinical Trials Registry Platform Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sampai sekarang terdapat setidaknya 536 studi klinis obat potensial untuk COVID-19. WHO juga mengembangkan Solidarity Trial. Berbagai obat yang sedang diuji tersebut hampir semua patennya berasal dari luar negeri.
ADVERTISEMENT
Saat ini kita mendapat bantuan obat dari beberapa negara sahabat. Suatu hal yang bagus. Namun sampai kapan kita akan terus mengandalkan bantuan donor asing? Dalam suatu kesempatan, penulis berdiskusi dengan beberapa teman kerja mengenai upaya untuk memperoleh obat COVID-19. Salah satu rekan, Oldrin Lawalata, mengajukan pertanyaan: “Apakah kita dapat menggunakan instrumen hukum kekayaan intelektual seperti Lisensi Wajib (Compulsory License) atau Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah (Use by Government)?” Rekan kerja penulis yang lainnya, Franky Silalahi, juga mengajukan pertanyaan: “Bukankah dulu saat kita kekurangan obat HIV/AIDS juga pernah melakukan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah?” Pertanyaan kedua rekan tersebut sangat relevan sebab menurut sejarahnya, Indonesia telah melakukan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah sejak tahun 2004 dan 2007. Kemudian diterbitkanlah Peraturan Presiden No. 76 tahun 2012 untuk pengadaan obat Antiviral dan Antiretroviral (ARV) bagi HIV/AIDS dan Hepatitis B.
ADVERTISEMENT

Bahasan Utama

Dari pertanyaan kedua rekan di atas, penulis akan mencoba mengkaji beberapa hal, antara lain: 1. Apakah Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah merupakan satu-satunya alat hukum kekayaan intelektual guna memperoleh akses pada obat COVID-19? 2. Bagaimana kita dapat menerapkan strategi dalam menggunakan berbagai instrumen kekayaan intelektual yang tersedia untuk memperoleh obat COVID-19?
Obat Avigan dari Jepang, sumber gambar: antaranews
Tampaknya baru sedikit tulisan di media massa online nasional yang mengkaji berbagai opsi yang disediakan hukum kekayaan intelektual untuk mendapatkan obat COVID-19. Tulisan ini tidak membahas mengenai akses vaksin atau alat kesehatan karena isunya cukup rumit. Salah satu contoh, pada isu alat kesehatan, tidak ada rujukan aturan eksplisit mengenai Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dalam UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten atau yang akan kita sebut saja di tulisan ini sebagai “UU Paten”.
ADVERTISEMENT

Konsep Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah

Untuk memudahkan pemahaman pembaca, secara singkat Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah adalah upaya untuk mengeksplorasi suatu paten guna kepentingan nasional, misalnya dalam situasi emergency pandemik, tanpa meminta izin pemegang paten terlebih dahulu. Pemegang paten akan diberikan kompensasi sejumlah tertentu sesuai peraturan yang berlaku. Pada prinsipnya Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah tidak memerlukan izin pemegang paten. Tindakan hukum ini sangat keras dan tegas.
Hukum nasional mengatur mengenai Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten. Lisensi Wajib diatur dalam Pasal 82 s.d 106 UU Paten. Adapun Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah diatur pada bagian terpisah lainnya, yaitu Pasal 109 s.d. 120 UU Paten.
ADVERTISEMENT
Aturan implementasi Lisensi Wajib kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Permenkumham No. 30 tahun 2019. Saat ini belum ada aturan turunan mengenai Pelaksanaan Paten menurut UU Paten. Rancangan Peraturan Presiden mengenai Pelaksanaan Paten belum dapat dirampungkan. Dalam hal ketiadaan aturan turunan tersebut, penulis berpandangan bahwa berdasarkan Pasal 170 UU Paten maka Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2004 masih dapat diterapkan secara terbatas untuk malakukan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah atas produk farmasi. Ketentuan UU Paten ini merupakan implementasi dari Pasal 31 Perjanjian Kekayaan Intelektual atau dikenal dengan WTO Trade and Related Issues of Intellectual Property Rights (TRIPS) Agreement. Pasal 31 tersebut berjudul: “Other Use Without Authorization of the Right Holder”. Norma ini kemudian diperjelas dalam Doha Declaration on TRIPS Agreement and Public Health tahun 2001. Keterbatasan Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah Seorang rekan penulis lainnya, Wahyu Satrio, mengajukan pertanyaan: “apa saja kira-kira yang perlu diperhatikan dalam melakukan lisensi wajib dan pelaksanaan paten di Indonesia?"
