Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Swiss Cotton, Suatu Inspirasi Pemanfaatan Ilmu Kekayaan Intelektual
14 Oktober 2018 15:53 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari erik mangajaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Swiss, Surga di atas Bumi
Bila kita bertanya pada banyak orang, apa yang terlintas di pikiran mereka saat mendengar kata “Swiss”? Kemungkinan besar jawaban yang akan kita peroleh berkisar pada jam tangan, coklat, sekolah perhotelan atau pemandangan indah. Bahkan mungkin akan ada yang mengatakan, mahal!
ADVERTISEMENT
Swiss memang sangat terkenal dengan kualitas jam tanggannya. Patek Phillipe, Richard Mille, Brequete, dan Rolex hanyalah sebagian kecil merek jam tangan kualitas super dari Swiss.
Harga jam tangan tersebut bagi sebagian besar masyarakat Indonesia masih tergolong sangat mahal. Harganya bisa membuat kita terkejut. Ada yang harganya sama dengan mobil Avansa baru atau bahkan lebih mahal dari sedan BMW baru.
Konon, harga jam tangan merek Richard Mille yang digunakan Richard Muljadi, salah seorang sosialita terkenal di Jakarta, mencapai lebih dari Rp 9 M.
Swiss juga terkenal dengan coklatnya. Kendati tidak memiliki perkebunan coklat, Swiss mampu mengolah impor biji coklat menjadi produk olahan cita rasa tinggi. Semua orang pasti suka coklat Swiss.
ADVERTISEMENT
Buat yang suka hiking atau jalan ke pengunungan dan melihat salju, Swiss pasti jadi salah satu dalam daftar travelling. Pemandangan alamnya luar biasa indah. Swiss dikenal dengan julukan “Heaven on Earth” (Surga di atas Bumi). Berbagai resor mewah dunia ada di Swiss, sebut saja Gstaad, Zermatt atau St Moritz. Swiss juga menginspirasi desa the middle earth kaum Hobbits dalam film Lord of the Rings. Piz Gloria menjadi salah satu setting dalam film James Bond.
Montreux memiliki danau yang indah bak lukisan. Saya percaya Danau Toba juga dapat menandingi Montreux bila dikelola lebih baik lagi.
Keindahan alamnya mendorong industri pariwisata dan sekolah perhotel.
Banyak orang kaya Indonesia mengirimkan putra-putri mereka untuk mengambil hospitality study di Montreux dan Laussane.
Bicara mengenai sekolah, tahukah kamu kalau beberapa sekolah asrama (boarding school) paling eksklusif di dunia juga berada di Swiss? Bagi konglomerat super kaya raya atau bangsawan kerajaan, La Rosey akan menjadi pilihan mereka. Konon katanya, Kim Jong-un juga pernah mengenyam pendidikan di Swiss. Albert Einstein saja sekolah di Swiss.
ADVERTISEMENT
Fakta bahwa kualitas produk Swiss sangatlah baik tidak perlu diragukan lagi.
Made in Swiss memiliki arti tersendiri bagi seorang konsumen. Kita tahu kualitas produk Swiss, tidak perlu diragukan lagi.
Tetapi sering kali kita hanya menerima fakta tersebut (take it as granted) dan tidak berpikir lebih dalam lagi apa yang membuat industri Swiss menjadi sangat maju.
Semua industri Swiss memiliki standarnya masing-masing. Manufaktur jam tangan, pelayanan perbankan, industri pariwisata dan industri kesehatan memiliki standar yang sangat tinggi. Mentalitas ketepatan dan kesempurnaan merupakan ciri industri Swiss.
Tulisan ini mencoba untuk menggali lebih dalam mengenai industri Swiss Cotton atau Katun Swiss, suatu bidang yang mungkin masih kurang familiar atau kalah pamornya oleh industri jam tangan atau coklat Swiss.
ADVERTISEMENT
Berikut sedikit yang dapat saya bagi berdasarkan pengalaman selama tinggal di Swiss kurang lebih 3 tahun lamanya.
Swiss, Negara Paling Inovatif
Swiss memang paling jago soal inovasi. Swiss mampu menambah nilai atas suatu komoditas bahan mentah. Tidak mengherankan bila beberapa tahun terakhir, Global Innovative Index menobatkan Swiss sebagai negara yang menduduki peringkat pertama paling inovatif.
Sebagai perbandingan, Indonesia menempati peringkat 85 dan berada di bawah Singapura (15), Malaysia (35), Thailand (44), Viet Nam (45) dan Filipina (73). Laporan ini tentunya kurang menyenangkan karena kita kalah dari Thailand, Viet Nam dan Filipina, apalagi Malaysia dan Singapura.
Katun Terbaik di Dunia
Sebagai negara industri yang memiliki jiwa inovasi tinggi, Swiss menjadi penopang industri tekstil dan garmen negara-negara di sekitarnya. Produk manufaktur Swiss diekspor dan diolah menjadi suatu karya seni bernilai tinggi di kota fashion utama dunia seperti Paris, Milan, Roma dan London.
Mungkin reputasi Perancis dan Italia sebagai pusat fashion dunia mengalahkan Swiss. Tapi ternyata Swiss merupakan penghasil katun terbaik yang digunakan oleh industri Perancis dan Italia dan berbagai negara.
ADVERTISEMENT
Katun Swiss misalnya diekspor untuk di-desain menjadi produk fashion merek Hugo Boss. Beberapa merek pakai tidur dan pakai dalam dari Swiss, yaitu Hanro dan Zimmerli menjadi standar tekstil dunia. Zimmerli misalnya, dikenal sebagai Ferarri-nya pakai tidur dan pakaian dalam. Harganya tidak main-main. Satu buah Zimmerli Men's Richelieu T-Shirt misalnya dapat mencapai harga 130 USD atau sekitar Rp 2,1 juta rupiah (kurs rupiah Rp 15.000), fantastis bukan?
Pertanyaannya, mengapa sampai sebegitu mahal?
Jawabannya dapat dilihat dari berbagai sisi, baik dari segi material bahan baku, cara pengolahan, standar dan kualitas akhir barang.
Dari segi materi, Swiss Cotton hanya menggunakan bahan baku kapas terbaik di dunia. Swiss Cotton menggunakan kapas dari Mesir atau dikenal dengan Katun Mesir (Ginza), Pima atau Supima Cotton dari Peru atau Amerika Serikat, Sea Island Cotton dari Karibia, dan Suvin Cotton dari India. Jenis kapas-kapas tersebut adalah kapas berserat ekstra panjang (extra-long staple).
ADVERTISEMENT
Swiss Cotton adalah katun terbaik dari yang terbaik.
Semakin panjang serat kapas, semakin baik kualitasnya. Kapas extra-long staple mudah dipintal dan sangat kuat. Kapas ini terasa halus dan mengkilat (shining) seperti sutera. Daya serap terhadap air sangat kuat sehingga mampu menyerap keringan. Hal ini memberi kenyamanan bagi para pengguna pakaian berbahan katun.
Tidak semua Katun Mesir atau yang dikenal dengan Ginza dapat diolah menjadi Katun Swiss. Hanyalah Ginza extra-long staple yang dapat dipergunakan. Ada 6 kelas Ginza, yaitu long staple Giza (86, 89 dan 90) dan extra-long staple (Giza 87, 88, 45). Giza 45 merupakan yang terbaik. Jumlah produksi Ginza 45 hanyalah sekitar 0.4% dari total produksi tahunan Katun Mesir.
ADVERTISEMENT
Selain syarat penggunaan extra-long staple, syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi dalam produksi Katun Swiss antara lain: (i) Persentasi kandungan kapas minimal 75% extra-long staple menurut standar Bremen Cotton Exchange; dan (ii) Minimal panjang kapas extra-long staple adalah 35.72 mm.
