Konten dari Pengguna

Krakatau 1883: Letusannya yang Mampu Dinginkan Dunia

Erina Prastyani
SainsAsyikFGMI
26 Maret 2020 22:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erina Prastyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah terlintas dalam pikiran bahwa ternyata letusan sebuah gunung api dapat mengubah iklim dunia hingga bertahun-tahun lamanya? Krakatau, ledakannya pada 1883 lalu adalah salah satu buktinya.
Ilustrasi: Gugusan pulau-pulau Krakatau sebelum letusan 1883 terjadi (Sumber: wikipedia.org)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Gugusan pulau-pulau Krakatau sebelum letusan 1883 terjadi (Sumber: wikipedia.org)
Fakta mengenai letusan Krakatau 1883
ADVERTISEMENT
Pada 27 Agustus 1883, sebuah pulau vulkanik berkaldera aktif yang terletak di Selat Sunda meletus. Pulau vulkanik tersebut dikenal dengan nama Krakatau. Pulau Krakatau memiliki tiga gunung, yaitu Perboewatan, Danan, dan Rakata. Meletusnya Krakatau kala ini membuat hancur dua dari tiga gunung yang ada, yaitu Danan dan Perboewatan. Ledakannya yang berkekuatan hampir 10,000 kali lipat dari bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima ini hanya menyisakan satu gunung di pulau tersebut, yaitu Rakata. Tak heran jika dentuman letusannya juga terdengar hingga daratan Australia. Letaknya yang berada di tengah perairan antara Pulau Jawa dan Sumatra menciptakan kombinasi yang mengerikan ketika erupsi terjadi. Tsunami dengan ketinggian 40 meter pun tak luput menjadi bukti letusan Krakatau yang maha dahsyat ini. Erupsi Krakatau yang mematikan ditambah dengan tsunami yang dipicu oleh letusannya telah menelan lebih dari 36,000 korban jiwa.
ADVERTISEMENT
Letusan Krakatau termasuk ke dalam tipe erupsi Plinian, tipe letusan yang dapat menciptakan kolom erupsi setinggi 45 kilometer ke lapisan stratosfer. Berbicara mengenai kolom erupsi, Krakatau meledak dan memuntahkan material erupsinya berupa abu vulkanik dan gas-gas ke lapisan atmosfer dengan ketinggian mencapai 80 kilometer. Material-material vulkanik dan aerosol sulfat yang berhasil mencapai lapisan stratosfer ini kemudian menghalangi masuknya sinar matahari ke permukaan bumi dan menyebabkan turunnya suhu global sebesar 1.2 oC selama lima tahun setelah erupsi terjadi. Mendinginnya suhu bumi saat itu diduga berpengaruh terhadap penurunan kecepatan naiknya permukaan air laut. Permukaan air laut yang seharusnya meningkat beberapa sentimeter setiap tahun akibat efek perubahan iklim ternyata mampu dihambat oleh adanya erupsi Krakatau. Jika tidak ada erupsi vulkanik yang terjadi, mungkin permukaan air laut bumi akan jauh lebih tinggi daripada sekarang.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi: Gunung Anak Krakatau yang lahir pada 1927 (Sumber: flickr.com)
Lahirnya Anak Krakatau, mungkinkah kejadian serupa akan terulang kembali?
Beberapa lama setelah Krakatau mengalami erupsi di tahun 1883, empat puluh empat tahun setelahnya, tepatnya di bulan Desember 1927, lahirlah sebuah pulau vulkanik bernama Anak Krakatau di tengah sisa-sisa runtuhan kaldera Pulau Krakatau. Meskipun terbilang masih muda, potensi ancaman dari Anak Krakatau tidak bisa disepelekan begitu saja. Di masa pertumbuhannya, ia telah mengalami erupsi berkali-kali yang menunjukkan bahwa proses vulkanisme yang terjadi pada dirinya sangatlah aktif.
Pada Desember 2018 lalu, letusannya memicu terjadinya tsunami di perairan Selat Sunda dan menewaskan setidaknya 426 jiwa dan ribuan orang luka-luka. Sebelum munculnya tragedi ini, Anak Krakatau telah mencapai ketinggian 338 meter. Erupsi yang terjadi telah meluluhlantakkan sebagian tubuhnya dan membuatnya hanya berketinggian 110 meter saja. Longsoran vulkanik dan runtuhnya kawah vulkanik Anak Krakatau menjadi penyebab timbulnya tsunami saat itu. Tsunami yang dipicu oleh erupsi vulkanik seperti ini cukup sulit dideteksi, sehingga prosedur mitigasi bencana yang ada juga tidak mudah untuk dilakukan. Dalam hal ini, sistem monitoring sangat diperlukan untuk meminimalisir jumlah kerugian dan nyawa yang melayang.
ADVERTISEMENT
Belum dipastikan kembali apakah erupsi Anak Krakatau di masa mendatang akan sedahsyat orang tuanya, Krakatau. Namun, pengamatan berkala terhadap gunung api ini dapat membantu untuk memantau aktivitas vulkanik yang dapat mengancam lingkungan di sekitarnya.