ADVERTISEMENT
Menurut penulis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:
1. Hanya diterapkan untuk obat yang patennya terdaftar
Teks UU Paten tegas mengatur bahwa Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten hanya dapat dilakukan pada paten yang terdaftar. Hal ini diatur Pasal 93 UU Paten yang berbunyi: “Menteri dapat memberikan Lisensi-wajib untuk memproduksi produk farmasi yang diberi Paten di Indonesia guna pengobatan penyakit pada manusia”. Adapun Pasal 112 ayat (2) menetapkan: "Dalam hal pelaksanaan Paten oleh Pemerintah untuk kebutuhan sangat mendesak bagi kepentingan masyarakat … tidak mengurangi hak Pemegang Paten…”. Siapakah Pemegang Paten? Pasal 1 ayat (6) UU Paten menegaskan bahwa Pemegang Paten adalah pemilik paten yang telah terdaftar di Indonesia. Jadi, menurut UU Paten, kalau patennya tidak terdaftar di Indonesia, maka tidak perlu dilakukan Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah. 2. Pengaruhnya pada iklim investasi Walaupun UU Paten memperbolehkan Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah, tetapi perlu dipertimbangkan pengaruhnya pada iklim investasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam diskusi penulis dengan Professor Dr. Rahmi Jened dari Universitas Airlangga, beliau menyampaikan bahwa: “memang sering kali investor tidak nyaman dengan compulsory license karena sering dilihat seperti tindakan ekspropriasi”.
Direktur Paten Kementerian Hukum dan HAM, Ibu Dede Mia Yusanti juga menambahkan bahwa: “isu compulsory license cukup menjadi pending issue perundingan bilateral.”
Praktik Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah bagi obat HIV/AIDS dan Hepatitis tahun 2012 misalnya, mendapat kritik sangat tajam khususnya dari investor farmasi dan asosiasi farmasi internasional (Mathew Brigg, 2012; Gilang Ardana, 2019). 3. Komplikasi Pasal 20 UU Paten
Dalam penelitian penulis, banyak investor yang keberatan dengan ketentuan UU Paten yang memperbolehkan dilakukannya Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah bilamana investor pemegang paten di Indonesia tidak membuat pabrik atau memproduksi produknya di Indonesia. Kewajiban Pasal 20 UU Paten ini dikenal dengan local working patent requirement. Isu Pasal 20 UU Paten kemudian menjadi perdebatan nasional. Sebagian mengusulkan untuk menghapus Pasal 20, namun sebagian lagi mengusulkan tetap mempertahankan ketentuan tersebut. Berbagai pakar hukum misalnya menyampaikan kritik atas rencana dihapuskannya Pasal 20 UU Paten dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Bambang Kesowo 2020; Agus Sardjono, 2020). Berdasarkan penelitian Paul Champ dan Amir Attaran dalam Yale Journal of International Law tahun 2002, terlihat bahwa sampai sekarang kejelasan legalitas local working patent requirement masih status quo. Hal ini terjadi sebab tidak ada yurisprudensi putusan WTO Dispute Settlement yang dapat menjadi rujukan. Kasus Amerika versus Brazil atau Measures Affecting Patent Protection case (DS-199) tidak selesai diputus sebab pada tahun 2001 para pihak bersengketa sepakat menarik kembali kasusnya. Akibatnya setiap negara memiliki argumen masing-masing sesuai kepentingan nasionalnya. Sampai sekarang pun berbagai negara tetap memiliki aturan local working patent requirement dalam hukum patennya. Beberapa Alternatif Lainnya
ADVERTISEMENT
Selain Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah, hukum kekayaan intelektual menyediakan beberapa alat lainnya, antara lain: (i) Penggunaan doktrin unjust enrichment untuk menggugat monopoli obat; (ii) parallel importation (impor paralel); dan (iii) voluntary license (lisensi sukarela). Penjelasannya sebagai berikut di bawah ini:
a. Gugatan anti-monopoli
Dalam Lokakarya Ilmiah mengenai Kekayaan Intelektual bagi Pengembangan Industri Farmasi dan Pertanian di Surabaya tahun 2018, Profesor Dr. Rahmi Jened dari Universitas Airlangga menyatakan bahwa sebenarnya kita dapat menggugat perusahaan pemegang paten yang ditengarai melakukan monopoli obat dengan menggunakan doktrin unjust enrichment.
Bagi penulis, usulan ini sangat menarik dan sesungguhnya dimungkinkan karena sejalan dengan aturan TRIPS. Namun demikian, proses gugatan dan pembuktian kemungkinan akan memakan waktu sedangkan saat ini kita membutuhkan akses pada paten obat sesegera mungkin (emergency situation). Lebih lanjut, dilihat dari hukum nasional, masih perlu dikaji lagi mengenai operasionalisasiannya menurut UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli. b. Voluntary License (Lisensi Sukarela)
ADVERTISEMENT
UU Paten memungkinkan suatu perusahaan farmasi pemilik paten asing secara sukarela memberikan lisensi patennya kepada pihak lain dan membuat obat COVID-19 tersebut di Indonesia. Mengenai royalti, transfer teknologi, trade secret dan lain-lain dapat diatur dalam kontrak. This is actually a matter of negotiation.
Gilead salah satu perusahaan obat multinasional, sumber gettimages
Penulis berpandangan bahwa lisensi sukarela memiliki banyak keuntungan. Pertama, hubungan baik dengan investor akan tetap terjalin karena bukan mekanisme paksaan. Kedua, brand image dan reputasi perusahaan investor akan ikut terbangun. Ketiga, perusahaan farmasi merasa dihargai karena telah mengeluarkan biaya riset yang tidak murah dan waktu yang lama untuk menghasilkan suatu obat. Keempat, kita dapat berkerja sama mengembangkan industri farmasi nasional ke depan. Pandangan penulis didasarkan pada hasil penelitian K.D. Raju tahun 2017 yang mengatakan bahwa investor akan lebih bersedia untuk melakukan lisensi sukarela daripada terancam dengan Lisensi Wajib atau Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah. Menurutnya: “Compulsory License encourages parties for entering into voluntary licencing and it is economical and an alternative option (not exclusive) for developing countries in providing essential medicines to poor people". Namun demikian, penulis melihat perlu dilakukan upaya untuk mencegah agar kontrak lisensi sukarela agar tidak berubah menjadi monopoli pasar. Ingat, dalam situasi pandemik seperti sekarang ini, perusahaan farmasi pemilik paten memegang posisi tawar yang lebih tinggi sehingga perlu dicegah terjadinya monopoli.
ADVERTISEMENT
Sebagai jalan keluar, penulis mengusulkan agar dipertimbangkan untuk menerapkan Permenkumham No. 8 Tahun 2016. Berdasarkan peraturan tersebut, setiap kontrak lisensi harus dicatat dan diumumkan di Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini untuk kepentingan pihak ketiga, menjamin transparansi dan mencegah monopoli pasar.
c. Parallel Importation (Impor Paralel)
Indonesia dapat melakukan impor sukarela berdasarkan Pasal 167 UU Paten. Melalui impor paralel, Indonesia dapat mengimpor obat dari negara ketiga. Kita dapat mengimpor obat X dari Negara A di mana paten obat tersebut telah terdaftar dan diproduksi. Adapun pemilik paten aslinya berasal dari Negara B.
Sesuai Penjelasan Pasal 167 UU Paten, impor obat COVID-19 dapat dilakukan untuk menjamin adanya harga yang wajar dan memenuhi rasa keadilan dari produk farmasi yang sangat dibutuhkan bagi kesehatan manusia. Impor juga dapat dilakukan apabila harga suatu produk di Indonesia sangat mahal dibandingkan dengan harga yang telah beredar secara sah di pasar internasional. Namun sayang belum ada aturan turunan lebih spesifik mengenai parallel importation menurut UU Paten.
ADVERTISEMENT
Win-Win Solution rather than Win-Lose Game
Penggunaan seluruh alat hukum kekayaan intelektual untuk mendapatkan akses obat COVID-19 di atas perlu dilakukan dengan menggunakan strategi yang terukur.
The Win-Win Papakonstantinidis Model, sumber https://researchleap.com
Suatu strategi win-win solution perlu dikedepankan demi kepentingan yang lebih jauh. Kerja sama lebih baik diutamakan dari pada pendekatan yang sifatnya win-lose. Mempertimbangkan berbagai kelemahan dan kelebihan setiap instrumen kekayaan intelektual di atas, penulis menyarankan agar terlebih dahulu ditempuh mekanisme seperti parallel importation dan voluntary license. Kita dapat mengimpor obat dari negara ketiga, atau mengundang perusahaan farmasi tersebut untuk melakukan voluntary license dan memproduksi obat di Indonesia. Apabila parallel importation dan voluntary license tidak berhasil ditempuh, barulah Pemerintah dapat mengambil win-lose approach seperti Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah, atau melakukan gugatan anti-monopoli. Penggunaan seluruh alternatif di luar mekanisme compulsory license tersebut tidak melanggar hukum internasional. Hal ini ditegaskan Paragraf 6 Doha Declaration yang berbunyi: “We recognize that WTO Members with insufficient or no manufacturing capacities in the pharmaceutical sector could face difficulties in making effective use of compulsory licensing under the TRIPS Agreement…” . Kesimpulan dan Saran
ADVERTISEMENT
Kesimpulan: 1. Selain Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah, masih ada beberapa alternatif instrumen hukum kekayaan intelektual yang dapat digunakan untuk memperoleh akses pada obat COVID-19, seperti antara lain parallel importation, voluntary license dan gugatan anti-monopoli. 2. Mengingat persaingan yang sangat ketat, maka dari segi strategi, kita dapat mengambil langkah seperti parallel importation dan voluntary license. Bila mana tidak berhasil, kita dapat menggunakan pendekatan lebih tegas seperti Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah, atau menggugat pemiliki paten dengan alasan anti-monopoli. Beberapa saran lebih lanjut, yaitu: 1.Perlu diidentifikasi status pendaftaran paten beberapa obat potensial COVID-19 di Indonesia guna membantu dalam memilih instrumen hukum kekayaan intelektual mana yang akan digunakan. 2.Perlu kerja sama bersama berbagai stakeholders nasional untuk menyempurnakan aturan turunan mengenai Pengadaan Paten oleh Pemerintah, parallel importation, voluntary license dan gugatan anti-monopoli. Erik Mangajaya, Diplomat pada Kementerian Luar Negeri. Seluruh tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis semata.
ADVERTISEMENT