Dari segi pengolahan, industri tekstil Swiss menggunakan standar yang sangat tinggi. Teknologi pengolahan kapas menjadi benang dan kain merupakan kekuatan know how mereka. Paten mereka cukup banyak. Proses produksi diatur dengan standar yang sangat ketat, termasuk syarat keamanan lingkungan, sosial dan teknologi.
Selanjutnya, proses produksi harus paling sedikit dilakukan 67 % di Swiss. Proses produksi haruslah menghasilkan “value added” termasuk akumulasi seluruh biaya produksi yang ditetapkan menurut Pasal 48c nMSchG, kegiatan pemintalan, penjahitan, pencetakan, pewarnaan serta biaya riset dan penelitian (research and development).
ADVERTISEMENT
Setiap produk yang telah memenuhi standar nasional berhak untuk menggunakan Merek: Swiss+Cotton. Setiap produk akan diberikan logo Swiss Cotton. Jadi, kalau mau beli Swiss Cotton, coba lihat apakah ada logo seperti di bawah ini. Jangan sampai tertipu.
Mengingat persyaratan produksi yang ketat, hanya 3% total produksi kapas dunia yang memenuhi kriteria untuk dibuat menjadi Swiss Cotton. Jumlah katun yang dihasilkan sangat terbatas. Inilah yang membuat Katun Swiss menjadi sangat langka.
Katun Swiss sebagai Merek
Produk katun di Swiss diberi label dan dilindungi melalui suatu merek yang kemudian dikenal sebagai "Swiss Cotton". Kendatipun menggunakan kata “Swiss”, namun Swiss Cotton tidak dapat digolongkan sebagai suatu “indikasi geografis”. Swiss Cotton tidak memenuhi syarat adanya kaitan langsung antara kualitas produk dengan kondisi geografis suatu kondisi daerah tertentu. Kapas yang digunakan tidaklah tumbuh di Swiss.
ADVERTISEMENT
Mengenai syarat kategorisasi sistem indikasi geografis ini pernah saya jelaskan secara singkat dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “Mari Memajukan Indikasi Geografis Indonesia: Dari Gayo Sampai Toraja”.
Beberapa produk yang menggunakan label Swiss juga tidak dapat dikategorikan sebagai indikasi geografis. Label “Swiss Watch” yang biasanya ada di jam tangan bukanlah indikasi geografis. Swiss Watch lebih tepat disebut sebagai “appellation of origin” atau “indikasi asal”. Mengenai Swiss Watch akan saya coba jelaskan dalam tulisan lain yang akan datang.
Asosiasi Tekstil Swiss yang dikenal dengan ‘Swiss Textile” merupakan pemegang hak merek dagang (trademark) atas Swiss Cotton. Tanda merek ini secara nasional didaftarkan di kantor kekayaan intelektual Swiss dengan No. 551.915 dan terdaftar sebagai mereka internasional melalui Sistem Madrin dengan No. 911.319.
ADVERTISEMENT
Swiss Textile merupakan federasi pengusaha tekstil dan garmen Swiss. Federasi inilah yang menetapkan standar spesifikasi produksi Katun Swiss. Ada 3 macam penggunaan merek Katun Swiss, yaitu: pool membership, commercial licence agreement dan trademark licence agreement. Seluruh prosedur dijabatkan secara cukup detail dalam laman Swiss Textile.
Kesimpulannya, Swiss memaksimalkan pengetahuan intelektual mereka untuk menciptakan suatu produk yang memiliki kualitas prima dan nilai jual tinggi.
Mahal? Tenang Saja, Ada Trik Khususnya
Harga produk Swiss Katun sangat mahal sehingga tidak mengherankan banyak orang Indonesia yang belum mengenalnya. Mungkin bagi kebanyakan orang harus merogoh kantongnya sangat dalam untuk membeli produk bahan Katun Swiss. Bagi orang berduit, harga tersebut mungkin masuk akal, mengingat kualitasnya yang sangat bagus. Kata orang, duit ngak nipu.
ADVERTISEMENT
Sepengetahuan penulis, produk Swiss Cotton belum masuk secara masif ke tanah air. Pada umumnya orang membeli di luar negeri, khususnya di Swiss atau memesan secara online.
