Konten dari Pengguna

Dilema Pendidikan Kaum Perempuan

Erlinda Septiawati
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
10 Juli 2021 9:37 WIB
·
waktu baca 2 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erlinda Septiawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto: unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto: unsplash
ADVERTISEMENT
Perkembangan zaman terus melaju bersama waktu. Berbagai kecanggihan terbaru silih berganti muncul. Putaran perubahan semakin gencar terjadi. Namun, persepsi pendidikan bagi kaum perempuan masih saja berlaku.
ADVERTISEMENT
Persepsi tentang perempuan selalu mengarah tidak boleh lebih unggul dibandingkan laki-laki. Seolah perempuan tidak layak menjadi bagian penting yang turut serta di bumi. Tidak boleh sekolah tinggi-tinggi, nanti tidak ada yang mendekati. Kisruh ini masih sering dijumpai.
Sebagian besar justru disebabkan oleh orang tua mereka yang tidak peduli. Tidak berpikir betapa pentingnya pendidikan bagi kehidupan anaknya nanti. Tanpa memandang hal apa pun dan siapa pun, ilmu pengetahuan berguna dan bermanfaat selagi di dunia ini.
Persepsi perempuan ‘dapur, sumur, kasur’ jadi sajian argumen pedas di masyarakat. Apalagi jika lingkungan tempat tinggal kompak mengatakan hal demikian. Seorang anak perempuan semakin kesulitan memutuskan pilihan.
Ketika menikah dan memiliki anak, siapa yang akan mengajari anaknya di rumah? Jika ibunya tidak mengerti. Hal menakutkan ini bisa mengakar jadi persepsi berikutnya. Pemikiran turun-menurun yang mematikan peradaban.
ADVERTISEMENT
Beberapa orang beranggapan, sekolah bagi anak perempuan hanya buang-buang uang. Padahal, anak yang hebat terlahir dari seorang perempuan yang hebat pula. Investasi yang tidak terbuang ialah pendidikan. Bukan hanya ilmu pengetahuan, melainkan attitude juga diajarkan di sekolah.
Bersekolah dapat membantu komponen otak seorang anak bekerja dengan semestinya. Mengasah skill serta mengubah pola pikir. Selain itu, pengalaman yang di dapatkan tidak bisa ditandingi dengan materi semata.
Manifestasi masa depan seorang anak terletak pada pendidikan. Belajar, bermain, dan mencari pengalaman tidak bisa didapat dengan sendirinya. Perlu perjalanan menempuhnya. Sekolah memang tidak menjamin kesuksesan, tetapi tanpa bersekolah apa yang bisa dijadikan jaminan.
Kehidupan anak perempuan juga harus cerah dengan pendidikan. Bukan hanya perihal menikah dan punya anak saja. Perempuan sudah seharusnya menjadi bagian cermin wajah pendidikan. Kontribusi nyata dalam perkembangan zaman. Perempuan harus berjuang melewati dan mencermati bentuk keadilan.
ADVERTISEMENT
Dalam lingkungan saya, perihal pendidikan pada perempuan masih diperhitungkan. Banyak anak menikah di usia belia. Putus sekolah dan memilih menikah. Ada yang memang pilihan mereka sendiri ataupun orang tuanya. Faktor lingkungan dan persepsi yang sudah tertanam sulit diubah.
Sebagai seorang perempuan, saya terganggu dengan kondisi ini. Seorang perempuan layak turut andil. Kaum laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang sejajar. Hak dan kewajiban di hadapan Tuhan dan negara pun sama. Tidak dibedakan antara keduanya.
Kesadaran ini juga sebagai pengingat diri kaum perempuan. Jangan sampai termakan dengan persepsi yang sudah telanjur menjalar luas tersebut. Orang lain bisa berkata apa yang ingin mereka katakan. Tetapi, orang lain tidak bisa mengubah masa depanmu. Wahai perempuan, dipekerjakan tentukan jalanmu.
ADVERTISEMENT
Oleh: Erlinda Septiawati / Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta