Kritik Sosial dalam Novel Gadis Minimarket

Erros Evani Hasan
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
14 Desember 2022 14:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erros Evani Hasan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam tulisan kali ini saya akan mengulas salah satu karya sastra Jepang yang sangat mendobrak konstruksi sosial dalam negaranya. Novel ini di tulis oleh Sayaka Murata. Sayaka Murata lahir pada 14 Agustus 1979, karya-karyanya beraliran fiksi kontemporer. Beliau telah meraih beberapa penghargaan seperti Mishima Yukio, Noma literary New Face Prize, Gunzo Prize For New Writers dan yang paling bergengsi adalah penghargaan Akutagawa Prize yang diraih karena Novelnya yang kali ini akan saya ulas, yaitu Gadis Minimarket.
ADVERTISEMENT
Novel Gadis Minimarket mengisahkan perempuan bernama Keiko yang menjadi pegawai paruh waktu di sebuah minimarket. Keiko telah menjadi pegawai paruh waktu sejak ia remaja hingga menginjak umur kepala tiga. Memasuki umur yang semakin dewasa Keiko banyak ditanya oleh keluarga, teman, dan orang-orang di sekitarnya mengenai kapan Ia segera menikah, memiliki anak, dan memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang besar.
Keiko yang lebih nyaman menjalankan hidupnya dengan menjadi pegawai paruh waktu, membuat orang-orang sekitarnya menganggap bahwa Keiko adalah makhluk yang aneh yang tidak bisa menjadi bagian dari mereka. Bukan hanya status pernikahan Keiko tetapi status menjadi pegawai paruh waktu di minimarket juga menjadi salah satu klimaks yang menekan tokoh Keiko.
ADVERTISEMENT
Dalam budaya masyarakat Jepang, bahwa perempuan-perempuan yang telah memasuki usia kepala tiga dianggap telah siap untuk menikah, mereka yang belum menikah akan merasa tidak percaya diri. Konstruksi sosial yang diciptakan masyarakat harus dipenuhi oleh perempuan supaya ia dapat diterima dalam kelompoknya. Perempuan yang tidak sesuai dengan standar yang ada akan merasa tidak percaya diri dan tidak layak bergabung dengan kelompok.
Kedudukan perempuan dalam masyarakat sebagai perempuan usia kepala tiga, Keiko dianggap tidak layak bergabung dengan perempuan lain selama ia belum memenuhi konstruksi sosial yang ada yaitu menikah atau memiliki pekerjaan tetap, hal tersebut memunculkan rasa tidak percaya diri pada Keiko ketika berkumpul dengan perempuan usia tiga puluhan lainnya.
Selain itu, kedudukan Keiko juga dianggap lemah karena teman sebayanya yang telah sesuai konstruksi sosial merasa memiliki kuasa (superior), sedangkan Keiko yang berbeda dianggap dapat dikuasai (inferior).
ADVERTISEMENT
Terdapat ketidakadilan gender dalam novel ini, data tersebut terbukti pada kutipan berikut:
"Sama seperti perempuan lanjut usia di Zaman Jomon yang tak bisa melahirkan anak, tak menikah, dan berkeliaran di desa. Aku laki-laki jadi masih bisa bangkit lagi, tapi kau tak punya pilihan, kan?” (Gadis Minimarket, hal 92)
Data tersebut menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan dengan usia yang sama dan belum mencapai puncak kariernya, tetapi memiliki kesempatan yang berbeda. Laki-laki di usia kepala tiga yang belum mencapai puncak kariernya dianggap masih bisa bangkit lagi atau masih memiliki kesempatan untuk berkembang, sedangkan perempuan dengan usia tiga puluhan yang belum mencapai puncak karirnya dipaksa untuk mengubur karier dan cita-citanya kemudian dipaksa untuk menikah. Kesempatan berbeda yang dimiliki laki-laki dan perempuan tersebut menempatkan perempuan pada titik subordinat.
ADVERTISEMENT
Dalam buku ini, Keiko paham mengenai apa saja yang dapat membuatnya nyaman tanpa memperdulikan apa yang dikatakan orang lain, Keiko pun sangat konsisten dengan prinsipnya. Padahal, Keiko sudah bertindak sesuai apa yang nyaman baginya, tidak merugikan orang lain, namun orang lain yang berusaha keras untuk mengubah Keiko.
Dalam novel ini, saya sebagai pembaca sangat melihat jelas bahwa masyarakat menuntut Keiko untuk menjadi normal, walau ia tidak tahu “normal” itu seperti apa. Namun Keiko lebih memilih jalan hidupnya sendiri dan ia menikmati itu. Lagi pula, apa definisi normal? Kehidupan seperti apa yang bisa disebut normal? Apakah hanya karena berbeda dari orang kebanyakan maka kita akan dianggap abnormal?
Membaca novel ini mengingatkan saya dengan Kakak perempuan saya yang belum menikah, usianya seperti Keiko sudah kepala tiga. Kakak saya lebih menikmati hidupnya dengan menjadi wanita karir. Seperti halnya Keiko, kakak saya pun sering menghadapi pertanyaan-pertanyaan orang sekitar soal "kapan menikah". Sebenarnya bukan karena tidak ingin menikah, menurut saya banyak hal yang harus mereka pertimbangkan. Terlebih belum tentu laki-laki yang akan menikah dengannya akan menjalani hidup dengan berbagi tugas atau kolektif dalam hal apapun.
ADVERTISEMENT
Hal ini tidak hanya terjadi oleh Keiko tokoh utama dalam novel ini ataupun kakak saya, melainkan terjadi oleh perempuan-perempuan di Indonesia. Terkadang masyarakat kita terlalu dogmatis dalam suatu budaya maupun hukum agama yang sudah ditetapkan dan mereka terlalu ikut campur mengenai jalan hidup seseorang. Mereka menganggap dengan menikah lalu mempunyai momongan merupakan satu-satunya menuju kesuksesan sosial. Mereka akan menganggap aneh jika seseorang tidak memenuhi standar sosial pada umumnya.
Menurut saya dalam novel Gadis Minimarket, Sayaka Murata ingin menunjukkan bahwa hidup seorang perempuan tidak selalu harus mengikuti konstruksi sosial yang ada. Ini merupakan kritik darinya. Jika konstruksi sosial yang ada sangat memberatkan diri, kalian bisa bebas keluar namun dengan konsekuensi. Ia mengkritik adanya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki. Seperti laki-laki dengan usia kepala tiga masih memiliki kesempatan untuk berkembang, sedangkan perempuan tidak.
ADVERTISEMENT