Kalau kamu memiliki kesempatan untuk travelling ke Swiss, saya memiliki trik khusus untuk mendapatkan barang-barang premium tersebut dengan harga miring.
Triknya adalah berbelanjalah langsung ke pabrik. Pada umumnya pabrik tekstil di Swiss memiliki factory outlet. Sebagian pabrik tekstil berada di bagian utara dekat Bern dan Zurich atau di bagian selatan dekat Lugano (arah Milan).
Sering kali pabrik tersebut berada di tempat terpencil dan tidak begitu mencolok. Oleh karena itu, diperlukan riset dulu melalui internet atau menelepon factory outlet. Hari dan jam bukanya pun berbeda-beda. Yang pasti, hampir semua factory outlet di pabrik Swiss akan tutup saat makan siang.
ADVERTISEMENT
Harga diskon di factory outlet sangatlah menggiurkan. Diskon dapat mencapai 70-90% dari harga retail normal. Potongan harga akan bertambah besar bila di musim sale.
Inilah tips menjadi a smart shopper di Swiss yang terkenal mahal. Kalau orang lain bilang “ada harga, ada barang”, saya bilang, “ada info, ada barang, tapi dompet tetap aman”.
Pelajaran Apa yang Kita Dapat?
Banyak yang dapat dipelajari, tetapi jelas bahwa Swiss mengajarkan kita bagaimana menjadi negara minim sumber daya alam, tetapi kaya akan inovasi.
Swiss mampu membalikkan kondisi dari negara importir kapas menjadi negara pengekspor katun kualitas premium. Tidak mengherankan bila Swiss sampai hari ini mampu terus bertahan di era ekonomi global yang tidak menentu.
ADVERTISEMENT
Swiss Cotton adalah bukti industri yang ditopang melalui kekayaan intelektual.
Bagaimana dengan Indonesia?
Negara kita merupakan salah satu pusat industri tekstil dan garmen dunia. Berbagian besar merek ternama memproduksi produknya di Indonesia. Sebut saja Uniclo, Lacoste, Ralph Lauren, Oakley, Zara, Mark and Spencer, Mango dan masih banyak lagi.
Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (2017) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pusat produksi mayoritas tekstil merek global. Indonesia merupakan negara lima besar produsen tekstil. Namun Indonesia tidak boleh merasa cukup dan tinggal di comfort zone sebagai satu dari lima produsen tektil dunia. Negara kita harus terus bersaing dengan negara-negara basis produksi tekstil Asia lainnya, seperti Viet Nam, India dan Bangladesh.
ADVERTISEMENT
Guna memperkuat daya saing nasional, penulis berpandangan bahwa produksi dan kualitas kapas nasional perlu ditingkatkan. Para peneliti Biogen Kementerian Pertanian menyatakan bahwa impor kapas nasional mencapai angka 99,5 % (Bahagiawati dan Bermawi, 2017). Sebagai salah satu negara produsen tekstil terbesar dunia, Indonesia bergantung penuh pada bahan kapas impor. Sungguh suatu ironi.
Melihat hal ini, setidaknya ada 4 (empat) langkah yang dapat dilakukan: (i) Menciptakan inovasi yang menambah value added terhadap kapas impor sama seperti yang dilakukan Swiss Cotton; (ii) Mendorong produksi kapas nasional di daerah-daerah yang secara geografis cocok untuk tumbuhan kapas; (iii) Mengembangkan riset dan penelitian kapas nasional; dan (iv) Memanfaatkan rejim kekayaan intelektual.
Industri tekstil merupakan salah satu sektor padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja. Industri tekstil nasional harus terus tumbuh guna menopang perekonomian nasional. Kita boleh mengimpor kapas, tetapi sebaiknya kita meningkatkan added value kapas tersebut. Mampukah kita suatu saat nanti menciptakan brand "Indonesian Cotton' atau "Indonesian Textile"?
Mari kita belajar mengolah kapas dari Swiss.
ADVERTISEMENT
Oh iya, selamat hunting Swiss Cotton.